Teguran Allah Lewat Bencana alam




Oleh: Dian Puspita Sari
Ibu Rumah Tangga, Aktivis Muslimah, Member Akademi Menulis Kreatif

Masih terbesit dalam ingatan kita, tahun lalu, gempa 7,7 SR disertai tsunami dahsyat menerjang Pantai Talise-Palu, Jumat sekitar pukul 18.00 WITA (28/9). Kemudian tsunami juga menghantam Banten dan kawasan sekitar Selat Sunda pada tanggal 22 Desember 2018. Kedua bencana ini mengakibatkan banyak korban jiwa. 

Kini, di tahun 2019, di tengah hiruk pikuk kondisi perpolitikan Indonesia yang kian memanas pasca pilpres dan semakin terjerumus dalam genggaman negara neo-imperialis asing, deretan musibah alam pun masih menimpa negeri ini.

Lalu bagaimana sikap kita sebagai muslim? Jika kita ditimpa bencana alam, sikap kita yang tepat selaku hamba-Nya adalah: 

1. Bersabar dan bersyukur
Seperti dalam lirik lagu Ebiet G Ade, "...anugrah & bencana adalah kehendak-Nya kita mesti tabah menjalani..."

Dalam Alquran, Allah Swt memuji secara khusus hamba-Nya yang memiliki dua sifat yaitu "sabar dan syukur" sebagai orang-orang yang bisa mengambil pelajaran ketika menyaksikan bencana alam dan menganggapnya sebagai tanda-tanda kebesaran Allah. Allah Swt berfirman:

إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِكُلِّ صَبَّارٍ شَكُورٍ
 “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kemahakuasaan Allah bagi setiap orang yang sangat sabar dan banyak bersyukur." (QS Luqman:31) 

Setelah bersabar, mereka bersyukur. Dengan menjadi hamba Allah yang taat. Musibah yang menimpanya menjadikannya mampu mengambil ibrah darinya dan semakin menguatkan imannya kepada Allah. 

2. Introspeksi diri (Muhasabah)
Ternyata sikap bersabar dan bersyukur saja tak cukup. 
Karena masih segar dalam benak kita tentang bencana yang datang bertubi-tubi  melanda negeri ini. Belum selesai banjir di Konawe Sultra, banjir juga di Sulsel & Kalimantan. Anehnya, ada juga bencana kekeringan di Pulau Jawa dan panen pun terancam gagal dengan kerugian petani milyaran rupiah. 
Belum lagi gunung meletus di Sumatera, Bali dan NTB, dan lain-lain. Nyaris setiap jengkal negeri ini dilanda bencana. Hingga deretan gempa bumi kembali menggoncang 6 wilayah nusantara di hari yang sama,  tepatnya pada tanggal 24 Juni 2019. 
Keenam wilayah tersebut meliputi: 
1. Tasikmalaya
2. Poso
3. Maluku
4. Memberamo Tengah
5. Bolaang Uki
6. Memberano Tengah dan Raya
(liputan6.com, 24/6/2019)

Musibah alam yang terjadi saat ini di berbagai wilayah nusantara adalah bukti bahwa Allah ingin memberi peringatan dan teguran kepada kita semua. Baik individu, masyarakat dan negara. 
Di antara bentuk peringatan yang Allah berikan kepada hamba-Nya, Allah wujudkan dalam bentuk: 
▪musibah dan bencana alam seperti: gunung meletus, gempa bumi dan tsunami. 
▪angin kencang yang memporak-porandakan berbagai bangunan. 
▪gelombang pasang, hujan besar yang menyebabkan banjir dan tanah longsor.
▪termasuk peperangan di antara umat manusia. 
Semuanya bisa menjadi cara Allah untuk mengingatkan manusia agar mereka hanya takut dan berharap kepada Allah.

Musibah dalam bentuk apapun yang saat ini menggelayuti perasaan takut banyak manusia juga merupakan hukuman dari Al-Jabbar (Dzat Yang Maha Perkasa), disebabkan sikap manusia yang zalim, fasik bergelimang dosa dan meninggalkan aturan-aturan Allah. Mereka melakukannya secara terang-terangan di hadapan Allah, tanpa rasa takut dan malu kepada-Nya. 
Selanjutnya, Allah perintahkan bumi untuk berguncang, terjadilah gempa bumi. 
Allah perintahkan laut untuk bergerak menuju bumi, terjadilah tsunami.
Semua teguran Allah itu bertujuan agar manusia segera bertaubat dan memohon ampunan kepada-Nya.

Allah Swt sendiri menyatakan, “Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain? Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi. Dan apakah belum jelas bagi orang-orang yang mempusakai suatu negeri sesudah (lenyap) penduduknya, bahwa kalau Kami menghendaki tentu Kami azab mereka karena dosa-dosanya; dan Kami kunci mati hati mereka sehingga mereka tidak dapat mendengar (pelajaran lagi)?” 

Inilah yang diinginkan oleh Allah Swt kepada hamba-Nya. Dengan musibah yang Dia turunkan, Dia hendak mengingatkan dan menyadarkan kita, agar kita kembali kepada-Nya. Tunduk dan patuh pada keputusan dan hukum-Nya. Begitulah yang Allah firmankan dalam QS. Thaha: 128, as-Sajdah: 29, Ibrahim: 44-45, Maryam: 98, al-An’am: 6, al-Ahqaf: 25-27, Saba’: 45, al-Mulk: 18, al-Hajj: 45-46 dan al-An’am: 10.

Kita bisa meneladani sikap khalifah Umar bin Khaththab menghadapi bencana alam. Pada saat terjadi bencana kekeringan, kelaparan dan wabah, Umar bin Khaththab banyak melakukan muhasabah dan bertaubat kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Akibat kemarau yang sangat panjang, Madinah pun mengalami kekurangan pasokan makanan. Harga barang melambung, karena besarnya permintaan. Sementara pasokannya  tidak ada. Sebagai kepala negara Umar tidak melakukan penetapan harga, tetapi dengan menyuplai pasokan makanan dari Irak dan Syam ke Madinah, sehingga harga normal kembali, dan kebutuhan rakyatnya pun terpenuhi.

Bertaubat dan mendekatkan diri kepada Allah tidak hanya dilakukan oleh khalifah dan penguasanya, tetapi juga oleh masyarakat dan individu. Kemaksiatan yang dilakukan di tengah masyarakat juga bisa mengundang bencana. Sebagai contoh, sikap abai masyarakat terhadap sampah, penebangan hutan, dan lain-lain. Begitu juga sikap rakus dan tamak individu juga bisa menjadi penyebab bencana. Kasus lumpur Lapindo di era SBY adalah contoh nyata. Semuanya ini merupakan bentuk kemaksiatan yang bisa mengundang bencana. 

Karena itu, baik negara, masyarakat maupun individu harus melakukan introspeksi. Negara harus stop berbuat zalim dan khianat terhadap rakyat. Demikian juga masyarakat dan individu. Mereka harus stop maksiat dan mendiamkan kemunkaran. Setelah menyadari kesalahan dan dosanya, barulah mereka bisa kembali ke jalan Allah. Hanya saja, proses muhasabah dan kesadaran kolektif ini memang membutuhkan edukasi dan kepemimpinan yang amanah dan jurdil. Dan kepemimpinan model begini hanya ada dalam gambaran kehidupan Islam. Bukan kepemimpinan model demokrasi yang sekuler. 

Maka hendaknya kita semua segera bertaubat maksiat dengan taubat nasuha. Segera tinggalkan dosa beserta  aturan-aturan zalim manusia, kemudian beralih kepada aturan-aturan Allah yang telah disempurnakan-Nya dalam Islam. Islam dalam naungan negara, yakni khilafah Islam.
Wallahu a'lam bish showab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak