Oleh : Khalida Abdul Rahman
Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling istemewa diantara ciptaan-Nya, apabila dibandingkan dengan makhluk lainnya seperti hewan dan tumbuhan. Bahkan, keistimewaan ini menjadi faktor yang dapat melebihi mulianya manusia dibandingkan para Malaikat dan bidadari penghuni syurga. Tentu saja keistimewaan ini bertitik pada akal.
Mengapa akal ? sebab dihadapan Allah Subhanahu Wata’ala pada dasarnya semua manusia adalah sama, yang membedakannya adalah tingkat takwa dan imannya kepada Allah. Dan Islam menempatkan posisi iman pada akal manusia itu sendiri.
Inilah kenapa setiap muslim diwajibkan menuntut ilmu, sebab dari akal akan melahirkan pandangan dan memunculkan suatu pemahaman yang dapat melahirkan tingkah laku ataupun sistem hidup seseorang. Tentulah sistem hidup ini dipengaruhi oleh pemahaman seseorang terhadap sesuatu yang diperoleh dari proses berpikir.
Setiap muslim tentu memiliki sudut pandang yang berbeda, dimana faktor yang memicu perbedaan ini terletak pada beberapa hal seperti; pendidikan yang diperolehnya, lingkungan, teman pergaulan, bahkan pada pola asuh orang terdekat, serta guru. Perbedaan ini pun dipicu juga oleh ilmu yang diperolehnya baik dalam akademik maupun non-akademik.
Oleh karena itu, referensi buku bacaan, teman diskusi, bahkan komunitas belajar pun menjadi faktor pemicu lahirnya sudut pandang tersebut yang masuk membentuk pemahaman. Sehingga hal-hal inilah yang dikelola oleh akal pada proses berpikir, dan bisa saja melahirkan suatu hukum yang mutlak bagi diri pribadi orang tersebut maupun kelompoknya.
Meski demikian, manusia memiliki fitrah yang lemah, terbatas, serba kurang, dan tingkat kapasitas ilmunya sangat sedikit. Manusia tidak bisa mengetahui sesuatu yang benar maupun salah. Dan suatu kewajaran bahwa hasil keputusan yang dibuat seseorang antar satu dan lainnya menimbulkan perbedaan, pertentangan, yang dapat menuju pada suatu kebinasaan.
Ketika seseorang melakukan sesuatu tanpa melihat pada petunjuk Allah, maka 100% salah. Begitu halnya jika ilmu yang kita dapati tanpa merujuk pada syariat Allah, maka ilmu tersebut tidaklah benar. Ini akan merusak suasana kehidupan yang akan menjadi rahmatan li’alamin.
Di masa Umat-umat terdahulu, banyak para pemuka agama-agama bani Israel, dengan kitab-kitab yang Allah turunkan kepada mereka, yang mereka pelajari justru membuat mereka menjadi orang yang dibenci Allah. Padahal mereka adalah orang yang berilmu.
Kenapa demikian? sebab orang yang sombong, apalagi cinta terhadap kekuasaan dan dunia, apapun yang dimilikinya akan ia gunakan pada hal-hal tersebut yang bahkan menggadaikan akidahnya dan bisa membuatnya pada kesyirikkan. Ini telah dicontohkan oleh Mustafa Kemal Atatturk.
Orang seperti ini digambarkan:
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Siapa menuntut ilmu yang semestinya untuk mencari Wajah Allah justru ia mempelajarinya hanya untuk meraup harta dunia maka dia tidak akan mencium aroma Surga di hari Kiamat.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Dalam kalangan mahasiswa saat ini pun, tingkat intelektualnya meningkat. Seringkali mereka melakukan bedah buku, diskusi, membaca, seminar, training, bahkan aktif dalam komunitas-komunitas yang berkontribusi pada masyarakat tertentu. Tak hanya itu. saat ini, banyak sekali kelompok-kelompok belajar yang dikelola oleh mahasiswa sendiri.
Mahasiswa kerap kali menjuarai beberapa kompetisi, yang bermain secara akal sehat, dan mendapati prestasi yang luar biasa. Tak heran mahasiswa selalu identik dengan buku, diskusi dan organisasi.
Namun, pada mahasiswa tipe seperti ini terkadang adalah aktivis pacaran, tawuran, dan gaya hidupnya jauh dari Islam. Mereka bahkan membantah ajaran-ajaran Islam, tak menghargai orang yang berusaha patuh terhadap syariat Islam, serta tidak melaksanakan perintah Allah, meski ibadah-ibadah yang mahdo’ sekalipun seperti shalat.
Ketika disampaikan tentang penerapan syariat Islam, mereka membuat respon yang jauh dari kata yang seharusnya terucap seorang intelektual, terutama Muslim.
Sifat seperti ini, mencerminkan orang yang tak bependidikan dan tak mengenal ilmu. Padahal mereka berilmu, tapi ilmu itu membuat mereka jauh dari keimanan.
Kenapa? sebab pada orang tipe seperti ini, dapat ditebak bahwa ia mengonsumsi tsaqofah-tsaqofah asing.
Tsaqofah-tsaqofah asing itu, dibuat oleh mereka yang tidak beriman. Bahkan juga oleh umat Muslim yang terlena dengan dunia, hingga lupa identitasnya sebagai umat yang terbaik untuk manusia. Umat Muslim pada tipe seperti ini, tidak sedikit menjadi antek-antek para musuh Islam yang menjamin mereka kekuasaan. Mereka menggadaikan akidahnya, hanya dengan hal-hal sepeti ini.
Para musuh Islam dan antek-anteknya, mencantumkan sebuah karya apapun tanpa melandasi iman. Hingga kita yang membacanya pun tak menemukan iman di dalamnya, dan ilmu tersebut menjauhkan kita dari keimanan, hingga akibatnya tsaqofah asing pun masuk dan membuat kita lupa terhadap tsaqofah Islam. Lalu setelah itu, kita tergerak oleh tsaqofah asing tersebut di setiap ranah kehidupan. Yang lebih parahnya mereka membuat kita membenci syari’at Islam dan menolaknya, bahkan memusuhinya.
Kita akan mudah dirasuki, apalagi bila kita tak memiliki dasar sama sekali tentang mereka, dan hanya bermodal setitik iman. Dengan setitik iman ini, apa yang bisa kita harapkan untuk menjadi seorang Muslim yang taat terhadap syari’at Islam?
Tentu selayaknya, setitik iman pada diri kita tersebut seharusnya ditingkatkan dengan mempelajari ajaran Islam pada orang yang seharusnya, bukan pada mereka yang menjadi antek musuh dan menolak penerapan syari’at Islam.
Serta kita juga mengonsumsi buku-buku yang ditulis oleh meraka yang Muslim, yang taat terhadap Allah dan menerapkan Islam secara kaffah, bukan pada mereka yang sekuler. Sebab setiap Muslim yang taat melakukan sesuatu itu karena Iman. Maka kita akan mendapati iman dalam hal-hal tersebut, terutama pada buku referensi bacaan. Hingga tsaqofah asing apapun yang datang dengan sendirinya mampu tersingkirkan.
Dengan demikian, dengan izin Allah Subhanahu Wata’ala, keimaman kita akan bertambah.
Wallahu’alam bishawab