Oleh : Nurhalidah Muhtar
Bencana tak jua bosan menyapa ibu pertiwi tercinta. Rasa sedih, bingung dan tangisan pilu menghiasi bumi pertiwi, kala amukan banjir memporak-porandakan segala bangunan yang ada dan tak sedikit nyawa ikut melayang.
Sejak awal juni 2019 banjir bandang melanda Kabupaten Konawe Utara-Sultra. Tak sedikit kerusakan serta kerugian yang dialami oleh warga setempat. Terkait hal ini Wakil Gubernur Sultra, Lukman Abunawas memberikan tanggapan seperti yang di lansir oleh ZonaSultra.Com, Kendari “ini memang karena disana banyak aktivitas penambangan dan juga karena lingkungan hidup yang sudah tidak tertata dengan baik. Sehingga itu menjadi salah satu penyebab banjir disana.” Kata lukman, Selasa 11 Juni 2019.
Bencana muncul bukan tanpa sebab. Tak bisa dipungkiri dengan banyaknya aktivitas perusahan-perusahaan tambang tentu membutuhkan lahan yang luas. Mereka mengubah fungsi hutan menjadi tambang mengakibatkan struktur tanah menjadi labil dan tidak padat sehingga mudah terjadi longsor. Alih fungsi lahan seperti ini sudah barang tentu mengundang banjir bandang.
Pengelolaan perusahaan-perusahaan tambang tersebut tidak seutuhnya dimiliki dan dikelola oleh Ibu Pertiwi, melainkan telah diprivatisasi oleh swasta yang hasilnya juga akan dinikmati oleh segelintir orang sementara masyarakat hanya mendapatkan ampasnya sekaligus menjadi amukan alam.
Beginilah potret ibu pertiwi ketika mengadopsi ideologi kapitalis. Dalam sistem Demokrasi-sekuler-kapitalis pengelolaan barang dan jasa, kesejahteraan masyarakat bukan menjadi acuan. Asas keuntungan menjadi acuan paling utama.
Rezim alih-alih memberikan solusi tuntas, setiap kali terjadi bencana yang dilakukan hanya memberikan solusi praktis, mengevakuasi korban lalu memberikan sejumlah logistik. Namun tidak ada upaya preventif, mengupas tuntas akar dari permasalahan yaitu menebarnya ijin-ijin perusahaan tambang tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan. Inilah akibat dari tidak berhukum kepada syariat islam dalam segala aspek kehidupan.
Dalam Khilafah, sistem ekonomi diterapkan adalah sistem ekonomi islam, dimana bentuk kepemilikan ada tiga yaitu : kepemilikan individu, umum, dan negara. Kepemilikan umum adalah izin dari Allah yang diberikan kepada orang banyak/umum untuk memanfaatkan suatu barang.
Rasulullah Saw bersabda :
“Kaum muslim berserikat dalam tiga hal : Air, Api dan padang rumput. (HR. Abu Dawud dan Ibn Majah)
Barang dan jasa yang memenuhi hajat hidup orang banyak masuk dalam kepemilikan umum tidak boleh pengelolaannya hanya dinikmati segelintir orang. Pengelolaan kepemilikan umum dalam sistem khilafah yaitu dapat di manfaatkan secara langsung oleh masyarakat seperti, air, api, jalan umum, laut, samudra, dan lain-lain.
Namun ada kepemilikan umum yang dikelola oleh negara karena masyarakat tidak mudah memanfaatkan secara individu, mengingat dibutuhkan biaya dan tenaga ahli, seperti halnya pertambangan. Hasil pengelolaan nanti akan di distribusi kembali kepada masyarakat dalam bentuk fasilitas-fasilitas umum seperti, rumah sakit, jalan umum, biaya pendidikan dan lain-lain. Sehingga masyarakat bisa menikmati yang menjadi haknya, bukan hanya semata-mata memanen bencana.
Tumpang tindih pengelolaan SDA dibumi pertiwi tetap akan menjadi persoalan jika rezim masih setia dengan ideologi kapitalisme. Kendati demikian maka sudah sewajarnya sistem demokrasi-sekuler-kapitalis di campakkan di bumi pertiwi ini. jika memang mengakui cinta terhadap ibu pertiwi maka selamatkan dengan menerapkan syariat islam secara totalitas dalam naungan sistem khilafah, sehingga kekayaan
alam yang melimpah ruah bisa dinikmati oleh berbagai lapisan masyarakat dengan baik lagi adil dan penuh keberkahan. Allahu alam bishowab.