Oleh: Ummu Syaqieb
Mudik lebaran telah usai. Hal ini ditandai dengan arus lalu lintas yang kembali berjalan normal. Hanya saja, kisah dibalik mudik lebaran masih menjadi buah bibir. Salah satunya, keluhan masyarakat terkait transportasi.
Hangat pemberitaan beberapa hari lalu tentang puluhan pemudik yang pingsan akibat kelelahan dan dehidrasi di pelabuhan Bakauheni, Lampung, Minggu (9/6/2019). Saat itu antrean untuk naik ke kapal sangat panjang. Ditambah suasana di bawah terik matahari, hingga menyebabkan puluhan penumpang pingsan, banyak juga yang mengalami sesak napas.
Membludaknya pemudik yang menggunakan jasa angkutan umum disinyalir akibat mahalnya tiket pesawat dan tarif tol. Sebagaimana kita ketahui, tarif tol mengalami kenaikan harga yang cukup signifikan. Bahkan tol trans jawa banyak dikeluhkan pengguna akibat tarif yang dirasa cukup mahal. Meski ada kebijakan diskon 15% di tiga hari arus mudik, tiga hari arus balik, nyatanya kurang dirasakan kemanfaatannya oleh pengguna.
Selain tol, tiket pesawat pun mengalami kenaikan luar biasa, 79.5 persen. Walhasil, kenaikan dua moda transportasi ini sudah barang tentu menjadi beban bagi masyarakat pengguna. Akibatnya, tak sedikit masyarakat mengambil solusi yang memungkinkan, beramai-ramai pindah ke moda transportasi lain yang dianggap lebih murah maupun melewati jalan non tol.
Hanya saja, menarik untuk dicermati adalah tanggapan pemerintah merespon keluhan masyarakat terkait harga tiket pesawat yang melambung tinggi. Pemerintah mewacanakan sebuah solusi, yakni masuknya maskapai asing dalam dunia penerbangan dalam negeri agar terjadi persaingan usaha. Namun solusi tersebut banyak menuai pro-kontra. Tidak sedikit yang berpandangan bahwa solusi tersebut dirasa tidak efektif.
Salah satunya datang dari Nawir Messi, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) yang mengatakan, masukannya maskapai asing belum tentu menurunkan harga pesawat kalau iklim persaingan usaha tidak dibenahi. Karena menurut Nawir, permasalahan utama ada pada iklim usaha yang selama ini dicengkeram permainan kartel oleh dua perusahaan maskapai mayor.
Dari sini dapat kita lihat, solusi yang diberikan penguasa tidak mendasar. Lebih terlihat sebagai solusi yang memberi keuntungan pada pihak asing dengan membuka peluang lebar-lebar untuk "berdagang" di negeri ini. Bertindak sebagai makelar dagang asing dengan mengabaikan kewajiban pengurusan pada masyarakat.
Padahal sejatinya, ketersediaan alat transportasi merupakan kebutuhan dasar masyarakat. Terhitung sebagai fasilitas yang musti diupayakan oleh negara. Sayang, sistem Kapitalis - Sekular telah mengubah kewajiban menjadi pengabaian. Pengurusan negara lebih berbicara untung-rugi, seperti yang terjadi dalam permalahan transportasi publik ini.
Kita merindu suasana mudik yang nyaman, dengan dukungan kemudahan fasilitas yang disediakan oleh penguasa. Semoga lekas terwujud di masa mendatang, kala periayahan (pengurusan) negara sesuai dengan syariat Islam yang memang menentramkan.