Oleh: Endah Husna*
Untuk mengatasi mahalnya harga tiket pesawat yang sudah berjalan sejak Januari 2019 dan makin menggila selama moment lebaran ini, Presden Joko Widodo mengeluarkan statment untuk mengundang maskapai asing masuk ke Indonesia.
Mahalnya harga tiket langsung berdampak kepada ekonomi di tanah air. Pun sejumlah bandara yang sudah dibangun di era Jokowi di daerah juga kosong melompong akibat anjloknya penumpang pesawat.
Berdasarkan data BPS, jumlah penumpang pesawat hanya 24 juta penumpang pada Januari-April 2019, anjlok 20,5 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menyebutkan ada tiga maskapai asing yang siap berkompetisi di dalam negeri. Langkah ini menyusul PT.Indonesia AirAsia yang sudah lebih dulu melebarkan sayapnya ke industri penerbangan Tanah Air. Salah satunya adalah Scoot, sebuah maskapai penerbangan bertarif rendah (low-cost carrier/LCC) milik Singapore Airlines (SIA) Group.
Ekonom INDEF Didik J Rachbini mengatakan bahwa ide mengundang maskapai asing guna mengendalikan harga tiket pesawat dinilai tidak tepat. Rachbini juga mengatakan bahwa akar masalahnya terletak pada indikasi praktek monopoli kartel. Garuda Indonesia membawahi Citilink Indonesia dan Sriwijaya Air sedangkan Lion Air Group memiliki beberapa anak usaha seperti Batuk Air, Wings Air, Thai Lion Air, dan Malindo Air. Muncul dugaan bahwa dua perusahaan penerbangan ini memiliki kesepakatan mengenai harga yang beredar.
Sesungguhnya Akar masalah mahalnya tiket pesawat adalah kesalahan pemikiran dasar berikut perangkat aturan yang muncul dari pemikran dasar tersebut. Pemikiran salah tersebut bersumber dari paham sekulerisme yang memisahkan aturan Agama dari kehidupan. Atau Sekulerisme, yakni melahirkan aturan kehidupan kapitalis yang telah memandang dunia transportasi sebuah sebuah industri. Cara pandang pemikiran semacam ini mengakibatkan kepemilikan fasilitas umum transportasi dikuasai oleh perusahaan swasta yang otomatis mempunyai fungsi bisnis, bukan fungsi pelayanan. Kapitalis memandang bahwa pelaksanaan pelayanan publik, negara hanya berfungi sebagai perantara alias legislator, sedangkan operator diserahkan kepada mekanisme pasar. Layanan transportasi dikelola swasta atau pemerintah dalam kacamata komersil, berakibat harga tket transportasi publik mahal namun tidak disertai layanan yang memadai.
Dalam Islam, Investasi Infrastruktur strategis diurai dalam tiga prinsip. Pertama, pembangunan imfrastruktur adalah tanggung jawab negara, maka tidak boleh diserahkan kepada investor swasta ataupun asing. Kedua, perencanaan wilayah yang baik akan mengurai kebutuhan transportasi. Ketiga, negara membangun infrastruktur publik dengan standar teknologi terakhir yang dimilik. Teknologi yang ada termasuk teknologi navigasi, telekomunikasi, fisik jalan hingga alat transportrasinya itu sendiri. Teknologi dan manajemen fisik jalan sangat diperhatikan sejak tahun 950, jalan-jalan di Cordoba sudah diperkeras, secara teratur dibersihkan dari kotoran, dan malamnya diterangi lampu minyak. Baru duaratus tahun kemudian, tepatnya tahun 1185, baru Paris yang memutuskan sebagai kota pertama Eropa yang meniru Cordoba. Hingga abad ke-19 Khilafah Utsmaniyah masih konsisten mengembangkan infrastruktur transportasi ini. Saat kereta api ditemukan di Jerman, segera ada keputusan Khalifah untuk membangun jalur kereta api dengan tujuan utama memperlancar perjalanan Haji. Thun 1900 M Sultan Abdul Hamid II mencanangkan pyoyek “Hejaz Rilway”. Jalur kereta api ini terbentang dari Istanbul, Ibukota Khilafah, hingga Makkah, melewati Damaskus, Jerusalem dan Madinah. Dengan proyek ini, dari Istanbul ke Makkah yang semula 40 hari perjalanan menjadi 5 hari.
Dengan penerapan aturan ekonomi Islam akan memberikan jaminan ekonomi yang berkah, adil dan sejahtera. Khilafah, sebagai institusi penerap Islam akan menyediakan insfrastruktur transportasi yang aman, memadai dengan teknonologi terkini, dan harga tiket yang terjangkau.
*Gresik, Jawa timur