Oleh: Tri S, S.Si
(Penulis adalah Pemerhati Perempuan dan Generasi)
Harga bawang putih beberapa hari terakhir kian menjulang. Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS) Selasa (7/5) mencatat, rata-rata harga bawang putih nasional mencapai Rp63.900 per kilogram (kg) (CNN Indonesia, 8/5/2019).
DKI Jakarta, harga bawang putih sudah tercatat Rp87.500 per kg. Harga bawang putih di beberapa daerah bahkan ada yang sudah menyentuh Rp100 ribu.
Kondisi ini terbilang miris lantaran harga bawang putih meroket drastis dalam sebulan terakhir. Pada 15 April 2019, rata-rata harga bawang putih nasional ada di angka Rp41.800 per kg. Bahkan, di awal April lalu, rata-rata harga bawang putih nasional sempat berada di kisaran Rp34.950 per kg.
Walhasil, bawang putih kini menjadi momok inflasi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, bawang putih memberikan andil inflasi sebesar 0,09 persen pada inflasi bulanan April lalu sebesar 0,44 persen. Sebulan sebelumnya, bawang putih juga memberi andil inflasi 0,04 persen terhadap inflasi bulanan sebesar 0,11 persen.
Demi merespons tingginya harga bawang putih yang tak masuk akal, pemerintah memutuskan untuk mengimpor 100 ribu ton bawang putih yang seharusnya masuk pada bulan lalu. Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution berharap kebijakan ini bisa membawa harga bawang putih ke angka Rp25 ribu per kg.
Namun, kebijakan impor yang seolah-olah menjadi solusi, ternyata malah menjadi pangkal masalah tingginya harga bawang putih.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah mengatakan Indonesia sejatinya tak bisa lepas dari impor bawang putih. Ia menyebut, produksi nasional hanya mampu mengisi 5 persen kebutuhan bawang putih dalam negeri, sehingga sisa 95 persennya harus dipenuhi melalui impor.
Ketergantungan Indonesia akan impor bawang putih pun kian menjadi-jadi. Data BPS menunjukkan, impor bawang putih pada 2015 tercatat 482.655 ton, kemudian menurun 7,95 persen menjadi 444.300 ton setahun berikutnya.
Namun, impor komoditas ini meroket 25,15 persen dan mencapai 556.060 ribu ton di 2017. Tak berhenti di situ, impornya menanjak lagi 4,49 persen menjadi 581.077 ton pada 2018.
Dengan kata lain, impor sangat mempengaruhi suplai bawang putih. Jika suplai tersendat, maka dampaknya terhadap harga bawang putih akan luar biasa.
Kondisi tersebut, lanjut Rusli, adalah cerminan apa yang terjadi saat ini. Impor bawang putih yang terlambat menyumbat persediaan, sehingga harga bawang putih kian melambung.
"Setiap tahun, bawang putih memang selalu diimpor dan tidak ada masalah dengan harganya. Tapi tahun ini, harganya menanjak karena impornya terlambat," jelas Rusli.
Sejatinya, keputusan pemerintah untuk melakukan impor sebenarnya sudah tepat waktu. Impor diputuskan di dalam rapat koordinasi terbatas (rakortas) tingkat Kementerian Koordinator bidang Perekonomian pada 18 Maret 2019. Umumnya, proses impor bawang putih membutuhkan waktu tiga minggu.
Jika Surat Persetujuan Impor (SPI) langsung diterbitkan, maka bawang putih impor sudah bisa mendarat pertengahan April. Kala itu, seharusnya harga bawang putih sudah bisa melandai.
Tapi nyatanya, persetujuan impor bawang putih dari Kementerian Perdagangan sebanyak 115.675 ton baru diberikan kepada delapan importir pada 18 April 2019. Itu pun setelah melalui beberapa drama yang tak kunjung usai.
Awalnya, pemerintah meminta Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Bulog) untuk mengimpor bawang putih. Namun, izin impor Bulog justru tidak terbit. Kemendag justru memberikan SPI kepada delapan importir sesuai dengan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) Kementerian Pertanian.
Tak ketinggalan, pemberian SPI pada sehari setelah pemilihan umum juga mengundang tanda tanya. Drama impor yang panjang itu ternyata menghasilkan ongkos yang mahal, yakni kenaikan harga bawang putih yang tak bisa dibendung.
"Pemerintah ini kecolongan. Yang perlu ditanyakan adalah Kemendag, sudah tahu 18 April ini dekat dengan bulan Ramadan. Tapi kenapa izin impornya baru dilakukan saat itu? Sungguh, ini kecolongan yang sangat berat," imbuh dia.
Meski demikian, bukan berarti harga bawang putih tak bisa diredam dengan langkah yang cepat. Selain mengandalkan impor, pemerintah seharusnya punya wewenang agar importir membuka gudangnya. Apalagi, pada pertengahan April lalu, Kemendag mengatakan importir masih punya 100 ribu ton meski beberapa diantaranya sudah tak layak jual.
"Memang kalau mau harga turun cepat, keluarkan saja stok yang ada meski kualitasnya ada yang tidak baik. Sekarang ini masalahnya benar-benar ada di pasokan. Masalah seperti ini bukan diatasi lagi dengan menambah kuota impor bawang putih, tapi memastikan impor datang tepat waktu," jelas dia.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Hortikultura Nasional Anton Muslim Arbi berpendapat meroketnya harga bawang putih bukan disebabkan karena mekanisme permintaan dan penawaran semata. Apalagi, menurut dia, banyak hal yang janggal terkait pemenuhan suplai bawang putih melalui impor.
Pertama, SPI impor bawang putih yang terkesan diperlambat. Padahal di tahun-tahun sebelumnya, RIPH dari Kementan sudah ada yang terbit pada kuartal I, sehingga impor bawang putih bisa segera dilakukan.
Kedua, adalah disparitas harga bawang putih yang terkesan tak merata. Memang, saat ini sebagian impor bawang putih dari China sudah mendarat. Ia sendiri mendapat laporan dari Kementan bahwa harga bawang putih di beberapa pasar induk sudah turun ke angka Rp29 ribu per kg. Namun, di waktu yang bersamaan, ia juga mendapat laporan dari beberapa titik eceran di Jawa Barat bahwa harga bawang putih malah mencapai Rp100 ribu per kg.
Dugaan Anton kian kuat lantaran secara tren, pertumbuhan konsumsi bawang putih menjelang ramadan tidak begitu kuat.
Sehingga, ia menuding ada oknum yang sengaja mengatur stok bawang putih di beberapa titik. Kemudian, oknum tersebut juga memanfaatkan situasi, yakni masa-masa menjelang ramadan.
"Jelas mau dipungkiri atau tidak, ada yang memainkan harga bawang putih. Tidak masuk akal saja, harga bawang putih naiknya bisa cukup signifikan dalam waktu singkat. Masa bisa sampai Rp100 ribu?" jelas dia.
Menurut dia, pemerintah harus bergerak cepat. Ia meminta Kemendag dan Kementan untuk mengevaluasi stok yang ada di pasar untuk memastikan bahwa harga yang ada di pasar benar-benar sesuai dengan mekanisme permintaan dan penawaran.
Ia juga berharap masalah ini terulang lagi di masa depan. Oleh karenanya, ia meminta Kementan untuk lebih tegas kepada importir terkait kewajiban wajib tanam, sesuai Peraturan Menteri Pertanian Nomor 38 Tahun 2017 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura.
Sesuai pasal 32 beleid tersebut, importir hortikultura bawang putih wajib melakukan penanaman bawang putih, baik dilakukan sendiri maupun bekerja sama dengan kelompok tani. Adapun, bawang putih yang ditanam harus memiliki produksi sebesar 5 persen dari jumlah rekomendasi impor bawang putih yang sebelumnya disetujui Kementan.
Hal ini, lanjut Anton, bisa memperbanyak produksi bawang putih dalam negeri, sehingga kisruh harga akibat impor yang terlambat tak usah terjadi lagi.
"Tapi dalam jangka pendek, semoga bawang putih impor oleh delapan importir ini bisa segera didistribusikan sehingga harga bisa cepat-cepat turun. Karena 100 ribu ton ini sudah bisa memenuhi kebutuhan," pungkasnya.
Tidak bisa dipungkiri, kenaikan harga kebutuhan pangan akan berdampak pada kehidupan masyarakat, dan rumah tangga adalah pihak yang paling merasakan dampak kenaikan ini, jika harga naik secara otomatis pengeluaran kebutuhan rumah tangga akan bertambah karena kebutuhan pangan merupakan kebutuhan pokok yang tidak bisa dihindari sehingga pengeluaran rumah tangga akan terfokus untuk membeli kebutuhan pangan.
Sistem Kapitalis, Sumber Kekacauan Politik Pangan`
Menurut sistem kapitalis kenaikan harga kebutuhan pangan disebabkan kurangnya ketersediaan bahan pangan komoditas tertentu. Kondisi seperti ini dianggap sebagai permasalahan ekonomi karena harga ditentukan berdasarkan supplay (penawaran) dan demand (permintaan) terhadap barang tersebut. Karena itu, jika barang yang ditawarkan jumlahnya melimpah, sedangkan permintaannya sedikit, maka harga akan turun. Jika barang yang ditawarkan jumlahnya sedikit, sedangkan permintaannya besar, maka harga akan naik.
Salah urus pemerintah dalam sektor pangan ini tampak pada rendahnya pasokan dalam negeri serta ketidakmampuan pemerintah dalam menjaga kestabilan harga.Tentu masih terngiang di benak kita sikap instan pemerintah yang mengatasi kelangkaan bahan pangan melalui kebijakan impor, kasus impor 500 ribu ton beras tahun lalu yang dinilai tidak efektif dan dirasa aneh serta terburu-buru karena justru pada saat itu negeri ini menghadapi masa panen raya, padahal data dari Kementerian Pertanian mengklaim bahwa saat itu kita mengalami surplus beras sebesar 329 ribu ton.
Sejatinya, kebijakan impor hanya menguntungkan segelintir pihak mafia yang bermain di sektor ini dan tidak pernah berpihak pada rakyat, bahkan berdampak pada semakin terpuruknya kesejahteraan rakyat terutama petani. Namun sayang, kebijakan pemerintah ini beberapa waktu lalu justru berlanjut pada komoditas lainnya seperti bawang putih, garam untuk kebutuhan industri serta gula. Oleh karena itu, slogan swasembada pangan di negeri ini hanyalah jargon pencitraan belaka.
Problem kenaikan harga pangan yang selalu berulang, adanya mafia pangan dan ketidaksinkronan antara kebijakan impor dengan data kementerian pertanian_seperti pada kasus impor beras tahun lalu_menunjukkan betapa carut marutnya tata kelola dan data pangan di negeri kita ini. Penyebabnya tidak lain adalah karena diterapkannya sistem kapitalisme dimana pihak penyelenggara pemerintah terfokus pada perhitungan untung dan rugi, bukan pada kesejahteraan rakyat.
Sistem Islam, Satu-satunya Solusi
Sebagai satu-satunya dien yang sempurna, Islam memiliki seperangkat aturan kehidupan yang mampu memberikan solusi terhadap seluruh problematika kehidupan umat manusia, termasuk masalah kenaikan harga kebutuhan pangan ini.
Faktor penyebab kenaikan harga pangan ada dua macam: pertama, faktor “alami” antara lain langkanya ketersediaan bahan pangan tertentu akibat gagal panen, serangan hama, jadwal panen dan lain-lain, kedua, karena penyimpangan ekonomi dari hukum-hukum syari’ah Islam, seperti terjadinya ihtikâr (penimbunan), permainan harga (ghabn al fâkhisy), hingga liberalisasi yang menghantarkan kepada ‘penjajahan’ ekonomi.
Dalam Islam, jika melambungnya harga karena faktor “alami” yang menyebabkan kelangkaan barang, maka disamping umat dituntut bersabar, Islam juga mewajibkan negara untuk mengatasi kelangkaan tersebut dengan mencari suplay dari daerah lain. Jika seluruh wilayah dalam negeri keadaannya sama, maka bisa diselesaikan dengan kebijakan impor dengan masih memperhatikan produk dalam negeri.
Namun jika melambungnya harga disebabkan pelanggaran terhadap hukum-hukum syari’ah, maka penguasa harus mengatasi agar hal tersebut tidak terjadi. Rasulullah saw sampai turun sendiri ke pasar untuk melakukan ‘inspeksi’ agar tidak terjadi ghabn (penipuan harga) maupun tadlis (penipuan barang/alat tukar), beliau juga melarang penimbunan (ihtikar). Khalifah Umar bahkan melarang orang yang tidak mengerti hukum fikih (terkait bisnis) dari melakukan bisnis. Para pebisnis secara berkala juga pernah diuji apakah mengerti hukum syara’ terkait bisnis ataukah tidak, jika tidak faham maka mereka dilarang berbisnis. Hal ini dilakukan karena setiap kemaksiatan_apalagi kemaksiatan terkait ekonomi_akan menghancurkan sendi-sendi kehidupan ekonomi.
Di samping itu pemerintah harus memaksimalkan upaya dan antisipasi dengan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian sehingga negara tidak boleh kosong dari riset dan penemuan baru di bidang pangan. Bahkan, pemerintah seharusnya memberikan perhatian terhadap sarana dan prasarana yang menunjang distribusi hasil pertanian misalnya penyediaan alat transportasi yang memadai serta perbaikan infrastruktur jalan karena pertanian merupakan salah satu pilar ekonomi negara, bahkan negara bisa mengalami kegoncangan jika pertanian dikuasai ataupun bergantung pada negara lain.
Pemerintah juga akan bertindak tegas terhadap pihak-pihak mafia rente yang melakukan kecurangan dan tindakan gharar dalam perdagangan tanpa pilih kasih.
Demikianlah solusi Islam dalam menyelesaikan masalah melonjaknya harga kebutuhan pangan. Hal ini tentu saja akan terkait erat dengan kebijakan lain semisal perdagangan dan perindustrian, sehingga pelaksanaannya harus komprehensif dan mencakup hukum secara keseluruhan. Kondisi seperti ini tidak akan kita jumpai kecuali dalam sistem Islam, satu-satunya sistem yang telah terbukti memberikan jaminan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.[Tri S]. .