Oleh: Mahrita Nazaria, S.Pd
Sampai saat ini, persengketaan Pilpres 2019 masih menjadi polemik permasalahan dalam Negeri ini. Dari kabar yang tersampaikan bahwa Sandiaga Uno telah mengajukan gugatan sengketa pilpres 2019 ke Mahkamah Konstitusi. Dan kemudian Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan jadwal sidang dan tahapan penyelesaian sengketa hasil Pemilihan Umum (Pemilu) serentak 2019. Satu di antaranya adalah jadwal penyelesaian perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) untuk calon presiden dan wakil presiden alias Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.
Fadli Zon, anggota Dewan Pengarah Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, yakin dalam persidangan, tim hukum BPN dapat membawa bukti yang dapat menguatkan adanya dugaan kecurangan pemilu yang terstruktur, sistematis, dan masif. Ia hanya mengatakan bahwa pendaftaran gugatan Pemilu Presiden ke MK merupakan jalan yang ditempuh sebagai upaya untuk mengungkap adanya kecurangan Pemilu. (Tribunnews.com)
Dalam pemilu serentak tahun ini, kita ketahui bersama selain mahalnya biaya pelaksanaan juga sampai pada jatuhnya korban, hingga tindak kecurangan telah menjadi catatan hitam berjalannya sistem Demokrasi dalam memilih pemimpin Negara dan para pejabatnya. Begitu rumit, melelahkan, dan tak lepas dari tipu daya permainan politik mereka.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa orang-orang yang mempunyai kepentingan untuk terus bisa berada dipuncak kekuasaan, mereka inilah yang mempengaruhi dan mengarahkan kebijakan negara. Selain itu, ada kelompok konglomerat yang berada dibelakang kekuasaan karena ada kepentingan bisnis dan ekonomi, yang dimana mereka akan mendapatkan kompensasi kebijakan-kebijakan negara yang memihak kepada mereka. Tentulah mereka yang punya banyak kepentingan tersebut akan terus berusaha agar tercapai tujuan utamanya. Maka teori politik ala Machiavelli benar teraplikasi secara faktual dalam sistem saat ini. Bagi Machiavelli, dunia politik itu bebas nilai. Artinya, politik jangan dikaitkan dengan etika (moralitas). Yang terpenting dalam politik adalah bagaimana seorang raja/penguasa berusaha dengan berbagai macam cara untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan agar menjadi selanggeng mungkin, meskipun cara-cara tersebut inkonstitusional bahkan bertentangan dengan nilai-nilai moral.
Berbagai peristiwa yang patut dipertanyakan hingga sarat akan kepentingan adalah gambaran suram dari sistem perpolitikan Demokrasi. Karena sistem ini lahir dari gelapnya kehidupan orang-orang sekuler (yang memisahkan agama dari kehidupan). Maka kita sebagai seorang muslim harusnya sadar dan tergambar bahwa sistem saat ini bukan berasal dari umat Islam bukan pula dari Allah dan kalau sistem ini bukan berasal dari Islam maka bukan pula sistem ini dijadikan solusi permasalahan kita, termasuk dalam pengaturan kenegaraan.
"Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?". (QS. Al-Ma'idah/5: Ayat 50)
Melihat fakta miris diatas, membuat kita harus mencari jalan keluar. Kita tak perlu risau, Allah telah datangkan Islam ditengah kita sebagai solusi dan merupakan rahmat bagi semesta alam, rahmat untuk kita sebagai hambaNya, dan untuk umat manusia seluruhnya.
Dalam Islam, pemilihan pemimpin Negara beserta para pejabatnya berbiaya murah dan efektif menghasilkan output yang berkualitas, dijamin tidak rumit, tidak pula melelahkan, tidak akan ada kecurangan apalagi sampai memakan korban.
Islam secara mendasar telah mendudukkan kepemimpinan sebagai amanah. Beratnya amanah menjadikan pemimpin tak berani bertindak sesuka hati. Dia akan selalu bersandar pada aturan Ilahi karena takut atas pertanggungjawaban di akhirat. Orang yang maju menjadi calon pemimpin bukanlah figur gila jabatan, tapi orang yang terdepan dalam kebaikan. Maka kecurangan telah dicegah sejak masih berupa niat di dalam hati. Sosok bertakwa akan membersihkan hatinya dari niat jahat, termasuk niat untuk berbuat curang.
Pemimpin dalam Islam juga menyadari tanggung jawab kepemimpinan. Bahwa tidak ada hijab antara Allah SWT dengan doa orang yang dizalimi. Maka kekhawatiran berbuat zalim seringkali membuat seseorang menjauhi jabatan pemimpin. Sehingga orang yang menjadi pemimpin bukanlah sosok yang diliputi nafsu berkuasa (hubbu as siyadah), melainkan orang yang terus berusaha melekatkan sifat adil pada dirinya. Hingga tiada satu makhluk bernyawa pun yang akan dizaliminya. Meski “hanya” seekor hewan misalnya. Sang pemimpin bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya.
Tujuan kepemimpinan dalam Islam adalah menjadikan negeri ini bertakwa, hingga berkah Allah SWT tercurah dari langit dan bumi. Maka seseorang yang kurang tsaqafah Islam dengan sendirinya akan menyingkir dari kontestasi. Merasa tak layak untuk menjadi imam dari jutaan jiwa dan memimpin mereka di jalan takwa.
Hal itulah yang menjadikan calon pemimpin dan output pemilu dalam sistem Islam pasti berkualitas. Tak akan ada praktik money politic dan suap menyuap karena sang calon pemimpin takut akan murkanya Allah SWT. Hal ini mencegah dikorupsinya uang negara untuk money politic. Calon pemimpin juga tidak akan membutuhkan biaya kampanye yang besar. Karena kulitas dirinya hakiki, tak butuh pencitraan.
Selain itu, metode baku pengangkatan pemimpin dalam Islam adalah baiat. Pengangkatan khalifah pada masa khulafa’ ar rosyidin ada dua cara. Semuanya pernah dilakukan oleh mereka. Dan dua metode tersebut telah disepakati oleh para sahabat pada masa itu tanpa ada yang membantahnya. As Syaikh Abdullah bin Umar bin Sulaiman ad Damiji dalam buku beliau Imamatul ‘Udma ‘inda ahlussunnah waljama’ah menjelaskan dua metode tersebut yaitu, pertama, dengan cara dipilih. Yang memilih adalah ahlul halli wal ‘aqdi. Cara ini dipakai pada saat pemilihan sahabat Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dan sahabat Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu.
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahuma berkata, dikatakan pada Umar, tidakkah engkau memilih (kholifah), Umar berkata : jika saya memilih, maka telah memilih seseorang yang lebih baik dariku yaitu Abu Bakar, dan jika aku tinggalkan, maka telah meninggalkan (urusan kekhilafahan) orang yang lebih baik dariku yaitu Rasulullah. (HR. Muttafaqun ‘alaihi).
Sedangkan ahlul halli wal ‘aqdi dalam kitab nihayatul muhtaj ila syarhil minhaj disebuatkan adalah sekelompok manusia yang memiliki kedudukan dalam urusan din dan akhlak serta kemampuan dalam melihat kondisi dan mengatur ummat. Mereka juga disebut dengan ahlus syuro, ahli ro’yi wat tadbir atau yang disebutkan oleh para ulama’ dengan kumpulan para ulama’ dan pemimpin serta ahli taujih yang mungkin dapat berkumpul.
Yang kedua ialah metode al ‘ahdu atau istihlaf. Seorang pemimpin memilih penggantinya dari umat islam yang dia lihat layak untuk menempati kedudukannya. Ketika seorang khalifah merasa bahwa ajalnya telah dekat, dia bermusyawarah kepada ahlul hallu wal ‘aqdi untuk memilih calon penggantinya. Apabila orang yang direkomendasikan oleh khalifah disetujui ahlul halli wal ‘aqdi maka orang tersebut ditetapkan sebagai khalifah setelah wafatnya khalifah tersebut.
Dari ‘Aisyah berkata, bersabda Rasulullah ketika sakitnya : panggilkan Abu Bakar dan saudaramu sampai aku tuliskan wasiat. Maka sesungguhnya aku takut untuk berangan-angan ada yang mengatakan saya lebih berhak (atas kepemimpinan). Dan Allah dan kaum mukmini menyetujuinya kecuali Abu Bakar. (HR. Muslim)
Kemudian Islam juga menetapkan batas maksimal kekosongan kepemimpinan adalah tiga hari. Dalilnya adalah ijma‘ sahabat pada pembaiatan Abu Bakar ra yang sempurna di hari ketiga pasca wafatnya Rasulullah Saw. Juga ketetapan Umar bin Khatab yang membatasi waktu musyawarah ahlul halli wal aqdi adalah tiga hari. Jika dalam kurun tiga hari enam orang ahlul halli wal aqdi ada satu yang tak kunjung sepakat maka satu orang tersebut diperintahkan untuk dibunuh. Demi tuntasnya baiat dalam waktu tiga hari. Batas waktu tiga hari ini akan membatasi kampanye. Teknis pemilihan juga akan dibuat sederhana sehingga dalam waktu tiga hari pemilu sudah selesai.
Begitulah sederhananya pemilihan dalam sistem politik Islam. Tak ada yang dirugikan ataupun diuntungkan, tak ada kepentingan, maupun politik uang. Semua berjalan dengan semestinya, kita diharuskan sesuai dalam pelaksanaannya dan diwajibkan sesuai dengan tuntunanNya.
(*Aktivis Dakwah Muslimah Berhijrah.