Oleh : Jafisa
'The end of the world is victory demoacrasy and capitalism' (akhir kemenangan dunia adalah demokrasi dan kapitalisme), hanya sebuah ungkapan penghibur diri para pengusung demokrasi, juga upaya kaum kafir untuk mengelabui akan hadirnya sistem yang hakiki.
Hari ini gejolak yang ada diberbagai Negeri termasuk di Negeri pertiwi merupakan tanda-tanda Demokrasi tengah menemui ajalnya.
Setelah tragedi meninggalnya para petugas KPPS masih terus menjadi misteri, kini disusul kembali dengan tragedi tragis di tanggal 22 Mei.
Aparat negara dibawah komando Brimob telah bertindak anarki terhadap para pengunjuk rasa yang menuntut atas dugaan kecurangan pemilu 2019 ini. Namun sayang unjuk rasa yang awalnya tenang, tertib dan damai disusupi oleh penyusup yang membuat onar, makar dan bakar-bakar hingga akhirnya kericuhan terjadi. Tragedi ini mirip sinetron yang tayang di tivi, preman bayaran yang menjadi penyusup akhirnya terciduk juga, nasib dan wajahnya berbeda dengan para pengunjuk rasa yang harus rela berdarah dan kehilangan nyawa. Mereka ditangkap dalam keadaan segar, bugar dan tanpa luka. Aneh bukan?
Belum lagi beredarnya video pengeroyokan seorang anak remaja dipelataran Masjid Al-Huda oleh anggota Brimob, penyerangan kepada relawan dompet duafa dan penyerangan serta perusakan tiga Masjid semakin menunjukan wajah penguasa represif hari ini. https://m.republika.co.id/berita/nasional/hukum/pryi06458/penyerangan-atas-tim-dompet-dhuafa-langgar-konvensi-jenewa
Peristiwa tragis ini diindikasi melibatkan tiga oknum aktor negara. Masyarakat sipil dan internasional mencatat tiga nama yang terdiri dari Wiranto selaku Kemenpolhukam yang memberikan masukan kepada Jokowi, kemudian
Jokowi berposisi sebagai pengambil keputusan dan Tito Karnavian sebagai eksekutor. https://www.viva.co.id/berita/nasional/1152350-mau-laporkan-aparat-ke-mahkamah-internasional-mer-c-siapkan-bukti-ini?utm_source=dlvr.it&utm_medium=facebook
Wajah represif Demokrasi telah ditampakan, prediksi para pengusungnya yang kerap mengatakan Demokrasi semakin lama, semakin bertambah hari berubah menjadi sistem Monarki telah terjadi.
**
Demokrasi Sistem Berdarah, Khilafah Sistem Rahmah
'Rezim Mabok' Tidak terlalu berlebihan rasanya jika ungkapan itu muncul ditengah-tengah masyarakat. Ambisinya untuk tetap menjabat sebagai kepala negara telah nyata ditampakan. Ibarat orang mabok atau mabuk (kehilangan akal) yang menghalalkan segala cara untuk memenuhi ambisinya. Hal ini terlihat pada tragedi misteri dan tragedi tragis yang muncul pasca pemilu, sepak terjangnya dalam membukam para ulama dan aktivis gerakan Islam, serta berbagai jurus mabuk (hantam siapa saja) yang menghalangi jalan ambisinya.
Belum lagi perselingkuhanya terhadap rezim komunis Cina tak bisa dielak dengan fakta dan data. Buktinya berbagai proyek infrastruktur raksasa mulai dari pembangunan tol langit dan yang terakhir adalah obor telah nyata merugikan bangsa. Rakyat dibebani dengan hutang yang terus melambung serta problematika dalam negeri yang tak kunjung menuai tepi semakin memperparah potret kepemimpinan hari ini.
Kalau sudah begini hanya Khilafahlah solusinya. Memang banyak orang yang mengatakan bahwa pihak yang menyuarakan Khilafah tak mengerti sejarah. Kemudian dikatakan bahwa sejarah Khilafah itu berdarah-darah. Dalam Khilafah itu isinya hanya perang dan perang, konflik dan konflik, pembunuhan dan pembunuhan. Bahkan, para Khalifah yang disebut sebagai Khulafa’ur Rosyidin saja wafat terbunuh.
Benarkah semua itu?
Untuk membahas ini, agar pembahasan tidak subyektif, maka akan ditunjukkan pernyataan para sejarawan. Tentu saja para sejarawan sendiri ada yang obyektif dan ada yang subyektif. Sebab para sejarawan sendiri juga memiliki kepentingan dan sudut pandang tertentu dalam melihat suatu fenomena. Namun, biasanya para sejarawan yang berbeda dengan maisntream lebih obyektif, daripada mereka yang mengikuti mainstream. Sebab, para pengikut maisntream biasanya dibayar dan dikontrol oleh kekuasaan.
Benarkah dalam Khilafah itu tidak ada keamanan dan kesejahteraan, serta sejarah Khilafah itu berdarah-darah? Will Durant, dalam The Story of Civilization, vol. XIII, hal 151 menyampaikan: “Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para Khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam wilayah yang sangat luas, dimana fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka.”
Apakah masa Khilafah adalah masa yang suram ataukah masa dengan kemajuan yang mengagumkan? Durant menyampaikan: “Kegigihan dan kerja keras mereka (para Khalifah) menjadikan pendidikan tersebar luas, hingga berbagai ilmu, sastera, filsafat dan seni mengalami kemajuan luar biasa, yang menjadikan Asia Barat sebagai bagian dunia yang paling maju peradabannya selama lima abad”.
Apakah Khilafah itu hanya sibuk dalam perang sehingga tidak sempat mengembangkan saians dan tenologi serta perdaban? Tentang ini, Paul Kennedy menulis dalam The Rise and Fall of The Great Powers: Economic Change an Military Conflict from 1500 to 2000, ”Dalam beberapa abad sebelum tahun 1500, Dunia Islam telah jauh melampaui Eropa dalam bidang budaya dan teknologi. Kota-kotanya demikian luas, rakyatnya terpelajar, perairannya sangat bagus. Beberapa kota di antaranya memiliki universitas-universitas dan perpustakaan yang lengkap dan memiliki masjid-masjid yang indah. Dalam bidang matematika, kastografi, pengobatan dan aspek-aspek lain dari sains dan industri, kaum Muslim selalu berada di depan.”
Terkait dengan non-Muslim dalam Khilafah, Durant dalam The Story of Civilization, menyampaikan: “Orang-orang Non-muslim, seiring dengan perjalanan waktu telah menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa mereka, padahal mereka bukan bangsa Arab, puncaknya dengan ketundukkan mereka kepada syari’at al-Quran dan memeluk Islam.
Padahal, Belanda tidak mampu lagi mempertahankan tonggak kekuasaannya setelah berhasil selama seribu tahun. Begitu juga pasukan Romawi terpaksa meninggalkan tanah air pemberian Tuhan dan tidak dapat lagi mempertahankannya, termasuk di negeri-negeri tempat munculnya sekte Kristen di luar sekte resmi negara Byzantium.”
Apakah masyarakat dipaksa dan diintimidasi dalam urusan agama, Durant menuturkan: “Di seluruh daerah tersebut telah tersebar luas aqidah serta tatacara ibadah agama Islam. Penduduk daerah itu telah beriman kepada agama baru dan mereka semua ikhlas menerimanya. Mereka berpegang teguh kepada akidahnya dengan ikhlas dan serius, hingga dalam waktu singkat mereka telah melupakan Tuhan mereka yang lama.
Islam telah menguasai hati ratusan bangsa di negeri-negeri yang terbentang mulai dari China, Indonesia, India hingga Persia, Syam, Jazirah Arab, Mesir bahkan sampai Maroko dan Spanyol.
Islam pun telah menguasai cita-cita mereka, mendominasi akhlaknya, membentuk kehidupan-nya dan membangkitkan harapan di tengah-tengah mereka, yang meringankan masalah maupun duka mereka. Islam telah mewujudkan kejayaan dan kemuliaan bagi mereka, sehingga jumlah orang yang memeluknya dan ber¬pegang teguh kepadanya pada saat ini (1926) sekitar 350 juta jiwa. Agama Islam telah menyatukan mereka dan melunakkan hati¬nya walaupun ada perbedaan pendapat dan latar belakang politik di antara mereka”.
Sementara tentang posisi non Muslim dalam bidang sains dan teknologi, disampaikan oleh Dr. William Draper, seorang sejarawan American English dan seorang saintis menyampaikan “During the period of the Caliphs the learned men of the Christians and the Jews were not only held in great esteem but were appointed to posts of great responsibility, and were promoted to the high ranking job in the government….He (Caliph Haroon Rasheed) never considered to which country a learned person belonged nor his faith and belief, but only his excellence in the field of learning.” (Selama masa kekhilafahan, orang-orang terdidik dari kalangan Kristen dan Yahudi, tidak hanya mendapatkan penghargaan besar, tetapi juga ditunjuk untuk menempati pos-pos dengan tanggung jawab yang besar dan dipromosikan untuk menempati posisi pekerjaan kelas atas dalam pemerintahan… Dia (Khalifah Harun Arrosyid) tidak pernah melihat asal kebangsaan mereka, juga keimanan dan kepercayaan mereka, tetapi hanya melihat keistimewaan mereka dalam bidang keilmuan).
Apakah Khilafah tersebar luas itu hanya semata-mata karena penaklukan dengan pedang dan peperangan? Mari kita simak penjelasan Henry S. Lucas dalam bukunya yang berjudul Sejarah Peradaban Barat: “Orang-orang Barat sering keliru memahami sifat-sifat penaklukan yang dilakukan orang-orang Islam. Mereka menyangka bahwa keberhasilan aksi-aksi militer itu karena prajurit-prajurit Islam melakukan keganasan untuk menakut-nakuti musuh. Persangkaan mereka (orang-orang Barat itu) bahwa orang-orang Islam memaksakan dua pilihan kepada pihak yang ditaklukkan: Alquran atau pedang. Yang benar adalah bahwa orang-orang Islam tidak pernah membasmi orang-orang Kristen. Mereka hanya memungut upeti (maksudnya jizyah) dari kaum Kristen sebagai kompensasi atas kemuliaan yang diterima kaum Kristen di bawah kekuasaan Islam.” Dalam bukunya tersebut, Henry Lucas tidak pernah menyebut kekuasaan Islam sebagai kerajaan, tetapi kekhalifahan. Misalnya: kekhalifahan Umayyah dan kekhalifahan Abbasiyah.
Apakah Khilafah itu hanya mesin perang? Kennedy mengungkapkan dalam dalam The Rise and Fall of The Great Powers: Economic Change an Military Conflict from 1500 to 2000, bahwa Khilafah (khususnya Khilafah Utsmaniyah) bukan sekedar mesin perang sebagaimana yang dipahami oleh kebanyakan orang. Dia menyampakan: “Imperium Utsmani lebih dari sekadar mesin militer; ia telah menjadi penakluk elit yang telah mampu membentuk satu kesatuan iman, budaya dan bahasa pada sebuah area yang lebih luas dibandingkan dengan yang pernah dimiliki oleh Imperium Romawi".
Kehebatan dan keagungan Khilafah Islam bukan hanya pada masa Turki Utsmani, tetapi juga pada masa-masa Kekhilafahan sebelumnya, baik Abbasiyah, Umayah dan tentu saja masa Khulafa’ur Rosyidin, yaitu kira-kira sekitar 1200 tahun. Hal ini disampaikan oleh Carleton S, seorangh Chairman and Chief Executive Officer Hewlett-PackardCompany berkomentar terhadap peradaban Islam sejak tahun 800-1600 masehi. Dia menyatakan: “Peradaban Islam merupakan peradaban yang paling besar di dunia. Peradaban Islam sanggup menciptakan sebuah negara adidaya kontinental (continental super state) yang terbentang dari satu samudra ke samudra lain; dari iklim utara hingga tropik dan gurun, dengan ratusan juta orang tinggal di dalamnya, dengan perbedaan kepercayaan dan suku bangsa. Tentaranya merupakan gabungan dari berbagai bangsa yang melindungi perdamaian dan kemakmuran yang belum dikenal sebelumnya.” Hal ini diambil dari ceramahnya tanggal 26 September 2001 dengan judul Technology, Business, and our Way of Life: What Next?
Maka tak mengherankan jika para sejarawan, tidak saja menilai Islam sebagai sebuah agama, tetapi juga sebagai sebuah negara dan budaya yang sangat mengagumkan. Hal ini disampaikan oleh sejarawan Philip K. Hitti dalam History of Arab. Dia mengatakan, “The term Islam may be used in three sense: originally a religion, Islam later became a state, and finally a culture.” (Istilah Islam dapat digunakan dalam tiga hal: Pada awalnya Islam adalah agama, lalu Islam menjadi negara, dan terakhir sebagai sebuah budaya).
Islam dengan Khilafahnya berhasil menyatukan umat manusia dalam kesatuan yang hakiki. Perasaan rasial benar-benar hilang dalam naungan Islam dan Khilafahnya. Hal ini diungkapkan oleh Arnold J. Toynbee, sejarawan Inggris dalam The Rise and Fall of Civilizations ‘A Study of History’ menyimpulkan bahwa “The extinction of race consciousness as between Muslims is one of the outstanding achievements of Islam, and in the contemporary world there is, as it happens, a crying need for the propagation of this Islamic virtue.” (Hilangnya perasaan ras diantara Muslim adalah capaian Islam yang sangat istimewa. Dan dalam dunia kontemporer ini sungguh sangat membutuhkan penyebaran ajaran-ajaran Islam ini).
Itulah gambaran tentang Islam dan Khilafah dari para sejarawan. Apakah Khilafah itu berdarah-darah dan mengerikan? Kita dapat menjawab sendiri.
Tentu saja dalam beberapa waktu tertentu pada masa kekhilafahan memang ada masalah, misalnya konflik dan pembunuhan, tetapi melakukan generalisasi suatu fenomena bukan merupakan tindakan ilmiah. Adanya konflik, rebutan keuasaan, dan kasus pembunuhan itu sebenarnya hanya terjadi pada waktu tertentu dan hanya dilakukan oleh oknum tertentu. Sehingga tidak bisa digeneralisasi bahwa Khilafah sepanjang sejarahnya seperti itu. Terus terang, kasus-kasus seperti ini biasanya menjadi catatan penting para sejarawan Muslim, misalnya Imam Ath Thabary atau Imam Ibnu Katsir.
Kita memang tidak bisa mengabaikan adanya penyimpangan seperti ini. Namun, yang patut disayangkan, kita sering keliru dalam membaca kitab-kitab para ulama tersebut, karena kebodohan dan ketidak-cermatan kita. Saat para ulama menjelaskan suatu kasus untuk dijadikan pelajaran, tetapi karena kedangkalan ilmu kita, kita menyimpulkan seakan-akan kasus itu terjadi sepanjang sejarah Khilafah Islam.
Jika bicara kasus, dalam demokrasi juga terjadi. Dalam demokrasi juga terjadi konflik, peperangan, pembantaian dan pembunuhan. Apakah dapat disimpulkan bahwa sepanjang sejarah demokrasi isisnya hanya peperangan dan pembunuhan?
Bahkan jika kita mau melihat secara jujur, terjadinya konflik, peperangan dan pembunuhan serta rebutan kekuasaan, dalam demokrasi jauh lebih mengerikan. Dr. Yusuf Qardhawi dalam Umat Islam Menyongsong Abad 21, mencatat bahwa semenjak keruntuhan Khilafah, terjadi peperangan besar dengan korban manusia yang belum pernah terjadi sebelumnya. Perang Dunia I tercatat korban meninggal sekitar 9 juta orang.
Sedangkan Perang Dunia II menelan 61 juta jiwa. Jumlah tersebut dihitung hanya dari 6 negara. Pada masa demokrasi ini juga, bom atom telah dibuat dan dijatuhkan pada suatu kota dan membunuh ratusan ribu manusia. Sedangkan korban pembunuhan yang dilakukan oleh berbagai pemerintahan selama abad 20 saja sekitar 170 juta orang. Perang Irak dan Afganistan yang dilakukan oleh Soko Gurunya demokrasi (Amerika) telah membunuh jutaan orang. Itu belum termasuk yang cacat dan meninggal karena dampak peperangan.
Dr.Qardhawi menyimpulkan bahwa korban perang ganas pada abad 20-21 (pada zaman demokrasi) lebih banyak dibanding korban dari mulai awal kehidupan hingga abad ke 19. Padahal Khilafah itu hanya dari abad 7 hingga awal abad 20. Sementara pada abad tersebut terdapat banyak peradaban yang suka membantai dan perang seperti Peradaban Barat.
Jadi, korban akibat Khilafah (karena penyimpangan beberapa orang), tidak ada apa-apanya dibanding korban akibat kebiadaban manusia dalam sistem demokrasi.
Jadi, siapa bilang dalam demokrasi itu tidak ada perang dan konflik. Dalam demokrasi peperangan dan konflik itu sangat mengerikan, karena didorong nafsu untuk berkuasa dan nafsu untuk mendapatkan kenikmatan sensasi jasadiah.
Tapi, sayangnya konflik dan peperangan dalam demokrasi itu seperti gajah di depan pelupuk mata. Bagi mereka “semut konflik” yang terjadi pada masa Khilafah itu lebih tampak dan lebih seksi dibanding “gajah konflik” pada masa demokrasi.
Sumber : Ustadz Chairul Anam