Puisi yang paling bermakna adalah keluarga
Mutiara tiada tara adalah keluarga (OST Keluarga Cemara_Novia Kolopaking)
Masih ingat dengan Abah, Emak, dan Euis serta adik-adiknya? Ya, generasi 90-an pastinya akrab dengan mereka yang sering wira-wiri di layar kaca. Sinetron 412 episode dalam tiga musim tersebut bahkan sempat jadi ikon keluarga di negeri ini. Hidup sederhana dan bahagia.
Sayang keluarga tersebut tak pernah benar-benar hadir di bumi. Hanya hidup dalam ruang imajinasi. Kenyataannya semakin banyak keluarga yang kondisinya terpuruk. Alih-alih sederhana justru sibuk mengejar materi. Kebahagiaan tak jarang seolah bertempat dalam istana kristal yang rapuh hingga sukar untuk diraih.
Data menunjukkan di Indonesia, terjadi 40 kasus perceraian per jam. Luar biasa bukan? Parahnya lagi sebanyak 70 persen di antaranya diajukan oleh perempuan. (bkkbn.go.id, 6/9/2018).
Sampai di sini mutlak perlu revitalisasi pemahaman tentang hakikat sebuah keluarga dan apa kunci kebahagiaannya. Benarkah dengan berencana semua masalah tak lagi mendera? Jawabnya tentu bukan pada rumput yang bergoyang.
Tak Melulu Soal Anak
Lazim diketahui keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan.
Sejak lama pihak berwenang di negeri ini mencanangkan program Keluarga Berencana (KB) dengan slogan yang berubah-ubah sesuai kepentingannya. Lihat saja setelah bertahun bertahan dengan semboyan “Dua Anak Lebih Baik” , kini Pemerintah melalui Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menetapkan slogan baru, 'Cinta Keluarga, Cinta Terencana' pada puncak peringatan yang akan jatuh pada 6 Juli 2019 di Kota Banjarbaru, Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel).
Apa pasal? Tak lain sebab bila dibiarkan populasi penduduk Indonesia bakal menjelma jadi aging population alias penduduk usia tua. Ditandai dengan tren jumlah penduduk usia produktif yang terus menurun. Risikonya sekolah-sekolah Dasar (SD) rata-rata makin kekurangan siswa baru. Berimbas pada menurunnya angkatan kerja ke depannya. (jpnn.com, 25/5/2018).
Nyata, keluarga berencana idealnya memang bukan melulu soal anak semata. Toh ada maupun tidak ada anak pun berapa jumlahnya mutlak prerogatif Yang Maha Kuasa. Tak ada campur tangan manusia di dalamnya.
Maka sasaran yang dibidik harusnya adalah optimalisasi berjalannya fungsi sebuah keluarga dan perannya di tengah masyarakat hingga level negara. Otomatis hal ini membutuhkan perencanaan yang matang dan dewasa. Sehingga terwujud Keluarga Berencana yang sejati.
Fungsi Keluarga, Idealita vs Realita
Pertama, fungsi reproduksi. Keluarga melalui pernikahan memiliki tujuan untuk melestarikan keturunan. Tapi fungsi ini tidak sepenuhnya terlaksana. Pasalnya banyak keluarga-keluarga yang membatasi jumlah anak karena takut biaya yang mahal, atau malu jika memiliki banyak anak.
Kedua, fungsi ekonomi. Kemandirian keluarga terbentuk dengan adanya pemenuhan kebutuhan ekonomi. Keluarga yang mandiri dapat memenuhi semua kebutuhan hidupnya. Tidak jarang kesulitan dihadapi oleh kepala keluarga dalam mewujudkan fungsi ini. Pengangguran semakin menggunung di kalangan suami. Adakalanya karena lapangan kerja yang terbatas atau juga kemalasan.
Padahal merekalah yang seharusnya menopang nafkah kebutuhan keluarga. Di sisi lain, harga-harga kebutuhan pokok terus meroket sehingga nafkah kerap tak mencukupi untuk seluruh anggota keluarga. Akibatnya kaum ibu seolah digiring untuk bekerja di luar rumah. Meninggalkan urusan rumah tangga dan pengasuhan anak yang menjadi amanahnya di hadapan Allah. Tak heran bila generasi semakin rapuh dari waktu ke waktu.
Ketiga, fungsi edukasi. Keluarga seharusnya adalah tempat pertama dan utama dalam membina anak untuk menjadi insan yang beriman dan bertakwa. Ibu sebagai istri dan pengatur rumah tangga memiliki peranan yang penting dalam membina anak. Ayah memiliki tanggung jawab sebagai pemimpin yang harusnya mengarahkan istri dan anak di jalan yang diridhoi Allah. Sayangnya belakangan fungsi edukasi ini lebih banyak diserahkan sepenuhnya ke pihak sekolah.
Keempat, fungsi sosial. Keluarga mencerminkan status sosial, bahkan kadang prestise keluarga itu. Anggota keluarga yang punya pendidikan, menunjukkan sebuah keluarga intelektual.
Anggota keluarga yang saleh dan salihah, rumah yang nyaman, rapi dan bersih, mencerminkan kenyamanan hidup berkeluarga. Namun, sekarang banyak dijumpai keluarga yang tak acuh dengan masing-masing anggota keluarganya. Abai terhadap perilaku baik atau buruk. Padahal ketika anak berperilaku tak terpuji, nama baik orang tua hancur. Seperti anak terlibat narkoba, hamil di luar nikah atau melakukan tindak kriminalitas.
Kelima, fungsi protektif. Melindungi anggota keluarga dari ancaman fisik, ekonomis dan psikososial adalah tanggung jawab keluarga. Ayah mengayomi istri dan anak, tidak sekedar melindungi dari bahaya fisik, tapi juga bahaya kelaparan misalnya. Karena itu, secara ideal, anak tidak boleh diterlantarkan. Namun tak jarang kondisi terpuruk di negeri sendiri memaksa sebagian dari orang tua memilih bekerja mengadu nasib di negeri orang.
Keenam, fungsi rekreasi. Keluarga merupakan pusat rekreasi untuk anggota keluarganya. Rumah sebagai sumber kebahagiaan. Setiap anggota keluarga berperan mewujudkan tawa, canda dan kegembiraan. Seorang ayah tidak membawa masalah kerja ke rumah, ibu yang selalu tersenyum, anak-anak yang selalu gembira.
Ironis, banyak masalah yang mengepung keluarga saat ini. Mulai dari persaingan bisnis hingga kehadiran pelakor. Tak sedikit kemudian yang memicu pertengkaran di antara suami dan istri hingga terdengar di telinga anak hingga terjadi broken home. Akhirnya para anggota keluarga tidak betah di rumah dan mencari hiburan di luar.
Ketujuh, fungsi afeksi. Keluarga sebagai tempat bersemainya kasih sayang, empati dan kepedulian. Meski hal ini fitrah, namun banyak keluarga yang sudah mengabaikannya. Banyak keluarga yang kehilangan kehangatan di setiap interaksinya. Terlebih adanya media sosial yang berpotensi merampas perhatian setiap anggota keluarga. Tak pelak rumah seolah beralih fungsi sekedar tempat persinggahan semata.
Last but not least, fungsi religius. Keluarga adalah tempat anak mengenal nilai ketaatan pada Sang Pencipta sejak dini. Ayah bertanggung jawab sedang ibu yang mendidik dan mengenalkan anak-anak pada generasi sahabat. Namun, banyak keluarga yang tak lagi menjadikan agama sebagai landasan dalam berbuat, melainkan nilai-nilai kebebasan yang justru paradoks dengan agama. Padahal dunia hanya persinggahan sedang akhirat kekal adanya.
Mewujudkan Keluarga (yang) Berencana Dengan Islam
Jika kedelapan fungsi di atas bisa terlaksana, niscaya terealisasi keluarga berencana yang sesungguhnya. Utamanya jika disandarkan pada Islam. Maka sakinah mawaddah warahmah tak mustahil dalam genggaman. Hanya saja sekularisme yang berlaku kini menghadang mimpi jadi nyata. Alih-alih menegakkan fungsi keluarga justru mengobrak-abrik tatanan keluarga seperti yang telah digambarkan sebelumnya. Berawal dari pergeseran peran antara suami dan istri, terbentuknya generasi yang bermental rapuh hingga marak munculnya penyakit pada masyarakat. Kriminalitas, zina bebas, seks menyimpang adalah beberapa di antaranya.
Hal ini berbeda dengan Islam. Selain mendorong keluarga dan masyarakat untuk taat, Islam juga membebankan pada negara untuk menjamin ketundukan pada syariah kaffah. Dengannya negara dapat menjaga melalui pemberian sanksi bila terjadi pelanggaran. Misal menjatuhkan sanksi pada suami yang malas bekerja mencari nafkah , dan istri yang melalaikan amanah rumah tangga.
Demikianlah kontrol negara berperan penting hatta mendukung keharmonisan keluarga serta menghindarkan masyarakat dari kerusakan dan kemaksiatan. Layaknya yang berlaku di Madinah Al Munawwarah saat Islam diterapkan total dalam kehidupan. Sabda Nabi saw,
“Sesungguhnya Madinah seperti tungku api, membersihkan yang bersifat buruk dan meninggalkan yang baiknya.” [Sahih Bukhari dan Muslim]. Wallahu a’lam.
Ummu Zhafran
(Pengasuh Grup Ibu Cinta Quran)