Saatnya Campakkan Demokrasi, Back to Islam



Oleh: Tri S, S.Si

(Penulis adalah Pemerhati Perempuan dan Generasi)

Korupsi dalam wadah demokrasi subur bagai jamur yang takkan pupus, pejabat negara terjerat korupsi secara berulang dan massif.

Tidak ada jaminan orang baik akan selamat dari korupsi, karena demokrasi menghalalkan segala cara. 

Sebagian umat Islam tertipu dengan demokrasi. Mereka menganggap demokrasi sekedar cara memilih pemimpin. Karena itu banyak umat Islam yang menerima demokrasi sekaligus terlibat aktif dalam proses demokrasi. Tentu dengan harapan bisa memperjuangkan kepentingan Islam dan umatnya, harapan akan datangnya pemimpin yang bisa membawa kemenangan bagi Islam dan umat Islam. 

Namun, harapan itu meleset. Alih-alih bisa memajukan Islam dan umatnya, bahkan kondisi umat Islam makin hari makin parah. Urusan dunia saja tidak kunjung membaik. Hidup makin susah. Ratusan juta rakyat, tentu saja mayoritasnya Muslim, termasuk kategori miskin. Harga-harga sembako makin melambung. Pekerjaan sulit didapat. Pajak makin menggila. 

Pendidikan dan kesehatan makin membebani. Disisilain kekayaan alam yang melimpah, emas, tembaga, minyak dan gas diserahkan kepada asing. Jurang menganga antara sikaya dan simiskin makin melebar. Segelintir orang menjadi super kaya. Mayoritas rakyat hidup miskin. Di pihak lain korupsi berjamaah di seluruh level kekuasaan makin intensif. 

Bagaimana dengan kemajuan Islam yang diharapkan? Sungguh mengecewakan. Kasus-kasus pelecehan Islam makin merajalela. Dengan berbagai modus dan tujuan, para penista Islam bermunculan. Ada yang mengaku nabi, Imam Mahdi atau guru spiritual. yang paling baru tentu saja ulah bakal calon petahana gubernur Jakarta. Dia mengacak-acak Islam seenak perutnya. Berulang dia melakukan itu hingga dia melecehkan Alquran dan ulama.

Semua itu terjadi di depan para penguasa yang notabene dipilih oleh rakyat. Tentu mayoritasnya umat Islam. Para penguasa itu berdiam diri terhadap semua keburukan yang terjadi. Penguasa sama sekali tidak seperti yang diharapkan. Mereka tidak muncul sebagai pembela Muslim dan Islam. Bahkan tidak jarang kebijakan penguasa justru merugikan rakyat serta menguntungkan asing. Mengapa? Kapitalisme, itulah jawabannya. Idiologi ini lahir dari akidah sekulerisme (pemisahan agama dari Negara). Idiologi menjadikan uang sebagai panglima dan menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan. Gara-gara Kapitalisme, negara sekuler ini menerapkan ekonomi liberal dan politik demokrasi. Idiologi ini meniscayakan pemilik uang menguasai semuanya, baik ekonomi maupun politik. Ujung dari segala proses bermasyarakat dan bernegara berpangkal pada kepentingan para pemilik modal. 

Alhasil, demokrasi bukan sekedar cara memilih pemimpin. Demokrasi merupakan cara idiologi kapitalis untuk menguasai panggung politik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa proses demokrasi sangat mahal. 

Dana pesta demokrasi juga harus dirogoh mahal oleh peserta pemilu. Semakin tinggi jabatan yang diperebutkan semakin tinggi pula biaya kampanye yang dikeluarkan. Pada titik inilah kepentingan pemodal bertemu. Para kandidat baik caleg maupun calon kepala daerah dan calon presiden membutuhkan dana sangat besar. Adapun para pemodal membutuhkan pengistimewaan dari penguasa. 

Jadilah para pemodal sebagai investor Pemilu. Mereka membiayai kandidat untuk imbalan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Karena itu sudah menjadi kewajiban penguasa yang menang Pemilu untuk mengabdi kepada investornya. Terbitlah berbagai regulasi yang menguntungkan mereka. Tepatlah dikatakan bahwa demokrasi itu bukan “dari, oleh, dan untuk rakyat”, namun demokrasi adalah  “dari, oleh dan untuk pemodal”.

Sistem politik demokrasi membuka celah lebar intervensi asing dalam urusan pemilihan pemimpin. Padahal itu sama dengan membuka jalan menguatkan penjajahan. Islam menutup celah jalan penjajahan, salah satunya dengan menetapkan sistem pemerintahan Islam dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyah. [Tri S]


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak