sumber gambar: google |
Ummu Zhafran
(penulis lepas)
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ( APBN) pada periode April 2019 mengalami defisit sebesar Rp 101,04 triliun. Defisit ini lebih besar ketimbang periode yang sama pada tahun lalu yang hanya Rp 54,9 triliun. (kompas.com,16/5/2019).
Lebih lanjut ia menjelaskan, dalamnya defisit anggaran April 2019 ini dipicu oleh stagnannya pertumbuhan pendapatan negara. Padahal, belanja negara cenderung tumbuh tinggi yang sumbernya didominasi oleh utang luar negeri.
Kondisi ini tak pelak semakin mengkhawatirkan. Sejak tahun lalu banyak analisa terkait meroketnya utang dan relevansinya dengan defisit. Salah satunya dari Nizwar Syafaat, ekonom pengamat kebijakan publik. Menurutnya, penyebab melonjaknya utang sampai mencapai Rp 4000 T karena pemerintah menganut defisit APBN secara berkelanjutan, dan tidak menghasilkan pertumbuhan ekonomi sesuai dengan target sehingga penerimaan pendapatan naik tapi tidak terlalu besar. (detiknews.com, 22 Maret 2018).
Pendapatan negara belum mampu menciptakan surplus keseimbangan primer. Semakin besar keinginan membangun dengan defisit APBN melalui utang, semakin menumpuk utang kita ke depan.
Mengapa? Karena realitanya Pemerintahan itu berkelanjutan, termasuk utangnya. Pemerintah saat ini diwarisi utang oleh pemerintah sebelumnya, dan pemerintah nantinya akan mewariskan utang untuk pemerintah berikutnya. Tinggal sejarah yang menghitung pemerintah mana yang mewariskan utang yang besar.
Defisit Menuju Pailit?
Defisit suatu anggaran hakikatnya adalah problem universal. Artinya, dapat terjadi di negara mana pun tanpa melihat ideologinya, baik di negara kapitalis-sekuler, negara sosialis/komunis, maupun di negara yang menerapkan syariah Islam secara kaffah (komprehensif) dalam naungan khilafah. Yang berbeda hanya faktor-faktor penyebabnya dan solusi praktis untuk mengatasi persoalan berdasarkan perspektif ideologi masing-masing.
Menurut Umer Chapra dalam bukunya, Islam and the Economic Challenge (1992), di negara-negara kapitalis (termasuk di Dunia Islam) terdapat 4 (empat) faktor umum yang menyebabkan defisit anggaran yaitu: belanja pertahanan yang tinggi; subsidi yang besar; belanja sektor publik (seperti belanja birokrat) yang besar dan tak efisien; korupsi dan pengeluaran yang boros. (Monzer Kahf, 1994).
Untuk mengatasi problem defisit anggaran ini, solusi universalnya ada 3 (tiga), yaitu: menambah pendapatan; mengurangi belanja; dan berutang baik utang luar negeri maupun utang dalam negeri.
Di negara-negara kapitalis, cara menambah pendapatan pada umumnya adalah meningkatkan pajak, dan kadang dengan mencetak mata uang. (Subiyantoro & Riphat, 2004; Kartikasari, 2010).
Untuk konteks Indonesia, cara yang ditempuh untuk mengatasi defisit anggaran seperti yang sudah disebutkan sebelumnya. Yaitu meningkatkan pajak dan berutang.
Besar pasak dari tiang. Bayang-bayang pailit tak pelak mengintai di depan mata. Upaya mengatasi mutlak harus dilakukan. Dimulai dari asasnya agar mampu mengakomodir solusi yang tuntas dan menyeluruh. Tak sekedar tambal sulam atau parsial semata.
Cara Islam Mengatasi Defisit
Sebelumnya perlu dipahami terlebih dahulu bahwa APBN dalam konteks kini tidak pernah dikenal oleh kaum Muslim dalam sejarah Islam. Yang dikenal oleh umat Islam adalah institusi Baitul Mal. Namun demikian, fungsi Baitul Mal ternyata memiliki kesamaan dengan fungsi Pemerintah terkait APBN, yaitu mengelola pendapatan dan pengeluaran negara.
Sama tapi tak serupa. Sebab terdapat setidaknya 4 (empat) perbedaan mendasar antara APBN menurut kapitalis dengan APBN dalam Islam:
(1) Aspek keterikatannya dengan halal-haram (syariah). APBN negara kapitalis tidak terikat dengan halal-haram, sedangkan APBN Islam sebaliknya.
(2) Aspek pengeluaran atau pendapatan. Dalam APBN negara kapitalis, pengeluaran atau pendapatan ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR. Sedangkan APBN dalam Islam ditetapkan oleh syariah yang bersifat tetap (fixed) hingga akhir zaman.
(3) Aspek besarnya dana untuk masing-masing jenis pengeluaran atau pendapatan. Dalam APBN negara kapitalis, besarnya dana ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR. Berbeda dengan Islam APBN ditetapkan oleh Khalifah sebagai kepala negara, karena merupakan ri’ayatus-su‘un (pengaturan urusan rakyat) yang menjadi hak Khalifah, tanpa ada kewajiban mendapatkan persetujuan Majelis Umat.
(4) Aspek periode berlakunya APBN. APBN dalam negara kapitalis berlaku untuk satu tahun. Sementara anggaran Islam tidak mengenal periode waktu tertentu. (Taqiyudddin an-Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, Al-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam).
Selanjutnya seiring waktu berjalan pendapatan negara mungkin saja tidak cukup untuk membiayai semua pengeluarannya sehingga terjadilah defisit anggaran. Maka secara umum Islam mengatasi defisit anggaran ini dengan langkah sebagai berikut:
Pertama, meningkatkan pendapatan. Untuk mengatasi defisit anggaran, Khalifah berhak melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan pendapatan negara dalam tiga langkah secara garis besar,
(1) Mengelola harta milik negara. Misalnya saja menjual atau menyewakan harta milik negara, seperti tanah atau bangunan milik negara. Khalifah boleh saja menjual atau menyewakan tanah-tanah di dalam kota untuk membangun pemukiman, pasar-pasar, gudang-gudang, dan sebagainya. Khalifah boleh juga mengelola tanah perkebunan milik negara, baik sebagian atau seluruhnya, dengan akad musaqah, yakni bagi hasil dari merawat pohon, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw. di Tanah Khaibar, Fadak, dan Wadil Qura. Khalifah boleh juga mengelola tanah pertanian milik negara, dengan membayar buruh tani yang akan mengelola tanah pertanian tersebut.
Dengan catatan negara wajib tetap mengedepankan fungsinya menjalankan ri’ayatus-su‘un (pengaturan urusan rakyat). (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Dawlah al-Khilafah).
(2) Melakukan hima pada sebagian harta milik umum. Yang dimaksud hima adalah pengkhususan oleh Khalifah terhadap suatu harta untuk suatu keperluan khusus, dan tidak boleh digunakan untuk keperluan lainnya. Misalkan saja Khalifah melakukan hima pada tambang emas di Papua untuk keperluan khusus, misalnya pembiayaan jihad fi sabilillah dan apa saja yang terkait dengannya. Karena itu segala pendapatan dari tambang emas Papua itu hanya boleh digunakan untuk keperluan jihad atau yang terkait dengan jihad, seperti pembangunan akademi militer, pembelian alutsista (alat utama sistem persejataan), pembiayaan latihan militer, dan sebagainya. Jadi tak boleh digunakan untuk keperluan lainnya.
Hima yang seperti ini pernah dilakukan oleh Rasulullah saw., pada satu padang gembalakan di Madinah yang dinamakan An-Naqi’, khusus untuk menggembalakan kuda kaum Muslim. (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah).
(3) Menarik pajak (dharibah) sesuai ketentuan syariah. Yaitu ketika dana Baitul Mal tidak mencukupi.
(Muqaddimah Ad-Dustur, Al-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam).
(4) Mengoptimalkan pemungutan pendapatan. Khalifah dapat pula menempuh langkah mengoptimalkan pemungutan berbagai pendapatan Baitul Mal yang sebelumnya sudah berlangsung. Misalnya pendapatan dari zakat, fai‘, kharaj, jizyah, harta milik umum, ‘usyur, dan sebagainya. Yang bertanggung jawab dalam optimalisasi pemungutan ini adalah dua organ Baitul Mal, yaitu Diwan Muhasabah ‘Aammah (Divisi Perhitungan Umum) dan Diwan Muraqabah (Divisi Pengawasan). (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Dawlah al-Khilafah).
Kedua, menghemat pengeluaran. Misal: perluasan jalan raya yang tidak mendesak, yaitu jika jalan tak diperluas tak menimbulkan masalah pagi pengguna jalan; atau membangun rumah sakit baru yang tak mendesak karena rumah sakit yang ada masih mencukupi; atau menyediakan baju atau mobil dinas baru bagi Khalifah dan aparat pemerintah lainnya, padahal baju dan mobil dinas yang lama masih layak.
Ketiga, berutang (istiqradh). Khalifah boleh berutang untuk mengatasi defisit anggaran, namun tetap wajib terikat hukum-hukum syariah. Yaitu bebas dari riba dan tidak mengandung syarat-syarat yang menghilangkan kedaulatan negara. Dalilnya jelas dalam surah An-Nisa‘: 141,
“.....dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” Wallaahu a’lam.