Shutdown Medsos, Bukti Penguasa Represif




Oleh: Ummu Fikr

(Muslimah Peduli Umat)


“Medsos itu penebar hoax” begitu kira-kira alasan pemerintah men-shutdown Medsos. Apakah anda percaya? Atau anda lebih percaya bahwa ini adalah upaya pembungkaman fakta terhadap chaosnya pesta demokrasi negeri ini. Jika tahun 2014, Pa Prabowo dicurangi, rakyat adem ayem. Hari ini, Medsos telah menelanjangi kecurang brutal yang dilakukan pemerintah. Bahkan media luar negeri telah mencatatnya sebagai pemilu yang mengenaskan. 


Puncaknya, pasca pengumuman menangnya capres petahana oleh KPU, diumumkan diam-diam, dipercepat waktunya dan dipublish dini hari. Ada apa? Kenapa, fakta 600 lebih petugas KPPS tewas. Juga seorang pakar kesehatan yang ingin mengungkap keganjilan dari sisi medis malah diperkarakan. Untuk 2 hal ini saja sudah ganjil. Ditambah pengumumannya yang sembunyi-sembunyi. Ada apa?


Tibalah, rakyat disodorkan viralnya video dan gambar lewat Medsos. Pembakaran mobil, penembakan aparat, penyiksaan warga oleh aparat, penyerangan pada tenaga medis dan segudang ke-chaosan di depan KPU. Media televisi mainstream bukan tidak menayangkan. Mereka menayangkan, hanya saja sebagian-sebagian dan opininya diputarpalikan. Narasinya terus berulang bahwa rakyat dan provokator lah yang menjadi sumber masalah. 



Demokrasi Biang Keladi


Dari kegaduhan yang amat brutal di bulan Ramadhan ini, satu hal yang pasti. Semua adalah akibat rezim yang tak berfungsi sebagai pelindung rakyat. Mereka lebih takut pada para cukong-cukong yang telah menghidupi mereka, daripada Allah SWT.


Syahwat dunia, telah membutakan mata dan nurani mereka. Mengapa negeri ini terus menerus memproduksi penguasa yang lalim? Sudah bosan rasanya mendengar anggota dewan, korupsi, terlibat narkoba dan seabrek tingkah mereka yang merugikan negara. Belum ditambah pemimpin yang kebijakannya malah merugikan rakyat. Subsidi dicabut. Kebijakan impor saat panen. Diam-diam menaikan tarif dasar listrik. Mengimpor tenaga kerja asing, padahal rakyat masih banyak yang nganggur. Akhirnya akibat kemiskinan, gizi buruk merajalela. 


Atau kebijakan aneh, yang bersembunyi dibalik teori yang membodohi umat. “Utang itu solusi kemajuan Indonesia”. Atau “impor itu agar stok tersedia”. Ah lagu lama, padahal semua itu dipersembahkan untuk para kapitalis yang menyokong mereka.


Mengapa para pemangku kebijakan seringnya menelorkan kebijakan yang mendzolimi umat? Semua itu akibat sistem yang berlaku di negeri ini adalah demokrasi. Percaya ga? Loh kenapa yang disalahkan demokrasinya? Itu mah orang-orangnya saja yang buruk rupa? Sistemnya sudah oke, orangnya yang ga bener. 


Terus, kalo cuma orang, kenapa mayoritas kalo gitu? Coba kalo panitia KPPS yang meninggal cuma satu atau dua orang, kira-kira bakal gaduh ga? kyanya engga yah. Nah karena 600 orang yang meninggal serempak, kita mengira ini pasti ada sesuatunya.


Faktanya, yang bisa menyalonkan jadi DPD, DPR, apalagi presiden, dia harus mempunyai dana besar. Akhirnya, mereka mencari sponsor sana sini. Para pengusaha yang punya dana, akan mencari calon mana yang kira-kira menguntungkannya. Memang uang bisa membeli kepercayaan? Ya tidak. Tapi uang bisa menciptakan politik pencitraan. Disodorkanlah oleh banyak media, si calon tidak sombong dan rajin menabung. Biaya habis-habisan untuk pencitraan, bahkan suap pun dilakukan demi kemenangan.


Setelah menang? Ya balikin modal. Sudah balikin modal? Ya kasih makan keluarga, partainya dan orang-orang yang berjasa. Rakyat? Gigit jari deh. Jadi, sangat sulit, jika tidak boleh bilang mustahil. Seseorang yang niatnya benar, ingin mengurusi umat, maju dan menjadi pemenang. Butuh usaha yang ekstra Joss.


Belum lagi kepentingan partai yang mengusungnya. Jadilah politik transaksional. Orang-orang yang pintar, cerdas dan bermoral, tersingkir. Kenapa? Ga berfaedah. Pelit, ga mau bagi-bagi kue kekuasaan. Terus ngapain nyalon kalo gitu? Lah, itulah bedanya dengan Islam. Dalam hawa kapitalisme, niat jadi pejabat ya untuk dunia. Mereka sudah hitung-hitung dong. Untung rugi. Tuh kan, jadinya kursi jabatan itu bukan untuk mengurusi umat, tapi niatnya untuk bisnis. Kalo pun ada untuk umat, itu kalo kepentingan dirinya sudah terpenuhi.


Film “sexy killer”, telah gamblang menyebutkan bagaimana lingkaran kekuasaan dan lingkaran kepemilikan perusahan seperti batu bara, ya orangnya itu itu juga. Terlalu jelimet kalo kita musti beresin satu-satu. 


Ibarat kolam kotor. Ya demokrasi tuh itu. Jadi kalo ingin membersihkannya, jangan nyemplung, di luar juga bisa. Kalo nyemplung, ya kita ikut kotor. Mustahil tidak kotor. Kalo alasannya biarin kotor, nanti mandi? Nah mending kalo ga tenggelam, kalo keburu tenggelam di kolam kotor?


Sesungguhnya, demokrasi itu sebuah sistem rusak dan merusak. Mari out of the box. Masih ada sistem lainnya. Apa salahnya melirik sistem Khilafah yang digaungkan Hizbut Tahrir. Sudahlah ajaran Islam. Fakta sejarah pun mencatat kegemilangannya. Semoga Indonesiaku damai dan selalu dalam lindungan Allah SWT.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak