Oleh: Ipuj Ryu
Taqobbalallaahu minna wa minkum, shiyaamana wa shiyaamakum. Mohon maaf lahir dan bathin, semoga Allah menerima amalan puasa kita semua. Aamiin. Masih di momen lebaran 1440 H, meskipun tanggal 1 Syawal 1440 H telah berlalu. Sebelum lebaran sudah semestinya kaum buruh kita akan mendapat tunjangan hari raya (THR) dari tempat mereka bekerja. Itulah yang dinanti-nantikan karena dengan THR itulah yang menjadi penggiat belanja untuk keperluan lebaran bersama keluarga. Bagaimana ceritanya dengan kondisi para buruh Kota 1001 Goa alias Kota Pacitan di Jawa Timur?
Berdasarkan ulasan Radarmadiun.co.id (29/05/2019), tidak semua pekerja perusahaan swasta di Pacitan sumringah jelang lebaran tahun ini. Sebab, sebagian diantara mereka terancam tidak bisa menikmati THR secara penuh. Setidaknya ada lima perusahaan perkayuan keberatan memberikan THR karyawannya tahun ini. Kasi Pembinaan Hubungan industrial dan Syarat Kerja Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Pacitan, Usman (28/05) mengatakan, “Ada yang tidak bisa membayar penuh sesuai upah minimal kabupaten (UMK) dan ada yang minta penundaan hingga Juni”.
Setelah pihaknya menggelar rapat koordinasi dengan sejumlah perusahaan di Pacitan sekitar tiga pekan yang lalu, diketahui bahwa persoalan THR ini disebabkan oleh kondisi pasar yang sedang lesu dan permintaan sedang sepi. Harga tripleks yang terjun bebas juga menjadi pemicunya. “Kalau tidak salah harga tripleks per lembar hanya sekitar Rp500,-. Padahal biasanya Rp1.000,-an”, ujarnya. Disebutkan juga bahwa perusahaan yang wajib memberi THR mencapai 37 perusahaan. Perusahaan juga wajib membayar gaji karyawan sesuai upah minimum kabupaten (UMK). Puluhan perusahaan itu berskala menengah ke atas. Meskipun dari hasil identifikasi sebelumnya dianggap mampu. “Kalau sekelas pertokoan kami memang belum wajibkan”, jelasnya.
Keberatan yang dirasakan oleh perusahaan tersebut menjadikan pihaknya tidak bisa berbuat banyak. Pada akhirnya, pihaknya sekadar melakukan pembinaan terhadap perusahaan tersebut dengan memintanya mengambil mekanisme musyawarah mufakat dengan perwakilan karyawannya. Dengan demikian, ada kesepakatan terkait THR dari kedua belah pihak. Pihaknya tidak ingin masalah THR ini meruncing disebabkan oleh kecemburuan karyawan perusahaan satu dan lainnya yang bisa menimbulkan gejolak bahkan sampai tingkat unjuk rasa. Dalam pertemuan dengan perwakilan perusahaan tersebut, pihak TNI/Polri, Satpol-PP, bagian hukum Setkab Pacitan dan lainnya turut diundang. Pada saat itu disampaikan permasalahan yang dihadapi perusahaan dan disampaikan pula bahwasanya THR diberikan minimal H-7 sebelum lebaran. Perusahaan yang tidak menaatinya maka ada sanksi yang akan diterima, mulai administratif, denda, hingga penutupan perusahaan. Meskipun sanksi tersebut tidak serta merta dijatuhkan, melainkan melalui gugatan dari karyawan yang keberatan.
Bagaimana Cara Menyikapinya?
Solusi yang diberikan pemerintah setempat terhadap persoalan ini secara kekeluargaan atau dengan kata lain negosiasi sepertinya terlihat solutif. Namun, persoalan yang dihadapi tersebut belumlah hilang. Hanya sekadar surut di permukaan, tetapi bergejolak di dalamnya. Mengingat kebutuhan yang terus mendesak dan tuntutan tagihan disana-sini yang terus memberontak, perusahaan juga harus berjuang keras untuk memberikan THR kepada para pegawai buruhnya. Hal ini berkaitan erat dengan lihainya perusahaan tersebut dalam menjalankan usahanya.
Dengan persoalan pelik yang dihadapi kedua belah pihak, baik oleh perusahaan maupun pegawai buruhnya maka pemerintah selaku pembuat aturan seharusnya melihat akar persoalannya. Akar persoalan itulah yang akan menjadi bahan pertimbangan bagi solusi yang akan diberikan. Jika dilihat dari sisi perusahaan, keberatan dalam memberikan THR disebabkan oleh lesunya pasar atau sepinya permintaan maka akan berpegaruh besar terhadap pendapatan yang diperolehnya. Meskipun begitu, perusahaan juga harus mengejar tuntutan aturan pemerintah terhadap para pegawainya agar terhindar sanksi. Dari sisi pegawai, menuntut THR merupakan hak mereka. Melihat kenyataan bahwa menjelang momen lebaran, kebutuhan pun kian melonjak. Misalnya tiket mudik, bahan bakar kendaraan, busana lebaran, hidangan lebaran, dan sebagainya. Padahal kebutuhan primer maupun tagihan bulanan juga masih terus meraung meminta untuk dipenuhi juga. Semuanya itu pasti akan diikuti dengan pengeluaran yang juga semakin banyak.
Menyalahkan gaya hidup yang semakin hedonis sehingga menyuruh masyarakat khususnya para buruh untuk berlaku sederhana dan irit, bukanlah solusi yang benar-benar menuntaskan persoalan. Secara bahasa mudahnya, jika anda dihadapkan pada harga cabai yang melonjak naik sedangkan jumlah uang anda tak ada kenaikan, maka anda seharusnya memangkas beberapa kebutuhan yang lain dan beralihlah dengan kebiasaan menanam cabai di pekarangan rumah. Sedangkan dalam kehidupannya dihadapkan kepada segunung kebutuhan yang seakan tidak pernah habis, ditambah dengan mewahnya hidup di sebagian kalangan. Kesenjangan yang luar biasa antara kalangan bawah dengan kalangan menengah ke atas saat dihadapkan kepada tuntutan hidup yang sama, menjadikan “gelora menuntut” dari para buruh semakin besar.
Naiknya harga kebutuhan tersebut bukanlah tanpa alasan. Kebanyakan mereka menaikkan harga barang atau jasanya dikarenakan oleh naiknya harga bahan baku atau alasan lainnya misalnya dengan usaha (modal) sekecil-kecilnya untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Mereka akan tetap diuntungkan asalkan mereka mampu mengendalikan situasi. Hal itu legal saja diterapkan di negara ini yang bersandar kepada pajak dan hutang berbunga.
Persoalan THR mengembalikan kita pada banyak aspek yang memang saling berkesinambungan antara satu dengan lainnya. Masalah satu berkaitan dengan aspek politik, ekonomi, sosial, dan budaya (poleksosbud) yang terkemas dalam suatu sistem/aturan. Masalah yang sistemik ini juga seharusnya diberikan solusi secara sistemik. Sistem saat ini yaitu sistem demokrasi Pancasila ala kapitalisme membuka peluang besar bagi para kapitalis (pemilik modal) untuk menguasai suatu negeri dan menindas kaum yang lemah dengan membuatnya terus mengejar sesuatu yang tak akan pernah terkejar. Meskipun bagi mereka yang tertindas merasa telah mengejar, namun sebenarnya bersifat semu dikarenakan terus melambungnya para kapitalis ini.
Islam sebagai agama dan sistem aturan kehidupan yang berasal dari Allah SWT Tuhan seluruh manusia mempunyai solusi atas persoalan THR ini. Namun, yang sangat mengherankan adalah banyak manusia bahkan dari sebagian kalangan orang yang mengaku muslim enggan menerapkannya dengan dalih bahwa sistem saat ini adalah “mahakarya pendahulu” kita. Jika memang sungguh-sungguh ingin terlepas dari jeratan persoalan hidup ini termasuk THR maka marilah kita kembali mengingat pernyataan Allah dalam firman-Nya:
Artinya: "Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya" (TQS. Al-A’raaf [7]: 96).
Bagaimana cara menerapkan aturan Allah ini dalam mengatasi persoalan tersebut? Hal ini diperlukan kinerja penguasa sebagai pemangku kekuasaan dalam pengeluaran kebijakan. Mulai dari aspek ekonomi, maka pemerintah tidak akan berurusan lagi dengan hutang terhadap para kapitalis (pemilik modal) baik lokal maupun global yang akan berdampak pada kedaulatan negeri. Dari aspek budaya, maka dibudayakan sikap sederhana dan tidak berlebih-lebihan dalam mengejar kepuasaan duniawi dengan penguatan ketaqwaan masyarakat untuk serius mengkaji agamanya. Bukan malah dimunculkan stigma negatif pada agenda-agenda keagamaan dengan momok radikalisme atau garis keras yang tak jelas maknanya.
Hal ini disebabkan oleh banyaknya fenomena Islamophobia dari masyarakat yang menjadikan mereka enggan belajar agama, bahkan ada yang merasa belajar agama tak ada manfaat bagi kehidupannya. Dari aspek sosial, pemerintah akan menguatkan dan mendayagunakan segala potensi yang ada di dalam negaranya untuk kepentingan seluruh rakyatnya, baik sumber daya alam (SDA) maupun sumber daya manusia (SDM). Melalui Undang-Undang yang diberlakukan dalam segala aspek kehidupan seperti kesehatan, pendidikan, peradilan, keamanan, dan lainnya tanpa adanya intervensi pihak asing di dalamnya.
Dalam aspek politik, maka cara mengatur semuanya tadi seharusnya murni bersandar kepada aturan Allah yakni Al-Quran, As-Sunnah, Ijma’ sahabat, dan Qiyas. Hal ini hanya bisa diwujudkan dengan mengganti sistem yang ada saat ini dengan sistem Islam yakni sistem Khilafah Islamiyah ‘ala minhaj an-nubuwwah (yang bermanhaj kenabian), sebagaimana yang Rasulullah Muhammad SAW dan Khulafaur Rasyidin ajarkan.
Wallaahu a’lam bish-showaab.