Oleh : Anis Nofitasari*
Ramadan dan lebaran telah berlalu, namun beberapa komoditas pangan, seperti gula dan beras, hingga saat ini stagnan pada harga yang sama, belum mengalami penurunan. Di Tulungagung, harga gula pasir telah mengalami kenaikan sejak sebelum Ramadan, yaitu Rp. 12.000-12.500/kg, sedangkan harga beras berkisar Rp.9500-10.000/kg. Harga kedua bahan pokok tersebut hingga lebaran usai belum juga memberi sinyal akan turun.
Salah satu faktor yang menyebabkan kenaikan sejumlah kebutuhan pokok tersebut adalah aktivitas impor yang terus-menerus dilakukan dengan prosentasi yang terus meningkat. Dilansir dari Detik Finance, Sandiaga Uno menyebutkan "Kita paling banyak megang rekor-rekor. Sayangnya rekor-rekor buruk. Rekor impor tinggi dibanding produksinya, kita impor beras, gula, jagung, sampai garam yang sangat besar. Oleh karena itu beban oleh masyarakat".
Selain aktivitas impor, penguasaan pangan oleh kartel juga menambah pelik permasalahan ekonomi di Indonesia. Masih menurut Sandiaga Uno yang dilansir dari Detik Finance, saat ini ketahanan pangan di Indonesia masih kurang baik dan dikuasai partel.
"Tiap pemerintah harus punya ketahanan pangan yang kuat. Indonesia sendiri hanya 6% yang dikuasai oleh Bulog, 94% dikuasai kartel. Mafia impor pegang kendali." Kata Sandiaga di Jl. Cikupa 1, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Sabtu (25/5/19).
Penguasaan pangan oleh kartel sebesar 94% tersebut merupakan dampak dari korporatisasi pangan yang berjalan seiring neolibelarisasi. Kebebasan yang diberikan pada pihak swasta memberi celah yang besar bagi keterpurukannya perekonomian rakyat. Kebebasan tersebut merupakan sebuah keniscahyaan pada sistem ekonomi neoliberal. Kondisi tersebut berpangkal akibat peran pemerintah yang sangat minim sabatas regulator dan fasilitator. Tanpa berfikir jangka panjang, segala peraturan bisa diciptakan asal memberi keuntungan, sehingga jalan yang tak mungkin tetap bisa dilalui hingga menjadi mungkin. Sementara, korporatisasi terus menjangkiti dan berkuasa pada aspek produksi, distribusi, serta impor pangan.Tak heran jika Sandiaga Uno menghimbau kepada pemerintah agar Indonesia berbenah untuk memperkuat ketahanan pangan dalam negeri.
Selama tata kelola pangan masih dijalankan dengan konsep neoliberal, mustahil praktik kartel bisa diberhentikan. Kebebasan yang menjadi suatu keniscahyaan tersebut sesungguhnya sangat bertentangan dengan prinsip Islam. Dalam Islam, ekonomi suatu negara dipegang dan dikendalikan secara penuh oleh pemimpin Islam. Aturan yang dibuat harus disesuaikan dengan syari'at Islam, tidak serta merta sesuai keinginan manusia, apalagi kepentingan nafsu yang menjadi acuan dasar.
Sistem ekonomi neoliberal yang telah memberi gambaran nyata serta dampak yang luar biasa di Indonesia, sudah seharusnya dimutasi dan diganti dengan sistem ekonomi Islam. Saatnya kita kembali kepada Syari'ah Islam yang memiliki konsep shahih yang menjamin pengelolaan pangan dan akan memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Segala sumber daya alam dikelola dan diatur oleh negara. Bukan keuntungan yang menjadi pertimbangan, namun kemaslahatan umat dengan penyesuaian prinsip syari'at.
Dengan penerapan sesuai syari'at, maka suatu negeri akan diberikan predikat oleh Allah sebagai negeri yang diliputi keberkahan. Sesuai firman Allah dalam Q.S. Al A'raf ayat 96, yang artinya : "Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi...".
Namun sebaliknya, jika banyak sekali penyimpangan yang terjadi akibat tidak diterapkannya syari'at Allah, maka keberkahan tak didapat, justru kemurkaanNyalah yang menjadi pelajaran bagi kita semua.
"...tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka dengan apa yang telah mereka kerjakan." (TQS Al A'raf : 96)
* Mahasiswi IAIN Tulungagung