Oleh: Nur aina (Pemerhati Politik Serdang
Bedagai)
Pemilu yang dilaksanakan pada tanggal 17 April
2019 menghebohkan warga Indonesia. Mulai
dari kampanye-kampanye yang dilakukan secara berkelompok, sampai hasil dari
pemilu tersebut. Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa paska pemilu banyak
terjadi berbagai kecurangan yang secara gamblang terekam blak-blakan.
Baik melalui vidio kecurangan maupun dengan mata telanjang. Padahal harapan
utama dari pemilu adalah kejujuran dan apapun hasilnya harus menjadi sebuah
proses dari kejujuran.
Kehebohan inipun secepat kilat
memarak di tengah-tengah masyarakat, tercatat banyak sekali kecurangan yang di
lakukan oleh berbagai kelompok.
Dengan cara mengambil hati rakyat dengan pemberian bantuan terhadap rakyat kecil, serangan fajar guna
memarakkan suara, bahkan sampai melakukan suap-menyap terhadap hasil hitungan
KPU. Miris, usai pemilu banyak keluarga berduka dikarenakan hilangnya nyawa kerabatnya yang diduga kelelahan menghitung
surat suara. Dengan kejadian itu pula tak sedikit yang merunung nasib di akhir
pekan April 2019. Bahkan terekam jejak-jejak
yang sangat merugikan rakyat maupun nrgara indonesia.
OBOR adalah suatu mega proyek yang sangat merugikan Negara, namun tidak
merugikan para penguasa. Sebab di dalamnya menghasilkan keuntungan
besar-besaran bagi rezim yang menandatanganinya. Hal itu terjadi karena
kedudukan para penguasa berdasarkan para pengusaha. Di dalamnya banyak cukong pemilik
modal yang siap melindungi proyek tersebut bila ada yang berani menghalanginya.
Maka sesungguhnya saat ini tak ada yang bisa menghentikan mega proyek OBOR
kecuali militer dari sebuah institusi negara yang adil dan berjalan sesuai
dengan rancangan syari’at islam.
Antara pemilu dengan penandatanganan
proyek OBOR jelas sangat berhubungan dan terlihat sangat tertata bahkan mungkin
memang sudah dirancang sedemikian rupa, sulit menghapus kecurigaan pada jalur
mulus modern ini sebagai proyek ‘kejar tayang’. Rancangan penandatangannya bisa
jadi berubah bahkan mungkin batal bila rezim diganti. Sebab itu, pilihan
penandatanganan di bulan April menandakan ada sesuatu yang mendesak, penting
dan darurat. Sehingga pelaksanaan ini terkelabui dengan isu marak tentang
pemilu 2019.
Pembangunan mega proyek 0B0R tentunya
membutuhkan bantuan, maka dengan ini,
terjadi kerja sama yang merugikan sebelah pihak dan menguntungkan pihak yang
lain. Bantuan ini berupa pinjaman uang untuk pembangunan-pembangunan jalan,
pelabuhan maupun Airport yang memiliki tujuan tersendiri dan bukan murni dari
hati nurani. Hal ini terlihat jelas, pada landasan peminjamannya yang berbunga,
maka dari itu Tiongkok China pantas disebut sebagai pengemis berdasi yang
menguras habis harta maupun tenaga dari berbagai negeri.
Di samping keharusan membayar hutang
yang berbunga tersebut, pasti ada kalanya Indonesia tak mampu untuk
melunasinya, dengan demikian, Indonesia harus memberikan SDA (Sumber Daya
Alam)nya sebagai jaminan atas ketidaksanggupan membayar bunga yang jumblahnya
tak sedkit itu. Hal inilah yang dapat membuat Negara Indonesia lambat-laun akan
jatuh dalam pengkaderan asing dan aseng.
Kergugian itu menjamur ke masyarakat, berupa sepinya
pelanggan akibat jalan tol yang keluarnya jauh dari tempat dimana rakyat berdagang, mahalnya ongkos tol yang
seharusnya bisa dipakai untuk membeli makanan di warung-warung kecil
masyarakat, meroketnya tiket pesawat, dsb. Seharusnya negara merancang
rupanya agar rakyatpun tetap dapat merasakan kesejahteraan dari berbagai mega
proyek tersebut bukan malah asal tanda tangan demi meraih keuntungan pribadi.
Dalam proses pembanguan proyek-proyek di nusantara,
menjadi kewajiban negara untuk mengelola dan memberikan lapangan kerja bagi
laki-laki yang membutuhkan sesuai dengan skil yang dimiliki, sehingga ia dapat
memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Bukan malah mempercayakannya terhadap
asing, apalagi sampai keseluruhannya dan langsung terima bersih dengan meraih
kuncinya saja.
Dalam hal ini, islam memiliki penerapan yang
berpengalaman terhadap pengelolaan SDA (Sumber Daya Alam). Dari yang terkecil
hingga segala sesuatu yang berandil dalam kancah negara sekalipun. Termasuk
perkara pengelolaan suatu negara menjadi sebuah keharusan untuk mengelolanya
secara mandiri, antar negara tak boleh bergantung pada yang lain dan
rancangannya menjamin kesejahteraan rakyat. Bukan malah di serahkan sukarela
terhadap negara lain, apalagi sampai mempercayakannya kepada orang kafir.
So, sebagai seorang muslim, kita
harus menghentikan aktifitas terlarang yang di lakukan oleh para penguasa
diktator saat ini. Dan dalam penghentiannya butuh kekuatan super power dari
Negara yang adil serta memiliki ketahanan militer yang di takuti. Hal ini
sebagaimana yang pernah terjadi pada masa kejayaan islam dahulu.
Alkisah, Sultan Abdul hamid adalah
seorang pemimpin yang mengatur negara secara strategis dan apik sehingga ia
selalu menolak berbagai permohonan ataupun tawaran dari kaum kuffar yang
mengganggu kesejahteraan rakyatnya. Tak hanya itu ia juga tidak mengizinkan
tanah kaum muslimin diserahkan kepada Israel walaupun hanya sedikit. Bahkan ia
juga sempat marah dan menegaskan terhadap kaum kuffar tersebut bahwa selagi
Allah memberinya rezeki berupa kehidupan ia tak akan pernah mewariskan secuil
tanah Palestina.
Maka dari itu, tak cukup hanya
mengganti rezim dan mengabaikan sitem yang di terapkan. Keberadaan sistemlah
yang semestinya diperhatikan, dan ketika bertentangan dengan syari’at islam harus segera
diganti dengan aturan illahi yang menerapkan sistem islam. Karena hanya
islamlah yang dapat mensejahterakan ummat dan membuahkan rahmat bagi seluruh
alam.
wallahua’alam
bisshawab.