Menakar Kebijakan Transportasi Publik.



Oleh Ummu Qonita 'Ilmi


Masih terekam dengan baik dalam ingatan kita  bagaimana sebagian besar para pemudik di akhir Ramadan lalu terpaksa membatalkan mudik ke kampung halaman mereka yang berada di seberang pulau dikarenakan melonjaknya harga tiket pesawat. Akhirnya sebagian dari mereka ada yang batal mudik, ada pula  yang melakukan mudik bersama menggunakan mobil pribadi yang menumpang di kapal.


Seperti yang diketahui, harga tiket beberapa bulan ini mengalami kenaikan drastis dan ini menjadi masalah yang berlarut-larut. Pemerintah saat ini berusaha mencarikan  solusi atas mahalnya tiket pesawat. Dilansir dari Merdeka.com bahwa Presiden Joko Widodo memberikan solusi dengan dengan membuka pintu bagi maskapai asing yang ingin membuka rute penerbangan di Tanah air. Ini berguna memperkaya persaingan untuk menurunkan harga tiket pesawat domestik. 


Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan dengan adanya rencana mendatangkan maskapai asing beroperasi di Indonesia, seharusnya maskapai dalam negeri yang sudah beroperasi lama melakukan perubahan, sehingga menciptakan tarif yang seimbang.


Melonjaknya harga tiket pesawat menimbulkan pro dan kontra. Pengamat penerbangan sekaligus mantan KSAU, Chappy Hakim menyebutkan mengundang maskapai asing bukan solusi yang tepat. Bahkan itu dapat mengganggu kepentingan nasional terutama di sektor perhubungan darat. Chappy pun mengingatkan jangan sampai nantinya maskapai asing mengeruk keuntungan dari dalam negeri. Hal itu dikarenakan Indonesia adalah negara kepulauan dimana bisnis penerbangan menjadi lahan basah yang cukup menggiurkan. 


Polemik transportasi udara di Indonesia nyaris tak berkesudahan. Melihat solusi yang diambil pemerintah kian menunjukan minimnya kepedulian terhadap rakyatnya dan paradigma yang digunakan negara cenderung mengacu kepada paradigma sistem ekonomi liberal. Dimana hubungan antara penguasa dan rakyat selalu dilandasi kepentingan bisnis  untung dan rugi. Bukan lagi kesejahteraan rakyat yang dijadikan tujuan melainkan keuntungan semata. Negara dengan sistem ekonomi kapitalisme liberal, tidak bisa diharapkan akan memberikan layanan terbaik bagi rakyatnya. 


Kondisi ini sangat berbeda dengan paradigma pemerintahan Islam. Dalam Islam negara atau penguasa berkewajiban mengurusi, memelihara, menjaga dan mengatur urusan rakyatnya. Maka negara bertanggung jawab penuh atas permasalahan yang dihadapi rakyatnya termasuk dalam sektor transportasi. 


Transportasi darat, udara dan laut adalah bagian dari kepemilikan umum dimana rakyat berhak untuk menikmatinya dengan murah bahkan gratis. Dalam konteks layanan publik khususnya bidang transportasi umum dan infrastruktur lainnya, Islam telah menjadi contoh terbaik bagi siapapun yang berharap kebaikan pada diri umat. 


Di masanya Khilafah selalu menjadi yang terdepan dalam capaian dan inovasi. Di era Kekhalifahan Utsmaniyah pada abad ke 19 segera mengadopsi perkembangan transportasi kereta api yang berhasil dikembangkan oleh Jerman saat itu. Jalur kereta api ini terbentang dari Istanbul ibukota Khilafah hingga Mekkah, melewati Damaskus, Jerusalem dan Madinah. Dengan pembangunan jalur kereta api ini mempermudah dan mempersingkat mobilitas jamaah haji sehingga jarak Istambul - Mekkah dapat dicapai dalam 5 hari perjalanan. 


Hingga hari ini manfaatnya masih bisa dirasakan oleh kaum muslim di sana. Karena layanan publik dan infrastruktur ditetapkan sebagai kewajiban negara atas rakyatnya dan tidak boleh dijadikan sebagai ajang bisnis, apalagi sampai dikuasai pihak tertentu. Demikianlah Islam mampu memberikan layanan publik dan infrastruktur yang bisa dinikmati oleh semua lapisan masyarakat. Sesuatu yang justru tidak bisa diwujudkan negara dengan sistem ekonomi kapitalis liberal.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak