Oleh: Rosmiati (Muslimah Peduli Umat)
Pesta demokrasi telah berlalu, kendatipun ia pergi dengan meninggalkan banyak Tanya dan duka. Sejenak marilah kita kembali menelisik, bagaimana kondisi perkembangan ekonomi bangsa saat ini.
Dilansir dari Detik.com edisi 18/05/2019, utang luar negeri RI telah mencapai Rp 5.542 triliun. Juga dengan neraca perdagangan yang kabarnya tekor. Ketekoran ini disebut sebagai defisit terparah sepanjang sejarah Indonesia merdeka. Ativitas impor lebih besar ketimbang ekspor. Alhasil angka defisit ini mencapai US$ 2,50 miliar.
Disamping itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, juga mengungkapkan kekhawatirannya akan tanda-tanda menurunnya ekonomi RI. Hal ini berangkat dari fakta penerimaan pajak yang mengalami pelemahan dari sisi pertumbuhan juga dengan pemasukan negara yang mulai seret. Sampai dengan April lalu, pendapatan negara Rp 530,7 triliun, tumbuh 0,5 persen dibanding periode yang sama pada tahun lalu yakni Rp 528,1 triliun. Sekalipun naik, namun bagi beliau, ini merupakan sebuah penurunan jika dibandingkan dengan tahun 2018 dan 2017 yang masing-masing mencapai kenaikan 13,3 persen dan 20,5 persen.
Akar Masalah
Fenomena defisit atau tekor dalam sistem ekonomi kita memang bukanlah hal baru. Dimana fenomena ini sudah berulang kali terjadi. Hal ini menunjukan, bahwa kondisi perekonomian kita dari waktu ke waktu masih belum sehat . Masih sering dihantui oleh virus-virus tekor dan lain sebagainya. Penyebab dari semua ini tentu berpangkal pada sistem kapitalisme yang saat ini diterapkan diatas negeri ini.
Dalam sistem ini terdapat banyak kebijakan yang harus diikuti oleh setiap negara yang berlindung di bawahnya. Salah satunya, kisruh utang piutang. Negara-negara dalam sistem ini seakan didoktrin, bahwa tanpa menghutang, mustahil pembangunan itu bisa dilakukan. Dan ini memang merupakan agenda massif dan terstruktur dari sistem ini. Dengan tujuan ingin melemahkan antibodi dari negara yang bersangkutan.
Diakui oleh peneliti INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara, bahwa nilai suku bunga dari utang RI hari ini sudah sangat besar dan mahal untuk dilunasi. Akibatnya, beban cicilan pokok pembayaran bunga utang makin menekan APBN (detik.com, 18/05/2019).
Melunasi utang dalam sistem ribawi memang seakan berbuah ilusi. Pasalnya, belum lagi utang itu lunas, bunga sudah beranak-pinak.
Sebagaimana, negara-negara yang hari ini terjerat utang Tiongkok, mau tidak mau mereka harus merelakan infrastrukturnya kepada Cina sebagai bentuk pelunasan utang _plus_ bunganya. Keluar dari jebakan utang para kapitalis memang kecil kemungkinannya.
Selain jebakan utang yang berbunga tinggi, sistem yang pro pada pemilik modal ini juga menyihir negara-negara berkembang sehingga kehilangan kedaulatannya. Hasil bumi yang sejatinya, menjadi milik bersama seluruh rakyat yang pengelolaannya diamanahkan kepada negara, sebagaimana amanah dari konstitusi, menjadi milik oleh segelintir orang (korporasi). Alhasil, negara hanyalah sebagai fasilitator semata. Yang ia terima pun hanya sekian persen. Dan yang untung banyak adalah mereka para korporasi. Maka tidak heran jika, dalam kondisi hari ini, ketimpangan sosial itu kian nyata. Dimana ada yang paling kaya juga ada yang miskin sampai tidur di kandang hewan ternak.
Akibatnya, negara tidak lagi bisa adidaya. Sampai-sampai komoditas yang sejatinya juga ada dalam negeri, tetap diimpor dari negara lain.
Itulah mengapa, dari kebijakan yang panjang ini, telah meyumbang seribu nestapa dan luka mendalam dilubuk hati rakyat biasa. Jika sudah demikian, maka wajar, minat beli masyarakat juga akan berkurang. Yang diklaim oleh Menteri Keuangan sebagai salah satu penyebab dari turunnya neraca dagang RI yakni rendahnya nilai belanja negara.
Solusi Sistemis
Maka jalan untuk mengakhirinya ialah dengan meninggalkan sistem ekonomi berbasis materi ini. Sebab jika ditelusuri lebih jauh, sistem ini adalah alat kepanjangtanganan penjajah agar bisa mengeruk hasil bumi negeri-negeri berkembang, yang sebenarnya mereka adalah negeri yang kaya.
Apalagi Indonesia. Presiden RI pertama telah meramalkan hal ini, bahwa kelak kekayaan alam Indonesia akan membuat iri negara-negara besar di dunia. Ucapan itu, kini telah terbukti, bagaimana ramainya bendera asing berkibar di atas tanah rakyat Indonesia yang membentang dari ujung barat hingga timur Indonesia.
Olehnya itu, untuk menjaga semua aset berharga ini, Indonesia harus bisa memilah dan memilih sistem tata kelola ekonomi yang kiranya mampu membawa kesejateraan bagi segenap rakyatnya.
Berbicara tolak ukur kebaikan dari sebuah aturan, maka hanyalah aturan ciptaan Ilahi yang disana tidak akan ditemui mudharat, jika dipakai demi kemaslatan bersama umat manusia. Produk manusia telah terbukti gagal, maka sudah saatnya untuk memutar haluan, kembali pada aturan semesta alam.
Wallahu’alam