Mudik merupakan peristiwa musiman yang terjadi setiap kali menjelang lebaran. Kepadatan penumpang terjadi di mana-mana, baik itu di bandara, di stasiun, terlebih lagi di pelabuhan pelni. Tak ayal, melambungnya harga tiket pesawat membuat sebagian besar masyarakat yang mudik memilih jalur laut sebagai alternatif paling ampuh yang bisa mereka lakukan.
Meski demikian, jumlah penumpang bukan main padatnya. Sejauh yang saya pantau di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, saat ini jumlah penumpang yang tidak memiliki tiket memiliki ratusan. Bahkan mereka yang tak memiliki tiket rela membayar tiket dua kali lipat dari harga normal. Jika harga tiket dari Surabaya-Makassar hanya 200 ribu, maka para calo akan menjual tiket ke penumpang seharga 500-600 ribu.
Pelayanan di atas kapal pun tidak sepenuhnya di dapatkan oleh mereka. Mereka hanya bisa tidur di lantai kapal dengan beralaskan tikar dan tidak mendapatkan jatah makan 3 kali sehari seperti mereka yang mendapatkan tiket dengan harga normal.
Keprihatinan saya pun bertambah saat mereka yang memiliki tiket dan nomor kasur juga hanya bisa tidur di emperan kapal dengan alasan bahwa nomor kasur yang mereka tempati telah ditempati oleh penumpang sebelumnya.
Seyogianya, ini jadi perhatian khusus pemerintah, khususnya di bidang pelayaran dan pelayanan kapal jika sudah ditentukan jumlah dan kapasitas penumpang disetiap kapal. Mengapa harus ada penambahan penumpang, toh pada akhirnya mereka juga tidak mendapatkan apa yang menjadi hak mereka.
Coba bercermin pada pesawat yang tidak bisa menambah jumlah penumpang meski dalam kondisi darurat. Karena ini yang dimuat bukan barang tapi nyawa manusia dan ini demi keselamatan pula.
Irna Sari Dewi
Papua
Tags
surat pembaca