Oleh: Yuli Ummu Raihan
(Member Akademi Menulis Kreatif)
Munculnya wacana referendum Aceh pasca Pemilu yang penuh kecurangan adalah satu satu reaksi masyarakat khususnya Aceh.
Aceh adalah sebuah provinsi di Indonesia yang diberi status sebagai daerah Istimewa dan otonomi khusus.
Aceh menyimpan sejarah peradaban Islam, pintu masuk budaya dan agama di Nusantara, kaya akan pesona alam dan kental akan seni budaya.
Aceh juga dikenal sebagai penghasil rempah-rempah, potensi pertaniannya pun cukup menjanjikan. Penghasil kopi, nilam, dan kakao terbesar di negeri ini. Minyak bumi, gas, emas, serta barang tambang lainnya melimpah di bumi Aceh.
Referendum atau jajak pendapat adalah sarana untuk memotret aspirasi rakyat, atas sejumlah isu penting bernegara. Bisa berupa kedudukan suatu wilayah, atau adopsi konstitusi, ini adalah awal sebelum mengambil sebuah keputusan penting untuk menentukan arah dan masa depan bangsa.
Tak hanya Aceh, kelompok separatis The United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) juga mengklaim telah menyerahkan petisi yang sudah ditandatangani 1,8 juta orang untuk menuntut referendum kemerdekaan Papua Barat, kepada Ketua Dewan HAM PBB, ungkap Pemimpin ULMWP , Benny Wenda di Genewa Swiss. Reuters, Senin 28/01/2019.
Menurutnya di bawah pemerintah Indonesia warga Papua tidak memiliki kebebasan berpendapat, berekpresi, dan berkumpul.
Referendum ini muncul akibat rakyat tidak merasakan peran negara sebagai pelindung, penganyom, dan pelayan rakyat. Rakyat hidup dalam kondisi sulit, hutang melangit, serta berbagai problematika kehidupan lain, sehingga wacana referendum ini seolah menjadi solusi.
Wacana ini justru akan menimbulkan masalah diantaranya, merugikan Indonesia dan Aceh khususnya. Indonesia akan terbebani hutang ,sementara penyumbang APBN berkurang, maka wilayah lain yang masih berada dibawah payung Indonesia akan menanggung beban hutang lebih berat.
Sementara Aceh tetap akan jadi jajahan kolonial global. Aceh akan jadi santapan lezat dan posisi tawarnya makin rendah setelah melepaskan diri dari Indonesia.
Belajar dari Timor Timur mereka tetap tidak kunjung sejahtera pasca melepaskan diri dari pangkuan pertiwi.
Akar masalahnya adalah kepemimpinan yang gagal, zalim dan penuh dusta. Semua ini akibat sistem demokrasi yang diterapkan di negeri ini, karena demokrasi bukanlah wadah yang nyaman untuk aspirasi umat, apalagi Umat Islam.
Referendum bukanlah solusi, karena muncul dari perasaan terzalimi, tanpa disertai pemikiran yang cemerlang tentang akar masalah dan penyelesaiannya yang hakiki.
Sungguh solusi hakiki adalah kembali kepada penerapan Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Sistem Islam akan menyatukan negeri, serta meluaskannya, memberi kesejateraan pada setiap warga negara tanpa pilih kasih.
Negara Islam akan menjamin seluruh kebutuhan pokok, mempemudah mendapatkan kebutuhan sekunder bahkan tersier warganya. Memberi pelayanan terbaik, memenuhi hajat rakyat secara kolektif baik kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Menjamin dan melindungi agama dan keyakinan rakyatnya, yang pasti membawa rahmat bagi sekalian alam.
Islam telah mengajarkan kesatuan dan persatuan ditengah kaum Muslim. Menjaganya hukumnya wajib, bahkan sudah diketahui urgensinya.
Allah berfirman," Dan berpegang teguhlah kamu semua kepada tali (agama) Allah, dan janganlah bercerai berai. Ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu ( jahiliyah) bermusuhan, kemudian Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadikan kamu karena nikmat-Nya orang-orang yang bersaudara, dan ingatlah ketika kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk " (QS. Ali Imran :103).
Nabi juga menegaskan untuk menjaga persatuan dan kesatuan wilayah, sehingga jika telah dibaiat dua khalifah, maka bunuhlah yang terakhir diantara keduanya,( HR. Muslim).
Dalam Islam perbedaan itu pasti ada, tapi tidak menjadikan sumber perpecahan, maka akidah Islam dijadikan sebagai dasat negara. Dari akidah ini lahir UU, UUD serta aturan untuk menyelenggarakan negara.
Khalifah berhak menyusun UU dan UUD serta mengadopsi sebuah hukum, yang berguna menghilangkan perselisihan yang akan merusak kesatuan dan persatuan.
Islam juga menetapkan agar mengembalikan segala sesuatu kepada Allah dan Rasul ( QS An nisa: 59).
Khalifah dibaiat untuk menjalankan hukum syara, menerapkan isi kitab dan sunah Rasulullah. Dan inilah yang menjadi sumber ketaatan rakyat pada penguasa ( khalifah). Karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal kemaksiatan ( HR. At Tirmidzi dan Ahmad).
Dalam Islam juga diatur larangan untuk melakukan makar (bughat) dan memisahkan diri dari kekhilafahan.
Nabi bersabda, " Siapa saja mencabut ketaatan kepada iman, maka ia akan menghadap Allah tanpa hujjah." (HR.Muslim)
Selain itu ada larangan merebut kekuasaan dari pemangkunya. Jika dilanggar maka Islam menetapkan sanksi yang tegas bagi siapa saja yang melakukannya, yaitu berupa had yaitu diperangi sebagai pelajaran bagi mereka tapi bukan perang untuk menghabisi.
Jika mereka non Muslim maka mereka akan diperangi untuk dihabisi karena statusnya sama dengan jihad fi sabilillah, karena mereka kafir meski awalnya adalah ahli dzimmah, dengan demikian tindakan mereka menghilangkan dzimmah mereka dari negara khilafah.
Menjaga persatuan dan kesatuan adalah sesuatu yang penting, harus segera diselesaikan bahkan dengan taruhan nyawa sekalipun. Seperti sejarah perang Shiffin ketika khalifah yang sah sayyidina Ali r.a mengerahkan pasukannya untuk memerangi Mu'awiyah yang saat itu berstatus sebagai wali di Syam.
Khalifah Al Mu'tashim pada zaman Abbasiyah juga pernah melakukannya, setelah menaklukkan Amuriyah al Mu'tahsim mengerahkan pasukannya untuk memerangi Abdurahman Ad Dakhil di Spayol. Karena dianggap memisahkan diri daulah Abbasiyah.
Namun tindakan militer untuk menjaga keutuhan negara bukan satu-satunya tindakan yang bisa diambil.
Ada aspek lain seperti pendekatan politik yang bisa ditempuh terlebih dahulu sebelum mengunakan kekuatan militer. Karena tanpa pendekatan politik maka hal sebaliknya yang akan terjadi seperti kasus lepasnya wilayah Balkan pada zaman khilafah Utsmaniyah. Saat itu ada provokasi dari negara -negara kafir Eropa. Dan tindakan militer justru membuat separatis makin berkobar.
Selain itu ada upaya preventif untuk mencegah terjadinya tindakan separatis ini diantaranya:
Pertama, memata-matai kafir harbi fi' lan. Yaitu orang kafir yang terlibat peperangan atau memusuhi kaum Muslim.
Keberadaan mereka di negeri Islam hanya diperbolehkan dengan visa khusus, meski tidak menutup kemungkinan mereka memanfaatkan izin tinggal tersebut untuk melakukan kontak dan memprovokasi penduduk setempat. Maka mereka wajib dipantau bahkan dimata-matai setiap gerak geriknya.
Kedua, memata-matai ahli ar raib yaitu warga khilafah yang berinteraksi dengan warga negara kafir harbi fi'lan, dan diduga melakukan tindakan yang bisa membahayakan negara termasuk separatisme.
Ketiga, menutup kedutaan negara kafir harbi hukman yang dijadikan untuk memata-matai Khilafah.
Keempat, Menutup kontak, hubungan dan kerja sama warga negara Khilafah dengan pihak luar negeri, dalam hal ini diberlakukan kebijakan satu pintu yaitu Departemen Luar Negeri.
Maka dengan berbagai upaya diatas, insya Allah keutuhan negara akan tetap terjaga, bebas dari intervensi asing, provokasi dan propaganda jahat para kafir penjajah insya Allah.