Oleh : Tri Puji Astuti
Pernahkah kita mendengar tentang ” Orang yang disegel rumahnya, diambil paksa kendaraannya oleh debt collector karena tidak mampu membayar cicilan?”. Mungkin pertanyaan ini seketika mengingatkan kita kepada keadaan Indonesia saat ini dan di masa yang akan mendatang dengan jeratan hutangnya. Terlebih lagi dengan rezim komunis China. Sembunyi-sembunyi para elit kekuasan mengikat janji agung dengan rezim komunis China, yakni OBOR (One Belt One Ring). Sebuah perjanjian politik yang menandatangani sekitar 26 proyek sekaligus. Dan untuk mengembangkan 23 sektor usaha atau kesepakatan kerja sama di bawah kebijakan pemerintahan China dalam proyek One Belt One Road (OBOR) atau Belt Road Invitiative (BRI). Penandatanganan kerja sama dengan skema Business to Business yang akan disaksikan kalangan elit kekuasaan itu akan difokuskan pada empat wilayah yakni Sumatera Utara, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara dan Bali.
Tanpa meminta izin kepada penghuni bangsa, elit ini menerima tawaran hutang riba dari China dengan berupa puluhan aset negara sebagai jaminannya. Padahal jika diteliti lagi, jauh sebelum adanya proyek OBOR ini, Indonesia sudah menanggung hutang yang sangat besar nominalnya lebih dari 5000 trilyun Rupiah, belum lagi terhitung bunganya. Sebelum adanya perjanjian ini ,dilihat bahwa TKA (Tenaga Kerja Asing) China sudah tesebar di mana-mana. Jelas ini menunjukkan bahwa elit telah semena-mena dengan urusan rakyat. tidak memikirkan nasib bangsa, yang penting infrastruktur terkesan mewah.
Mereka bahkan tidak mau belajar dari kesalahan negara-negara lain yang juga telah terjerat jebakan China. Zimbabwe, Nigeria, Srilanka dan Pakistan seolah tak mau dijadikan ibrah. “Tak apa, asalkan mendapatkan jatah” begitu mungkin pikirnya. Negara-negara yang tak sanggup membayar hutang ke China konsekuensinya adalah mulai dari mengganti mata uang menjadi Yuan hingga memberikan aset negara yang sudah dijadikan sebagai jaminannya. Bayangkan jika itupun terjadi dengan Indonesia? Bisa jadi pelabuhan, bandara, pulau-pulau yang kita punya akan menjadi hak milik China. Atau mungkin hal ini pun sudah terjadi.
Sudah jelas sekali proyek ini tidak menguntungkan bagi Indonesia,terutama bagi rakyat. Proyek ini hanya menguntungkan segelintir pemodal, namun tidak untuk kepentingan rakyat umum. Sebaiknya hentikan proyek ini sebelum Indonesia menjadi korban “penjarahan” China selanjutnya.
Kenapa pemerintahan Indonesia tidak fokus membangu infrastruktur dan mengelola sumber daya alam milik Indonesia ini untuk kepentingn umat?. Sebagai pemimpin yang baik dan adil, harusnya berpihak kepada kepentingan rakyatnya. Namun, sepertinya ini sulit dilakukan dalam sistem dan peraturan hari ini. Sebab, sistem ini hanya mementingkan kepentingan segelintir orang (pemodal), namun mengabaikan hak rakyat yang lain. Inilah bukti bahwa sistem kapitalis biang keladi. Sistem ini terbukti tak mampu menjamin kesejahteraan bagi rakyat. Untuk itu, mari tinggalkan sistem Kapitalisme-Demokrasi. Dan bersegeralah kembali kepada aturan yang hakiki yang berasal dari Sang Illahi Rabbi, yakni Khilafah ‘ala Manhaj an-Nubuwwah.
Namun hal ini tidak akan mungkin dalam sistem kapitalis yang berlaku saat ini. Meskipun kekayaan alam negara ini melimpah maka itu semua tidak akan digunakan dalam rangka memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya. Kekayaan alam itu dibiarkan dan diberikan pada asing dan aseng . Maka tidak akan ada harapan perbaikan dalam sistem kapitalis ini yang ada kesengsaraan semakin dalam. Maka sudah selayaknya jika kita ingin perbaikan maka kembalilah kepada sistem Islam. Islam adalah solusi yang benar bagi semua permasalahan manusia. Sistem yang bersumber dari Allah SWT, Pencipta dan Pengatur seluruh alam, yakni Khilafah. []
Wallahu alam bish showab.