Oleh: Ummu Habsa
Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) terus bermunculan di Pacitan. Sejak awal tahun ini, penderita baru penyakit menular itu mencapai belasan pasien. Bahkan Juni ini, tiga ODHA kembali ditemukan. Dinas Kesehatan Pacitan mencatat sejak teridentifikasi pada 2010 silam, jumlah ODHA mencapai 295 orang. Sementara sepanjang Januari-Juni 2019 dinkes mencatat sebanyak 18 penderita baru. (Radarmadiun co.id, 15/06/2019)
Pariwisata di Pacitan menggerakkan dua faktor utama yang sangat signifikan dalam penularan HIV/AIDS yaitu peningkatan kedatangan wisatawan di Pacitan dan peningkatan praktik prostitusi di Pacitan. Hal itu bisa terjadi karena peningkatan kunjungan wisata ke Pacitan mendorong berkembangnya hotel, penginapan, tempat hiburan, tempat nongkrong dan juga kafe. Sebagai efek domino dari hal tersebut adalah terjadinya interaksi antara wisatawan dengan penduduk setempat dalam aspek sosial maupun budaya. Meskipun terdapat dampak positif dari interaksi itu dalam hal peningkatan ekonomi masyarakat, yang berkontribusi terhadap pendapatan daerah, tetapi juga terdapat beberapa dampak negatif yang harus diperhatikan. Salah satu dampak negatif tersebut adalah penularan HIV/AIDS.
Berdasarkan data dari UNAIDS, terdapat 36,9 juta masyarakat berbagai negara hidup bersama HIV dan AIDS pada 2017. Indonesia menjadi salah satu negara yang termasuk dalam Kawasan Asia Pasifik. Kawasan ini menduduki peringkat ketiga sebagai wilayah dengan pengidap HIV/AIDS terbanyak di seluruh dunia dengan total penderita sebanyak 5,2 juta jiwa.
Bahkan Indonesia didaulat sebagai negara Asia Pasifik yang menjadi endemik pertumbuhan HIV/AIDS tercepat. Indonesia menyumbang angka 620.000 dari total 5,2 juta jiwa di Asia Pasifik yang terjangkit HIV/AIDS. (Kompas.com, 1/12/2018)
Akar Masalah
Virus dan penyakit mematikan ini, sebenarnya bersumber dari kehidupan sosial yang salah. Free love, free sex, pergaulan bebas, prostitusi, baik yang dilokalisasi maupun liar. Seharusnya, fenomena ini menyadarkan kaum Muslim, bahwa solusi dari seluruh permasalahan ini adalah dengan kembali kepada sistem Islam.
Dengan kembali kepada sistem Islam, maka tidak akan ada lagi pergaulan bebas di tengah-tengah kaum Muslim. Mereka dilarang berkhalwat, berduaan pria dan wanita yang bukan mahram, ikhtilath (campur baur), kecuali dalam perkara yang dibenarkan oleh syariah, seperti jual beli, haji-umrah dllnaik kendaraan umum dan belajar-mengajar, misalnya.
Tidak hanya itu, kaum pria diwajibkan untuk menundukkan pandangan terhadap lawan jenis. Demikian sebaliknya. Islam pun melarang kaum perempuan melakukan tabarruj, berpenampilan yang bisa menarik perhatian lawan jenis. Islam juga melarang pria maupun wanita menampakkan auratnya di hadapan masing-masing.
Jika semua ketentuan tersebut dijalankan, maka pintu perzinaan tertutup rapat. Karena itu, ketika ada orang yang melakukan zina, sanksi yang dijatuhkan kepadanya pun tegas dan keras. Bagi yang sudah menikah (muhshan), dia dikenakan sanksi rajam, dilempari batu hingga mati. Bagi yang belum menikah (ghairu muhshan), dia dikenai sanksi jild, dicambuk 1oo kali.
Adapun bagi mereka yang melakukan pelanggaran, meski tidak sampai kepada taraf berzina, seperti berkhalwat, ikhtilath, membuka aurat, ber-tabarruj, dan sebagainya, bagi mereka sanksinya adalah ta'zir, seperti dicambuk, dan atau dibuang.