“Nilainya sih bagus tapi kita tetap saja khawatir. Kalau semua soal zona kan percuma aja anak saya diikutin bimbel, yang dipilih yang jaraknya deket,” ungkap Dyah dengan wajah terlihat lesu. (Wartakotalive.com, 18/6/2019)
Dyah, orang tua dari salah satu siswa lulusan Sekolah Menengah Pertama yang kini sedang galau dengan sistem zonasi dalam pendaftaran siswa baru. Dyah tak sendiri . Banyak juga yang mengeluhkan hal serupa.
Wajar karena pada proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) online tahun ini terdapat tiga jalur, yakni zonasi, prestasi, dan mutasi orang tua. Jalur zonasi akan diterima 90 persen, sedangkan jalur prestasi dan mutasi orang tua masing-masing lima persen. (sultrakini.com, 17/6/2019).
Belakangan revisi dilakukan atas perintah Presiden, Joko Widodo. Menteri Pendidikan, Muhadjir dan kementeriannya pun mengubah PPDB jalur prestasi lebih luas menjadi 5-15 persen.
"Begitu saya dapat perintah dari beliau, saya rapatkan, dan saya koordinasi ke Bapak Menko Polhukam malam itu juga. Sekarang sudah berlaku," tuturnya. (cnnindonesia.com, 22/6/2019).
Meski demikian, PPDB berbasis zonasi tetap memecut tanya, benarkah jadi solusi agar gelar sekolah favorit menepi dan masalah jadi selesai? Wajar saja sebab revisi Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 Tentang Penerimaan Peserta Didik Baru seperti disebutkan sebelumnya ternyata hanya berlaku parsial di beberapa tempat. Khususnya yang bermasalah seperti di Jawa Timur. (cnnindonesia.com, 21/6/2019).
Potensi Masalah di Balik Zonasi
Layaknya kotak Pandora yang tak henti memberi kejutan demikian pula zonasi. Di balik penerapannya tak pelak menyingkap masalah demi masalah. Salah satunya seperti yang dinyatakan Ombudsman Republik Indonesia (ORI). Lembga ini menilai Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) kurang optimal dalam berkoordinasi terkait penerapan Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2019. (medcom.id, 27/6/2019)
Terbukti dari banyaknya laporan yang diterima Ombudsman tentang pendaftaran PPDB. Di antaranya penipuan soal Kartu Keluarga (KK) yang tidak bisa diantisipasi, kekurangan kelas dalam zonasi, kurangnya sosialisasi kepada masyarakat.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia Retno Listyarti juga menyarankan pemerintah daerah merevisi kembali anggaran untuk pendidikan di APBD. Tak lain untuk memaksimalkan pemerataan kualitas pendidikan untuk semua sekolah. Mulai dari sarana dan prasarana hingga peningkatan kualitas guru. Agar tujuan awal zonasi tercapai. Yaitu menghapus kastanisasi sekolah, antara favorit dan non-favorit. (antaranews.com, 27/6/2019).
Sampai di sini berkelebat slogan iklan salah satu produk minyak angin, ‘buat anak kok coba-coba’? Relevankah dengan kasus ini? Wallahu a’lam. Yang jelas upaya pemerataan yang diinginkan tentu butuh waktu dan goodwill alias tekad kuat dari pihak yang berwenang. Hal mana yang layak diragukan saat ini. Sebab selama mengadopsi asas manfaat, ciri khas dari kapitalisme dalam hal kebijakan maka bakal sulit menemukan jalan keluar. Karena dalam sistem kapitalisme setiap kebijakan diatur berdasarkan pertimbangan untung dan rugi. Apa pun yang dinilai kurang menguntungkan, meski itu terkait dengan masa depan generasi dan peradaban suatu bangsa seolah dipandang sebelah mata.
Untuk tahun ini saja dana yang dikucurkan untuk sektor pendidikan terbatas bahkan lebih rendah dari tahun sebelumnya. Jumlahnya sebesar Rp 36 triliun turun 10,2% dari tahun sebelumnya. Jumlah tersebut setara dengan 22,07% anggaran pendidikan melalui belanja pemerintah pusat senilai Rp 163,1 triliun atau setara 7,31% dari total anggaran pendidikan tahun ini Rp 492,5 triliun. (katadata.co.id, 13/3/2019). Terbayang sudah ambisi menghapus kastanisasi tanpa didukung anggaran yang memadai ibarat jauh panggang dari api. Sungguh solusi alternatif pengganti dari sistem yang rusak ini mutlak dibutuhkan.
Menutup Kotak Pandora
Problem demi problem seperti tak henti menyapa negeri ini. Segenap energi anak bangsa pun seolah diboroskan untuk mengatasi. Apa daya kapitalisme dengan kebijakan tambal sulam yang berasas manfaat masih tegak menghalangi. Padahal jika sedikit saja kita menundukkan akal dan hati. Mengembalikan semua kesulitan pada Dzat Yang Maha Tinggi akan didapati alternatif solusi.
Islam jawabnya sudah pasti. Datang dari Sang Pencipta semata membawa kemaslahatan umat manusia. Termasuk dalam bidang pendidikan.
Pendidikan dalam Islam adalah upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis dalam rangka membentuk manusia yang memiliki: (1) Kepribadian Islam; (2) Menguasai pemikiran Islam dengan handal; (3) Menguasai ilmu-ilmu terapan (pengetahuan, ilmu, dan teknologi/PITEK); (4) Memiliki ketrampilan yang tepat guna dan berdaya guna.
Dalam Islam, negaralah yang berkewajiban untuk mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang diterapkan, bukan hanya persoalan yang berkaitan dengan kurikulum, akreditasi sekolah/PT, metode pengajaran, dan bahan-bahan ajarnya, tetapi juga mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah. Rasulullah saw. bersabda:
“Seorang imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan rakyatnya.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Setiap kegiatan pendidikan harus dilengkapi dengan sarana-sarana fisik yang mendorong terlaksananya program dan kegiatan tersebut sesuai dengan kreativitas, daya cipta, dan kebutuhan. Sarana itu dapat berupa buku-buku pelajaran, sekolah/kampus, asrama siswa, perpustakaan, laboratorium, toko-toko buku, ruang seminar-auditorium tempat dilakukan aktivitas diskusi, majalah, surat kabar, radio, televisi, kaset, komputer, internet, dan lain sebagainya.
Mari tengok sirah Nabi saw. dan sejarah Daulah Khilafah Islam (Al-Baghdadi, 1996). Di situ tertera bahwa negara memberikan jaminan pendidikan secara gratis dan kesempatan seluas-luasnya bagi seluruh warga negara untuk melanjutkan pendidikan ke tahapan yang lebih tinggi dengan fasilitas (sarana dan prasarana) yang disediakan negara. Kesejahteraan dan gaji para pendidik sangat diperhatikan dan merupakan beban negara yang diambil dari kas Baitul Mal.
Beberapa contoh penerapannya adalah Madrasah Al-Muntashiriah yang didirikan Khalifah Al-Muntashir Billah di kota Baghdad. Di sekolah ini setiap siswa menerima beasiswa berupa emas seharga satu dinar (4,25 gram emas).
Begitu pula dengan Madrasah An-Nuriah di Damaskus yang didirikan pada abad 6 H oleh Khalifah Sultan Nuruddin Muhammad Zanky. Di sekolah ini terdapat fasilitas lain seperti asrama siswa, perumahan staf pengajar, tempat peristirahatan, para pelayan, serta ruangan besar untuk ceramah dan diskusi.
Hanya saja mengadopsi pendidikan Islam tak bisa dilepas dari syariah Islam secara keseluruhan. Politik, ekonomi, pergaulan dan sosial kemasyarakatan turut berkontribusi dalam meraih kemaslahatan manusia. Tersisa asa semakin banyak orang yang memahami hingga meyakini bahwa sejatinya Islam Rahmatan lil ‘alamin. Niscaya mampu menutup segala kotak Pandora. Sebagai gantinya menghadirkan solusi yang selesai. Wallahu a’lam.
Ummu Zhafran, penulis lepas