Larangan Iklan Rokok



Oleh: Chezo*


Menteri Kesehatan (Menkes) Nila Farid Moeloek menerbitkan surat edaran nomor TM.04.01/Menkes/314/2019 kepada Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara tentang pemblokiran iklan rokok di internet. Surat tersebut ditandatangani oleh Nila pada 10 juni 2019. Nila juga mencantumkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan terjadi peningkatan prevalensi perokok anak dan remaja usia 10-18 tahun dari 7,2% di tahun 2013 menjadi 9,1% di tahun 2018. (m.kontan.co.id/15/06/2019)


Menanggapi surat tersebut, Menkominfo Rudiantara langsung memberikan arahan kepada Ditjen Aplikasi Informatika untuk melakukan crawling atau pengaisan terhadap konten iklan rokok di internet. (m.liputan6.com/15/06/2019)


Wacana larangan iklan rokok di internet ini berpotensi mendapat resistensi dari perusahaan tembakau karena bertentangan dengan kepentingan industri rokok yang ingin terus menggaet perokok baru.


Dari konteks bisnis, kehadiran iklan ini tentu menjadi hal yang penting lantaran perusahaan perlu memastikan bahwa mereka dapat menjangkau perokok baru. Tujuannya menggantikan perokok lama yang kesehatannya terus menurun dalam jangka panjang. Selain pada industri rokok, dampaknya juga dapat dialami oleh industri internet yang menggantungkan penghasilan pada pemasangan iklan.


Suka tidak suka, sektor industri rokok menopang bisnis konglomerasi di Indonesia dan menempatkan pemiliknya sebagai daftar orang terkaya. Rokok juga menjadi salah satu sumber utama pemasukan kas negara melalui cukai yang setiap tahun mencapai triliunan rupiah. Meningkatnya proporsi penerimaan cukai tembakau terhadap penerimaan negara menjadi tanda besarnya peran industri rokok bagi perekonomian. Tingginya kontribusi industri rokok bagi perekonomian tak lepas dari besarnya jumlah perokok di Indonesia.


Ironisnya, berdasarkan rilis Kementerian Kesehatan, beban pemerintah akibat rokok dan tembakau lebih tinggi ketimbang besaran kontribusi cukai tembakau terhadap penerimaan negara.  Kerugian ekonomi secara makro akibat penggunaan tembakau dinilai Kemenkes menunjukkan tren meningkat. Peningkatan konsumsi rokok juga dinilai berdampak terhadap beban penyakit akibat rokok dan angka kematian akibat rokok. Setidaknya 16 persen dari seluruh penyakit yang tidak dapat dikomunikasikan, atau noncommunicable diseases, merupakan sumbangan dari tembakau. (tirto.co.id/15/06/2019)


Rokok dan candu sesungguhnya tak berbeda. Keduanya menimbulkan ketergantungan dan berdampak buruk bagi kesehatan. Seperti halnya candu, rokok merupakan alat yang digunakan negara maju untuk menguasai negara berkembang. Indonesia saat ini menjadi sasaran empuk negara maju yang gencar menyerang melalui industri rokok. Negara berkembang bukannya tak tahu bahaya merokok. Namun keuntungan investasi dan terbukanya lapangan kerja, menyebabkan industri rokok sulit dilawan. 


Indonesia tidak kunjung setara dengan negara maju karena keadaan tersebut diakibatkan kinerja generasi muda yang tidak maksimal. Hal ini disebabkan kebiasaan merokok yang banyak dilakukan generasi muda hingga mereka mengalami ketergantungan dan mudah sakit.


Pada akhirnya, akar dari semua ini adalah akibat diterapkannya sistem Kapitalisme yang hanya memikirkan soal keuntungan. Maka sudah selayaknya kita campakkan sistem yang buruk ini dan menggantinya dengan sistem Islam yang lebih baik.


* (Aktivis BMI Community Cirebon)


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak