Oleh: Susiyanti, SE
(Pemerhati Sosial Konawe, Sulawesi Tenggara)
Korupsi merupakan penyakit parah yang menyerang negeri tercinta ini. Seperti halnya kanker yang telah menggerogoti dan menjalar ke mana-mana serta sulit untuk diobati. Hal itu pun tumbuh subur bak jamur di musim penghujan.
Sebagaimana yang kembali menjadi pembicaraan terhangat di negeri ini atas kasus korupsi yang kerugiannya merugikan negara hingga mencapai 400 triliun rupiah. Hal ini diperkuat dengan ungkapan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata menyebut status pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim sudah menjadi tersangka atas kasus SKL BLBI terhadap BDNI yang menjerat Syafruddin, atas kerugian uang negara Rp 4,8 triliun (Tribunnews.com, 10/06/2019).
Jika menilik kasus tersebut, hal yang menjadi masalah mendasar kasus korupsi yang sulit disembuhkan karena setidaknya ada beberapa hal, di antaranya: Pertama, adanya paham pemisahan peran agama dalam kehidupan (sekulerisme). Hingga mengakibatkan nilai-nilai ketakwaan hilang dari politik dan pemerintahan.
Kedua, politik demokrasi yang memakan biaya yang cukup mahal menjadi salah satu penyebab utama timbulnya masalah korupsi. Sehingga sulit seseorang untuk tidak terjerat dalam masalah tersebut.
Ketiga, korupsi telah tertancap kuat, bak akar yang tertanam di dalam tanah. Adapun sistem pengendalian dan pemberantasnya masih lemah. Sebagaimana contohnya berbagai laporan BPK dari tahun ke tahun yang telah menjadi bukti korupsi dan jelas-jelas merugikan negara namun minim untuk ditindak lanjuti.
Keempat, politik dalam sistem kapitalisme yaitu merencanakan akan menyelesaikan masalah korupsi hingga keakar-akarnya. Namun, kenyataannya hingga kini kasus korupsi tidak selesai, malah setiap tahunnya jumlahnya terus bertambah banyak.
Kelima, sering terjadi ketidaksamaan antara lembaga dan aparat. Di mana masyarakat merasakan KPK masih terkesan tebang pilih dan tersandera oleh kepentingan politik politisi dan parpol bahkan lembaga lain.
Keenam, sistem hukum dalam bingkai kapitalisme begitu berbelit-belit dalam membuktikan kasus korupsi. Akibatnya banyak celah bagi koruptor untuk lolos dengan mudah.
Kalau sudah seperti itu, dapat dipastikan pelaku tindak korupsi sulit dikurangi jumlahnya. Terlebih jika sanksi yang didapatkan tidak memberikan efek jera bagi pelaku. Begitu pun bagi mereka yang berniat melakukan hal serupa. Bagaimana tidak, di dalam sel pun dapat disulap seperti hotel. Jika seperti itu apakah ada jaminan selepas dari bui akan lebih baik?
Adapun dalam sistem Islam, untuk menyelesaikan kasus korupsi ataupun memberantasnya, baik peran pencegahan (preventif) maupun penindakan (kuratif), ada beberapa hal yang dapat dilakukan.
Peran preventif yaitu hal yang dilakukan untuk mencegah korupsi di antaranya:
Pertama. Rekrutmen SDM aparat negara wajib berasaskan profesionalitas dan integritas, bukan berasaskan koneksitas atau nepotisme. Dalam istilah Islam, mereka yang menjadi aparatur peradilan wajib memenuhi kriteria kifayah (kapabilitas) dan berkepribadian Islam (syakhshiyah islamiyah).
Kedua. Negara memberikan pembinaan pada seluruh aparat dan pegawainya. Sebagaimana yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khaththab selalu memberikan arahan dan nasehat kepada bawahannya.
Ketiga. Negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya. Sabda Nabi SAW, Siapa saja yang bekerja untuk kami, tapi tak punya rumah, hendaklah dia mengambil rumah. Kalau tak punya isteri, hendaklah dia menikah. Kalau tak punya pembantu atau kendaraan, hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan. (HR Ahmad).
Keempat. Larang menerima suap dan hadiah untuk para aparat negara.
Kelima. Sistem Islam juga memerintahkan agar dilakukan penghitungan kekayaan bagi aparat negara. Sebagaimana yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khaththab pernah menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya.
Keenam. Menjadikan pemimpin sebagai teladan. Sebab setiap orang akan cenderung mengikuti orang yang menurutnya bisa dijadikan teladan, termasuk dalam hal ini pimpinannya. Untuk itu Islam menetapkan bahwa seseorang pemimpin harus memberikan teladan yang baik untuk diikuti sesuai dengan tuntutan Alquraan dan sunah.
Ketujuh. Pengawasan dan pengontrolan yang dilakukan oleh negara dan masyarakat. Sebagaimana yang dilakukan oleh Umar bin Khaththab langsung dikritik oleh masyarakat ketika akan menetapkan batas maksimal mahar sebesar 400 dirham. Pengkritik itu berkata, Engkau tak berhak menetapkan itu, hai Umar.
Adapun tindakan yang dilakukan untuk menindak lanjuti kasus korupsi apabila telah terjadi, maka Islam mengatasinya dengan cara kuratif dan tindakan represif yang tegas, yakni memberikan hukuman yang tegas dan setimpal. Hukuman untuk koruptor masuk kategori tazir, yaitu hukuman yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim dalam sistem Islam.
Dengan demikian, sulit mewujudkan kondisi yang jauh dari korupsi, jika tidak adanya ketakwaan individu, kontrol masyarakat dan peran negara dalam memberikan sanksi yang tegas bagi pelaku koruptor. Karenanya, hanya dengan kembali pada aturan yang maha baik yang bersumber dari Allah swt. melalui penerapan aturan-Nya dalam seluruh aspek kehidupan, barulah kasus korupsi akan benar-benar terselesaikan dengan tuntas. Wallahu alam bi ash-shawab.
Tags
Opini