Oleh: Chezo*
Sebentar lagi kita akan memasuki bulan Juli, dimana bulan Juli adalah jadwal anak kembali bersekolah dengan tahun ajaran baru. Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) bahkan telah dimulai sesuai jenjangnya mulai dari Sekolah Dasar (SD) sampai dengan Sekolah Menengah Atas (SMA). Ingar bingar masyarakat menyambut tahun ajaran baru juga mulai terlihat dari sesaknya beberapa toko-toko perlengkapan sekolah. Sayangnya tidak semua anak bisa merasakan hal tersebut dengan mendapatkan pendidikan yang layak.
Misalnya saja di Provinsi Jawa Barat, angka putus sekolah yang tercatat selama tahun 2018 dari bulan Januari hingga November 2018 mencapai 37.971 siswa. Jumlah anak yang putus sekolah SD mencapai 5.627 siswa, SMP mencapai 9.621 siswa, SMA mencapai 5.403 dan yang terparah adalah jumlah siswa SMK yang mencapai angka sebanyak 17.320 siswa yang putus sekolah. (www.timesindonesia.co.id/13/06/2019)
Data statistik tingkat provinsi dan kabupaten menunjukkan bahwa terdapat kelompok anak-anak tertentu yang terkena dampak paling parah. Hampir setengah dari anak-anak yang berasal dari keluarga miskin tidak mampu melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah pertama (SMP). Anak-anak yang berasal dari rumah tangga termiskin memiliki kemungkinan putus sekolah 4 kali lebih besar daripada mereka yang berasal dari rumah tangga berkecukupan. Hampir 3 persen dari anak-anak usia sekolah dasar di desa tidak bersekolah, dibandingkan dengan hanya lebih dari 1 persen di daerah perkotaan. Dari mereka yang belajar di bangku sekolah dasar, hampir 1 dari 5 anak tidak dapat melanjutkan ke sekolah menengah pertama, dibandingkan 1 dari 10 anak di daerah perkotaan. Kemungkinan putus sekolah adalah 20 kali lebih tinggi untuk anak-anak yang ibunya tidak memiliki pendidikan daripada mereka yang memiliki ibu dengan pendidikan tinggi. Jika ini terbukti sebagai fenomena yang terjadi terus-menerus maka akan berdampak besar bagi pertumbuhan jangka panjang Indonesia, jika kurangnya pendidikan berlanjut dari satu generasi ke generasi selanjutnya. (www.unicef.org/13/06/2019)
Padahal mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan salah satu tujuan negara. Sayangnya, tidak sedikit sekolah berbiaya mahal, bahkan ada yang nilainya mencapai puluhan juta lebih per tahun. Tentunya dengan fasilitas dan pelayanan serta kualitas guru atau dosen yang terbaik. Namun pandangan bahwa semakin mahal biaya sekolah semakin bagus mutunya agaknya telah memengaruhi psikologis masyarakat khususnya di kota besar. Hal ini disebabkan karena pendidikan dinilai sebagai investasi jangka panjang untuk kesuksesan anak di masa depan. Karenanya, banyak orang tua akhirnya bersikap selektif dalam memilih sekolah untuk anaknya. Bahkan, banyak yang harus rela mengeluarkan biaya besar.
Mahalnya biaya sekolah sesungguhnya adalah sebuah hal yang wajar dari diadopsinya ideologi Kapitalisme oleh negara ini. Ideologi Kapitalisme menjadikan pengelolaan urusan masyarakat diserahkan kepada swasta dimana peran negara hanyalah sebagai fasilitator belaka. Semua sektor harus dibuka untuk swasta dan harus dibuka untuk dijadikan sebagai lahan bisnis, termasuk sektor pendidikan. Akibatnya, biaya sekolah terus meningkat tiap tahunnya. Kalaupun ada sekolah gratis, itu hanya sampai tingkat SMP, dan hanya berlaku bagi sekolah negeri. Selebihnya, sekolah tingkat lanjut hanyalah untuk mereka yang mampu menanggung biayanya, tidak untuk orang-orang miskin. Privatitasi (penjualan BUMN kepada pihak swasta) yang diamanahkan oleh undang-undang terus memperkecil sumber pendapatan negara. hal ini diperumit dengan adanya kewajiban membayar utang luar negeri beserta bunganya yang besar. Akibatnya, untuk membiayai semua urusannya, negara harus membebani rakyat dalam bentuk pungutan pajak yang terus meningkat. Jika terjadi masalah, maka kelangsungan sekolah gratis itu bisa terancam, karena negara akan menurunkan anggaran pendidikan.
Sesungguhnya Islam telah menetapkan pendidikan sebagai salah satu kebutuhan utama masyarakat secara umum yang pemenuhannya menjadi kewajiban negara. Negara wajib menyediakan pendidikan bagi rakyat secara gratis. Inilah prinsip dasar dalam sistem Islam yang tentu saja bertolak belakang dengan prinsip dasar dalam sistem Kapitalisme yang sedang diterapkan di dunia, termasuk di negeri ini. Jika negara lalai atau abai terhadap masalah pendidikan rakyat, maka kelalaian itu dinilai sebagai pelanggaran terhadap ketentuan Allah Subhanahu Wa Ta'ala, dan tentu saja penguasa berdosa karenanya. Prinsip inilah yang menjadikan para pemimpin dalam masa Kekhilafahan saat Islam diterapkan selalu fokus terhadap urusan pelayanan kepada rakyatnya termasuk dalam pendidikan. Karenanya, untuk mengakhiri masalah mahalnya biaya sekolah secara tuntas, sistem Kapitalisme ini tentu harus segera dicampakkan dan diganti dengan penerapan sistem Islam secara kaffah.
* (Aktivis BMI Community Cirebon)