Ummu Zhafran (penulis lepas)
Ayah...
Dalam hening sepi ku rindu...
untuk...
Menuai padi milik kita
Tapi kerinduan tinggal hanya kerinduan...
Anakmu sekarang banyak menanggung beban...(Ebiet G Ade, komposer).
Gagal mudik kampung halaman karena banyak menanggung beban diri. Kiranya itu yang dirasakan publik saat ini. Melambungnya harga tiket tak hanya sukses menggagalkan rencana silaturahmi namun juga bikin bandara pada sepi. Tak ayal berbagai pihak jadi gigit jari.
Bagaimana tidak, hasil penelusuran detikFinance di Traveloka harga tiket pesawat kelas bisnis untuk penerbangan 31 Mei dari Bandung ke Medan yang termurah adalah Rp 13.400.700 dan termahal Rp 21.920.800. Untuk tiket kelas ekonomi tidak tersedia.
Sementara esoknya, Kamis (30/5/2019), di Traveloka juga tercatat kelas bisnis Garuda Indonesia dari Jakarta ke Makassar yang transit di Jayapura. Harganya Rp 24.576.300 pada Sabtu 2 Juni mendatang. (detikfinance.com, 31/5/2019).
Tak hanya harga yang melejit, gerai penjual di bandara pun menjerit. Di bandara Juanda salah satunya, tenant (gerai) merugi hingga 40 persen.
Seorang pemilik gerai, Ricky mengaku keadaan sepi mulai dirasakan sebelum bulan puasa.
"Sejak awal tahun sudah terasa sepinya. Apalagi sekarang harga tiketnya mahal jadi malah bikin sepi. Membuat omzet kita mengalami penurunan sekitar 30 - 40 persen," ujarnya (TribunJatim.com, 1/6/2019).
Solusi Tak Menyentuh Akar Masalah?
Menyikapi hal ini, bukan tak ada upaya yang dilakukan oleh yang berwenang. Mulai dari menghimbau untuk naik bus sebagai pengganti. Hingga menegur pihak jasa penyedia layanan pemesanan tiket, traveloka.
Dirjen Perhubungan Udara, Kementerian Perhubungan Polana B. Pramesti menegaskan, pihaknya telah meminta maskapai untuk mengingatkan dan menegur mitra penjual/agen untuk tidak menampilkan harga yang tidak masuk akal karena penerbangan harus melalui beberapa kali transit. (cnbc.com, 31/5/2019).
Sayang tiada satu pun yang membuahkan hasil. Alih-alih turun harga malah semakin mengangkasa. Tak heran sebab solusi tak sampai menyentuh ke akarnya. Jujur saja, kapitalisasi biangnya. Ketika mekanisme pasar dibiarkan berjalan tanpa regulasi oleh penguasa.
Terbukti terdapat poin kritis yang menuntut keterlibatan para stakeholder ( pengambil kebijakan) namun terkesan diabaikan. Beberapa di antaranya seperti yang diungkap pengamat dari Arista Indonesia Aviation Center, Arista Atmajati. Ia menuturkan, salah satu faktor penyebab kerugian tersebut yaitu harga avtur atau bahan bakar pesawat.
"Harga minyak dunia katanya turun, tapi di Indonesia harga avturnya tidak turun," kata Arista.
Selain avtur, suku cadang pesawat juga menjadi komponen pengeluaran yang tidak sedikit. Karena masuk ke dalam kategori barang mewah yang pajaknya dapat mencapai 300 persen. (republika.co.id, 12/1/2019).
Maka selamat datang di negerinya para kapitalis. Di dalamnya ideologi kapitalisme diterapkan secara praktis. Ditandai dengan melepaskan pembiayaan negara di pundak rakyat dalam bentuk pajak yang memeras.
Ironi bukan? Ke mana gerangan hasil sumber daya alam yang melimpah? Kekayaan yang sejatinya adalah milik umum. Hasilnya berpotensi mengisi pundi-pundi pendapatan segenap penjuru negeri. Sayang seribu sayang masih jauh panggang dari api.
Dicari, Solusi Yang Tuntas!
Allah Ta’ala memerintahkan untuk menyambung tali silaturahmi, dalam firman-Nya:
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri” (QS. An Nisa: 36).
Banyak keutamaan silaturahmi. Salah satunya menurut sabda Rasul saw,
“Barangsiapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka sambunglah tali silaturahmi.” (HR. Bukhari – Muslim).
Sebaliknya memutus silaturahmi justru menuai azab dari Allah.
“Tidak masuk surga orang yang memutus silaturahmi.” (HR. Bukhari – Muslim).
Demikianlah silaturahmi perintah Allah yang wajib dipenuhi. Tak ada alasan untuk ditinggalkan mengingat konsekuensi iman semata ketaatan pada-Nya.
Maka eksistensi negara dalam Islam adalah untuk menjamin ketaatan setiap warga negara terlaksana. Bukan malah melarang atau bahkan membiarkan berjalan sendiri layaknya autopilot.
Berbeda dengan kapitalisme yang membatasi peran negara, Islam justru membebankan tanggung jawab pada negara. Tepatnya tanggung jawab dalam mengurusi segala urusan yang menjadi kemaslahatan rakyat. Sabda Nabi saw.,
“Imam itu adalah laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya)” (HR. Imam Al Bukhari dan Imam Ahmad).
Demikian jelas kiasan Rasulullah saw. bagi pemimpin. Bahwa mereka adalah laksana penggembala yang bertanggung jawab atas rakyat yang dipercayakan kepadanya untuk mengurusnya.
Termasuk mengurai masalah transportasi di dalamnya. Mengembalikan posisi kekayaan sumber daya alam sebagai kepemilikan umum mutlak dilakukan. Pengelolaannya diserahkan ke negara. Adapun hasilnya digunakan sebesar-besarnya untuk kemaslahatan segenap rakyat. Sebagaimana Rasul saw. pernah menyitir,
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Dengan demikian praktik monopoli kartel maupun pajak mencekik yang menjadi ciri khas kapitalisme bakal terhindarkan. Sehingga ketimbang berkelindan dengan kapitalisme yang menyengsarakan publik mengapa tak mengambil Islam sebagai gantinya? Silaturahmi pun niscaya surplus, tak lagi terancam defisit seperti sekarang ini. Wallaahu a’lam.