Potret Buram Pendidikan Sekuleristik yang Memisahkan Agama dari Kehidupan



Oleh : Nur Azizah (Aktivis Muslimah Jakarta Utara) 

Dalam sejarah peradaban suatu bangsa, generasi milenial adalah aset yang mahal dan tak ternilai harganya. Kemajuan maupun keburukan suatu negara juga sangat bergantung oleh generasi milineal yang menjadi tokoh utama dalam peranannya melakukan suatu perubahan. Kaum muda atau sering kita dengar dengan sebutan generasi milenial memiliki potensi yang bisa diharapkan. Mereka memiliki semangat yang sulit dipadamkan. Terlebih jika semangat bercampur dengan pengetahuan dan diimplementasikan melalui tindakan. Maka akan terciptalah suatu perubahan. 

Namun, kalau generasi milenial ini ternyata amoral dan bergaya hidup liberal, apakah akan mampu mewujudkan perubahan? Pada faktanya, dari masa ke masa pemuda yang menjadi generasi pemimpin bangsa ini terus dihantam berbagai virus pemikiran dan budaya Barat. Contoh saat ini seperti pacaran, freesex, aborsi, narkoba, bahkan LGBT bak warna-warni bagi kehidupan generasi milenial. Hal ini membawa generasi pada keterpurukan dan kehancurannya satu negara tersebut. 

Berbagai upaya untuk membawa perubahan sering kali dilakukan salah satu contohnya sebagai berikut. Dikutip dari laman (ANTARA) “Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir melepas 45 orang delegasi mahasiswa Indonesia yang akan melaksanakan kunjungan ke China mulai 15 hingga 21 Juni 2019.

"Saya ingin mengajak mahasiswa untuk berpikir lebih maju dan punya wawasan lebih luas," kata Nasir dalam acara pelepasan delegasi mahasiswa Indonesia untuk kunjungan ke China, Tangerang, Banten, Jumat (14/6).

Kunjungan mahasiswa Indonesia tersebut merupakan respons terhadap undangan Pemerintah China yang disampaikan melalui Kedutaan Besar China di Jakarta kepada Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi dengan surat tertanggal 12 Februari 2019.

Program tersebut bertujuan untuk memperkenalkan keindahan alam, budaya, dan teknologi China kepada mahasiswa dan mahasiswi Indonesia. Peserta diharapkan mendapatkan pengalaman dan wawasan internasional agar mampu bersanding dan bersaing dengan negara lain, dan membagikan pengalaman positifnya di lingkungan kampus. Juga mempersiapkan generasi milenial di Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, afektif, serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia. Apakah langkah ini membawa perbaikan untuk negara di kemudian hari? 

Mari kita lihat survei yang dilakukan oleh Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Kementrian Kesehatan pada Oktober 2013, sekitar 62,7% remaja Indonesia melakukan hubungan seks di luar nikah. Ini jauh dari data tahun 1980 yang hanya 5%, atau tahun 2000 yang hanya sampai angka tertinggi 20%. Departemen Kesehatan RI mncatat bahwa setian tahunnya terjadi 700 ribu kasus aborsi pada remaja. Data dari Penelitian BNN dan Puslitkes UI memperkirakan sekitar 2,8% atau 5,1 juta orang Indonesia menjadi pecandu narkoba pada tahun 2015, ada kenaikan hampir dua kali lipat dalam 10 tahun terakhir (tahun 2004 sebesar 1,75%). Dari jumlah tersebut, 22% di antaranya adalah pelajar.

Bahkan para generasi milenial di Jember yang terkenal dengan Kota Seribu Pesantren pun tak luput dari kasus ini. Dinas Kesehatan Jember menyatakan bahwa kasus HIV/AIDS karena homoseksualitas mencapai 214 buah, bahkan masuk ke kelompok usia lebih muda. Selain itu di tahun 2017, catatan di klinik VCT RSD dr. Soebandi menyebutkan bahwa di Jember terdapat sekitar 3000 jiwa menderita HIV/AIDS. Yang tentunya angka persentase setiap tahun akan terus meningkat. 


Langkah pemerintah untuk mengakhiri rantai problematika generasi memang patut diapresiasi. Namun, kita pun perlu melihat pula hasil dari usaha tersebut. Jika dilihat dari fakta di atas, permasalahan generasi milenial semakin lama bukannya berkurang tapi justru meningkat. Sehingga, upaya untuk mengatasi hal tesebut rupanya belum membuahkan hasil yang signifikan. Inilah yang perlu kita renungkan.

Akar permasalahan. 

Diibaratkan Dokter yang sedang mendiagnosis pasiennya agar obat yang diberikannya nanti adalah obat yang tepat maka kita juga perlu “mendiagnosis penyakit” yang di derita oleh generasi milenial saat ini. Permasalahan yang membelenggu generasi milenial tersebut dipacu oleh tiga faktor yaitu orang tua, masyarakat dan juga negara. 

Orang tua berperan sebagai rujukan pertama dan utama bagi anak-anaknya. Orang tualah yang memiliki kewajiban penuh untuk menanamkan pendidikan keimanan, membangun ketaatan pada agama (hukum Allah), serta memberikan teladan kebaikan pada anak-anaknya. Kondisi hari ini, para orang tua kurang menjalankan kewajibannya sebagai pendidik pertama dan utama bagi anaknya. Fenomena penitipan anak kepada neneknya, tetangganya, baby sitter, Tempat Penitipan Anak (TPA) menjadi pemandangan umum di sekitar kita. Akhirnya anak-anak tersebut menjadi sosok yang kurang perhatian, kasih sayang, ilmu, dan pendidikan.

Masyarakat juga memiliki parenting sebagai salah satu sekolah besar bagi generasi berperan untuk melakukan kontrol sosial untuk mencegah berbagai tindakan yang menyalahi norma dan agama. Tapi saat ini, masyarakat cenderung abai terhadap kondisi dan masalah yang terjadi. Betapapun banyaknya muda-mudi yang pacaran, freesex in the kost, generasi mati karena narkoba dan HIV/AIDS, bahkan pelaku LGBT, suara dari masyarakat kurang bahkan tidak terdengar sama sekali. 

Adapun negara sebagai pihak yang memiliki peran paling besar untuk melindungi generasinya, berwenang menerapkan berbagai kebijakan mulai dari politik, ekonomi, sosial, pendikan, dan sebagainya. Saat ini negara kita tengah menerapkan sistem pendidikan sekular-sekuleristik. Secara kelembagaan, sekularisasi pendidikan menghasilkan dikotomi pendidikan yang sudah berjalan puluhan tahun, yakni antara pendidikan ‘agama’ di satu sisi dengan pendidikan umum di sisi lain. Pendidikan agama melalui madrasah, institut agama dan pesantren dikelola oleh Departemen Agama, sementara pendidikan umum melalui sekolah dasar, sekolah menengah dan kejuruan serta perguruan tinggi umum dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional.

Terdapat kesan yang sangat kuat bahwa perkembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek) yang dilakukan oleh Depdiknas dipandang tidak berhubungan dengan adanya agama. Sementara, pembentukan karakter siswa merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan di sini justru kurang tergarap secara serius. Agama ditempatkan sekadar sebagai salah satu aspek yang perannya sangat minimal, bukan menjadi landasan dari seluruh aspek kehidupan. 

Walhasil banyaknya tingkatan generasi milenial yang menempuh pendidikan tinggi secara umum menjadi lulusan yang tidak menjadikan agama sebagai landasan untuknya hidup. Tak heran jika mereka seringkali melakukan hal-hal yang tak seharusnya dilakukan. 

Jika ingin menyelamatkan generasi, maka butuh solusi fundamental untuk menuntaskan problematika hingga ke akarnya, yakni mengganti sistem sekuler-demokrasi yang menjauhkan manusia dari agama dengan sistem yang membuat manusia senantiasa tunduk pada agama. Sistem itu adalah sistem Islam, yang hanya bisa diterapkan melalui khilafah Islamiyyah.

Wallahu’alam bishowab


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak