Ilusi Keadilan Sistem Sekulerisme



Oleh : Dina Evalina

(Aktivis Dakwah Kal-Sel)

Mudik Lebaran menjadi tradisi masyrakat Indonesia setiap tahunya. Berjumpa sanak saudara, melepas rindu yang terus membuncah di dada lantaran terpisah jarak nan jauh. Bagi perantau tentu mudik menjelang lebaran adalah sebuah aktivitas yang ditunggu-tunggu. Walaupun terkadang harus berkorban tenaga dan biaya yang tinggi untuk kembali ke kampung halaman. Selain perkara biaya yang tinggi, hal lain yang menjadi rintangan para pemudik yakni kemacetan. Terlebih saat arus balik mudik, yang terparah Kemacetan terjadi di Km 70 Jalan Tol Cikampek hingga Km 52. Kemacetan terjadi akibat meningkatnya volume kendaraan dan keluar-masuk rest area. 

Kemacetan yang terus berulang jelas merupakan  kerugian bagi masyarakat, waktu yang terbuang, bahan bakar yang terbakar saat terjebak kemacetan. Terlebih tarif jalan tol yang harus mereka keluarkan, namun realitasnya belum dapat merasakan fasilitas terbaik yang diharapkan. Seharusnya hal ini menjadi perhatian pemerintah sebagai pengurus urusan rakyat. 

Pemerintah yang merupakan pelayan publik tidak dibenarkan memandang fasilitas umum dengan kaca mata kapitalis. Dimana semua infrastruktur yang dibangun harus bisa menghasilkan pundi-pundi uang. Fasilitas umum sejatinya harus diserahkan kepada masyarakat untuk menikmatinya dengan cuma-cuma disertai pelayanan yang terbaik.

Kesalahan paradigma berpikir disertai dengan perangkat aturan yang lahir dari paradigma tersebut. Membuat pemerintah dan negara kehilangan perannya dalam mengayomi rakyatnya. Paradigma salah tersebut menciptakan faham sekulerisme yang menanggalkan peran Agama dalam kehidupan bernegara. Sehingga tolak ukur Pemerintah dalam berbuat ataupun membentuk perangkat peraturan tidak akan menjadikan Agama sebagai dasarnya. Dari sistem ini lahir pemahaman-pemahaman yang salah bahkan menyesatkan pemikiran masyarakat seperti Kapitalisme, Feminisme, Hedonisme, Pluralisme, Nasionalis, Demokrasi dan sebagainya. Yang mana semua ide yang terbentuk dari sistem yang salah ini tak menjadikan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan. 

Seperti halnya perkara kemacetan yang sampai saat ini pemerintah belum mampu mengatasinya, Dilansir dalam detikNews.com , Sekretaris Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Sukarno mengatakan pengguna jalan tol bisa menuntut ganti rugi kepada pemerintah. Sebab menurutnya, kemacetan di jalan tol itu merugikan masyarakat konsumen. 

Pertanyaan, dapatkah masyarakat mendapatkan haknya setelah tuntutan itu dilakukan ? Seringkali masyarakat menuntut haknya dipenuhi, Misalkan menuntut kenaikan upah buruh, menuntut untuk tidak dinaikkan harga BBM, menuntut keadilan ditegakkan, dan sebagainya, masyarakat justru disuguhkan dengan solusi yang tidak menyelesaikan persoalan mereka. Harga cabe mahal, disuruh tanam sendiri. Harga daging mahal, silakan makan keong. Harga tiket naik, rakyat cuma disuruh ikhlas. Blusukan sering dilakukan sekedar melihat kondisi rakyat, sambil berfoto ria tanpa memberikan solusi hakiki atas permasalahan yang dihadapi mereka. 

Begitu berbeda dengan kepemimpinan Umar Bin Khathab pada masa kekhilafahan dimana pada saat itu Umar Bin Khathab menjadi Khalifah sebuah negara adidaya, negara yang di segani oleh negara tetangga, dan menjadin pusat perhatian dunia dengan keagungan peradabannya. Umar dikenal sebagai pemimpin yang adil, mengayomi rakyatnya dengan sungguh-sungguh serta pelindung bagi kaum minoritas. Terdapat hal yang menarik dalam kepemimpinan Umar Bin Khathab, pada masa itu Mesir dipimpin oleh seorang Gubernur bernama Amr Bin Ash. Saat itu Amr bin Ash ingin membangun mesjid disamping tempat tinggalnya. Tetapi, di tanah yang ingin ia bangun Mesjid terdapat gubuk reyot seorang Yahudi. 

Kemudian, Amr Bin Ash memanggil orang Yahudi itu untuk meminta agar dia mau menjual gubuknya. Orang Yahudi itu menolak tawaran Amr Bin Ash karena tidak berniat menjualnya. Tak berhenti disitu, Amr Bin Ash memberikan tawaran yang cukup tinggi dengan harga lima belas kali lipat dari harga pasaran pada umumnya. Namun, orang Yahudi itu tetap pada pendiriannya menolak tawaran Sang Gubernur. 

Hal itu membuat Amr bin Ash kesal karena berbagai cara sudah dilakukan namun hasilnya buntu, maka Sang Gubernur menggunakan kekuasaannya dengan memerintahkan bawahannya menyiapkan surat pembongkaran dan akan menggusur paksa lahan tersebut.

Sementara orang Yahudi tua itu tak dapat berbuat banyak selain menangis dan berniat ingin mengadukan kesewenangan Sang Gubernur kepada Khalifah Umar Bin Khathab. 

Pada saat tiba di Madinah. Ia bertemu dengan sosok pria yang duduk di bawah pohon kurma. Yang tak lain adalah Khalifah Umar Bin   Khathab, lalu ia ceritakan  segala apa yang telah dilakukan oleh Gubernur Mesir padanya.

Sontak setelah mendengar pengaduan dari orang Yahudi itu membuat Umar marah sampai wajahnya menjadi merah padam. Setelah amarahnya mereda orang Yahudi itu diminta mengambil tulang belikat unta dari tempat sampah, lalu diserahkan kepada Sang Khalifah. Khalifah Umar Bin Khathab kemudian menggores tulang tersebut dengan huruf Alif yang lurus dari atas ke bawah dan ditengah goresan itu ada lagi goresan melintang menggunakan ujung pedang, lalu tulang itu diserahkan kembali kepada orang Yahudi sembari berpesan : " Bawalah tulang ini baik-baik ke Mesir dan berikanlah kepada Gubernur Amr bin Ash".

Gubernur Amr Bin Ash menerima tulang tersebut, langsung tubuhnya menggigil kedinginan serta wajahnya pucat pasi. Saat itu juga Sang Gubernur memerintahkan rakyatnya membongkar mesjid yang sedang dibangun dan membangun kembali gubuk reyot milik orang Yahudi yang telah dirobohkanya. 

Orang Yahudi itu semakin kebingungan melihat sikap Sang Gubernur yang secepat itu berubah ketika melihat tulang yang dibawanya dari Madinah. Kemudian ia meminta penjelasan dari Gubernur Amr Bin Ash atas sikapnya yang merobohkan mesjid yang hendak dibangun. Gubernur Amr Bin 'Ash menjelaskan bahwa tulang tersebut merupakan peringatan keras terhadap dirinya dan tulang itu merupakan ancaman dari Khalifah Umar Bin Khathab. Yang artinya, "Apapun pangkat dan kekuasaanmu suatu saat kamu akan bernasib sama seperti tulang ini, karena itu bertindak adillah kamu seperti huruf Alif yang lurus. Adil di atas dan adil di bawah.  Sebab jika kamu tidak bertindak adil dan lurus seperti goresan tulang ini, maka Khalifah tidak segan-segan untuk memenggal kepala saya", jelas Gubernur Amr Bin Ash.

Hati mana yang tidak meleleh saat tahu begitu luarbiasa perhatian dan pengayoman yang dilakukan Sang Khalifah kepada rakyatnya. Memenuhi hak-haknya, menjadi perisai saat rakyatnya terdzolimi. Tak akan habis cerita tentang masa kejayaan Islam dengan Para Pemimpinnya yang tunduk patuh terhadap Tuhannya. Pemimpin yang adil, pengayom rakyat, penjaga umat, yang dicintai dan mencintai rakyat lahir dari negeri yang menerapakan sistem Islam secara kaffah bukan dari sistem sekulerisme. 

Pemimpin yang memahami tanggung jawabnya sebagai kepala negara dalam Islam akan senantiasa menjadikan kesejahteraan rakyatnya menjadi prioritas utama. Menegakkan keadilan dengan sempurna tanpa membedakan latar ras, warna kulit, bahasa, maupun agama. Dimana tak kan bisa diwujudkan oleh sistem sekulerisme saat ini.








Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak