Oleh Sumarni
(Anggota Komunitas Menulis untuk Peradaban)
Kedatangan bulan suci ramadhan selalu disambut gembira oleh seluruh muslim di dunia. Mulai dari tua-muda bahkan tak ketinggalan juga anak-anak milineal jaman now tak luput kegirangan akan kedatangan momentum bulan ramadhan kali ini. Namun berbeda dengan emak-emak, kedatangan ramadhan justru menghantui emak-emak, bagaimana tidak! Pasalnya datanganya ramadhan disambut dengan kenaikan harga pangan yang melangit, sebut saja semisal bawang putih, cabe rawit, telur, beras dan komoditas bahan pokok lainya mengalami kenaikan harga.
Hal ini tentu membuat para emak cemas, resah, dan khawatir harus memutar otak agar belanjaan bisa terpenuhi dan termenej dengan baik. Harapan para emak-emak harga bisa turun atau stabil, malah semakin melambung. Apalagi di momen ramadhan sepertih ini, seakan sudah menjadi tradisi dan kebiasaan menjelang ramadhan harga-harga dari bahan pangan terus-menerus melonjak disetiap tahunnya.
Jadi yang menyambut ramadhan bukan cuma manusia saja, tetapi juga harga bahan pangan menyambut ramadhan dengan harga yang mahal membuat para emak menggigit jari.
Tidak berhenti disitu, awal hingga dipertengahan ramadhan bahkan juga menjelang lebaran pun harga bahan pokok tak kunjung stabil, bukannya harga membaik, yang ada justru bahan pangan tetap konsisten dengan harga yang mahal. Meningkatnya harga pangan ini tentu terus menghantui para ibu.
Dilansir oleh DetikFinance, jumat (31/05/2019) harga komoditas pangan di DKI Jakarta naik mendekati lebaran. Bahkan kenaikannya ada yang mencapai 100%. Salah satunya contohnya dan ini bukan saja terjadi di jakarta namun di semua daerah di indonesia juga mengalami kenaikan harga.
Anehnya pihak DPR sepertih yang dikatakan Linda Megawati anggota komisi VI DPR RI menilai kenaikan harga pangan diduga diakibatkan oleh ulah pedagang yang ingin mengeruk keuntungan lebih pada momentum khusus ini. Ujarnya (detiknews 15/05/2019).
Pernyataan yang seharusnya tidak keluar dari seorang anngota DPR, mestinya pihak DPR menyampaikan aspirasi rakyat kepada pemerintah untuk mengatasi keluhan rakyat atas kenaikan harga pangan yang meroket menuntut diselesaikan secara tepat. Bukannya malah sibuk menyalahkan para pedagang, kurang tepat karena yang menetapkan harga-harga pangan dipasaran adalah wewenang dari pemerintah bukan para pedagang.
Jadi muncul dibenak kita, seakan persoalan ini terjadi secara sistemik, pasalnya tiap tahun kejadian terus hal yang sama, dan pemerintah abai dan cenderung membiarkan hal ini. Pemerintah tidak pernah becus menyelesaikan masalah ini secara tuntas.
Dibalik kenaikan harga, para pemain kartel bermain
Tidak bisa dipungkiri, semua ini ada peran yang bermain cantik dari belakang layar pasar. Ada pihak oportunis (kartel) yang mengeruk keuntungan dibalik kenaikan harga pangan yang sengaja memanfaatkan kondisi ini. Para kartel ini sengaja melakukan penimbunan barang dan mempermainkan harga-harga dipasaran untuk menumpuk kekayaan materi sebesar-besarnya secara serakah. Inilah fakta yang terjadi di negeri ini ketika ekonomi kapitalisme masih bertengger dan diadopsi oleh negara. Memang sistem ekonomi kapitalis ini hanya akan berpihak pada para korporasi dan tidak pernah memihak pada rakyat.
Memang secara imani, Allah memerintahkan kita untuk meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya pemberi rezeki, maka kita tidak tergantung pada tinggi rendahnya harga pangan dipasaran ketika Allah memberikan rezeki pada manusia akan tetap bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Tetapi syariat juga memerintahkan kepada kita bahwa kita harus beramal. Tatkala kita melihat kesulitan menimpa diri kita, menimpa masyarakat di negeri ini. Demikian juga pada saat kaum ibu semakin menjerit karna harga kebutuhan pokoknya, harga pangan semakin naik sementara belanja mereka tidak naik. Maka kesulitan yang menimpa kaum ibu ini mengharuskan kita untuk memahami sepertih apa akar permasalahnnya dan menyampaikan solusinya ketika persoalan-persoalan itu tidak terselesaikan dengan cara yang benar.
Cara Islam menyelesaikan dan mengatasi masalah kenaikan harga
Kita harus paham bahwa kenaikan harga bisa terjadi karena faktor alamiah yakni (paceklik, gagal panen, produksi yang tidak mencukupi kebutuhan). Kedua faktor distorsi pasar (penyimpangan pasar) yakni ada yang melakukan penimbunan, melakukan goben fahis (melakukan permainan harga) dan bukan tidak mungkin ini adalah bagian dari liberalisasi ekonomi sebagaimana hari ini berjalan dinegeri ini.
Dahulu khalifah umar bin khatab ra dalam sistem khilafah yang memberlakukan syariat islam secara kaffah juga pernah mengalami masa paceklik di madina yang membuat harga-harga pangan tentu saja melangit karna jumlahnya yang sedikit. 9 bulan lamanya tidak turun hujan di madina. Maka waktu itu khalifah umar bin khatab mengirim surat kepada gubernur Mesir Amru bi Ash ra dan meminta bantuan untuk mengirimkan persediaan pangan yang bisa diperbantukan untuk mengatasi paceklik yang ada di madina.
Nah, seharusnya itu juga yang dilakukan oleh pemerintah hari ini ketika pasokan bahan pangan dipasar kurang untuk segera memenuhi apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Jika tidak mencukupi apa yang dimiliki oleh negeri kita sendiri diberbagai propinsi boleh dilakukan impor, islam membolehkan selama tidak di ikuti dengan syarat-syarat yang menghilangkan kemaslahatan kaum muslimin dan tetap memperhatikan bagaimana produksi di waktu mendatang dilakukan untuk mencukupi kebutuhan sendiri.
Jika terjadi goben fahis (permainan harga), terjadi penimbunan harga (ihtikar) karna adanya segelintir orang yang ingin mengambil keuntungan dari kenaikan harga maka harus diambil tindakan yang tegas oleh pemerintah. Bahkan rasul melakukan inspeksi sendiri demi memastikan tidak ada goben fahis dan tidak ada ihtikar yakni orang yang oportunis mengambil keuntungan dari kesulitan yang dialami oleh masyarakat.
Maka ketika pemerintah hari ini sudah mengakui bahwa di mungkinkan ada kartel-kartel pangan yang bermain sehingga harga bahan menjadi tidak terkendali dan juga ada mafia-mafia pangan yang bermain dalam impor pangan karena mereka memiliki modal untuk menimbun barang di gudang-gudang yang mereka miliki. Maka semestinya pemerintah tidak tinggal diam, pemerintah mengakui ada terjadinya distorsi pasar melakukan tindakan, namun nyatanya tindakan yang dilakukan tidak benar-benar menyelesaikan masalah.
Tentu rakyat mempertanyakan benarkah pemerintah sudah berupaya maksimal untuk mengatasi mafia pangan, kartel-kartel yang telah membuat harga pangan tidak terkendali dan menyulitkan masyarakat. Jika pemerintah tidak melakukan tindakan untuk memastikan berhentinya mafia pangan itu beroperasi dan kartel-kartel itu mengambil untung dari kesulitan masyarakat, jangan-jangan pemerintah adalah bagian dari aktor penting dari liberalisasi ekonomi yang hari ini terjadi.
Islam memerintahkan bahwa seorang pemimpin itu adalah penanggung jawab ibarat penggembala yang harus memastikan bahwa pemenuhan kebutuhan rakyat tanpa di tunda-tunda, tanpa alasan apapun. Sebagaimana sabda rasul "imam (khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya" (HR.Al-Bukhari). Maka mestinya hari ini tidak boleh ada alasan karena banyak persoalan yang dihadapi pemerintah, lalu pemerintah mengabaikan dan melalaikan pemenuhan kebutuhan rakyat dan membiarkan jutaan kaum ibu semakin kesulitan mengatur pemenuhan kebutuhan keluarga karna Allah mengancam pemimpin yang tidak mengatur dan mengurusi umatnya dengan ancaman yang sangat pedih.
Tentunya kita menghendaki pemimpin hari ini bisa meneladani apa yang dicontohkan rasul dan para khalifah terdahulu yang mereka memimpin menggunakan syariat islam yang mereka takut luar biasa ketika tidak mampu memenuhi kebutuhan rakyatnya, maka mereka tidak beralasan sedikitpun karena alasan beragam persoalan yang dihadapinya kemudian melalaikan pemenuhan kebutuhan rakyatnya. Karena pemimpin dalam islam adalah pelayan-pelayan umat yang tulus memenuhi kebutuhan rakyat.
Ini semua hanya akan terjadi ketika benar-benar negara menerapkan syariat islam secara kaffah lalu mencampahkan kapitalisme-demokrasi dengan sistem khilafah berdasarkan yang diajarkan oleh nabi. Wallahu a'lam.
Tags
Opini