Oleh : Shela rahmadhani
(Koordinator Humas FORMUDA 1440 H)
Sabtu, 15 Juni 2019 penulis dan beberapa perwakilan humas mengantarkan Buya Tengku Zulkarnaen (ulama) ke stasiun kereta. Tiga hari beliau berada di kabupaten Labura untuk melakukan aktivitas dakwah. Alhamdulillah, ada 6 titik dakwah yang diberikan ceramah.
Pagi hari itu, beliau diantar menggunakan mobil putih, berbaju putih lalu turun dari mobil. Beliau memberikan sedikit nasehat yang mendalam dan segera menuju ke dalam ruang tunggu kereta.
Tidak berapa lama kereta datang, Buya Zulkarnaen pun membalikkan pundaknya untuk berjalan ke kereta yang sudah datang, lalu naik bersama pendampingnya. Ketika beliau membelakangi panitia yang ditinggalkan, seketika itu ada perasaan tidak enak, sedih, seakan mimpi kalau Buya akan segera pulang. Dia pergi meninggalkan tanah Labura, dia pergi meninggalkan panitia, dan dia pergi meninggalkan anak humas yang mengantarnya, termasuk penulis.
Para pengantar Buya ketika itu hanya bisa melongo, tatapan kosong, seakan ada rasa ketidakrelaan. Enggak tahu perasaan apa itu. Apakah itu yang disebut dengan nafs ul muthmainnah, semoga saja.
Lalu panitia pun pulang meninggalkan stasiun. Ketika di kendaraan pun, kondisi melongo masih aja belum hilang. Termenung terus menerus tanpa mengeluarkan satu patah kata kata pun.
Lalu tiba tiba ada yang membuka percakapan. " Kak, ini masih kayak mimpi Lo".
Kakak menjawab: "ia, sedih ya ditinggal ulama".
Demikianlah obrolan berlanjut untuk semakin menguatkan jiwa bahwa ditinggal oleh orang berilmu adalah sebuah bencana yang patut disedihkan dan dikhawatirkan. Dan dekat dengan ulama adalah berkah.
Sejak awal kedatangan ulama saja, berkah sudah terasa. Bayangkan untuk menyambut seorang ulama, kami bisa bekerja siang malam, mengorbankan harta, mengorbankan ego masing masing untuk tetap menjaga kekompakan sehingga keberhasilan acara ceramah diraih. Kemudian dia pulang. Apakah kerja siang malam itu akan berlanjut, apakah rasa mengalah itu akan dirawat, dan apakah kekompakan tim akan berlanjut. Enggak tahu. Jika setelah ditinggal ternyata panitia berbalik arah, maka agaknya ini adalah sebuah bencana dari pergi nya ulama.
Kembali ke pembahasan rasa khawatir. Rasa khawatir mendalam ketika ditinggal ulama itu sesuatu yang wajar. Ulama adalah pewaris para nabi. Ulama menuntun umat Islam ke jalan surga. Ulama yg menjaga kaum muslim dari jalan neraka. Ulama adalah cahaya, sumber ilmu yang dengan itu selamat dunia dan akhirat manusia. Sungguh wafatnya satu ulama adalah bencana bagi umat Islam yang ditinggalkanya (diceritakan dalam sebuah hadist).
Agaknya ini yang membuat panitia yang ditinggal merasa sedih bercampur khawatir. Khawatir tanah Labura hilang berkahnya selepas ditinggal pergi ulama, khawatir bertemu dengan kekacauan setelah ditinggal pergi ulama, khawatir terjadi kemaksiatan kembali setelah ditinggal pergi oleh ulama. Itulah mengapa batin merasa sedih. Karena batin itu memang tidak bisa berbohong dan memungkiri hal itu.
Sungguh, dekat dengan ulama itu adalah berkah. Ketika kamu dekat dengannya, ambillah ilmu sedalam-dalamnya, bertanyalah sejelas-jelasnya, dan mintalah nasehat sebanyak-banyaknya. Karena ketika dia pergi, dia akan membawa ilmunya. Sehingga salinlah ilmunya untuk pertinggal bagimu. Dan, berproseslah menjadi ulama untuk melanjutkan tugas para nabi, yakni menjaga manusia, merawat alam semesta, dan isinya dengan aturan Allah SWT.
Wallahu aa'lam.