Menyoal banjir yang menimpa di Sultra, bila pemicunya disebabkan oleh alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian, pemukiman ataupun pertambangan, maka yang pertama, Pemda setempat mesti memetakan kembali daerah yang rawan banjir. Harus dilarang penduduk untuk membangun pemukiman di daerah tersebut. Jika telah terlanjur ada pemukiman disitu maka harus dipikirkan mereka dipindahkan kemana, tentu hal ini perlu sosialisasi. Demikian juga kalau ternyata didaerah rawan banjir itu ada tambang yang kemudian mengakibatkan kerusakan lingkungan maka izinnya harus dicabut. Jika terbukti tambang itu berada pada daerah yang rawan banjir,
Berikutnya, jika alih fungsi lahan tersebut menyebabkan tidak adanya daerah resapan air maka penguasa harusnya membuat saluran atau daerah resapan air yang baru. Apakah dengan membangun bendungan alternatif, sungai buatan, kanal, atau apa saja yang bisa mengurangi penumpukan volume air, sekaligus mengalihkan aliran-aliran air agar tidak kerumah-rumah penduduk, pada saat terjadi musim hujan yang cukup besar, aliran air itu akan ketempat resapan air yang baru. Jadi, tidak sampai masuk kedaerah penduduk. Ini adalah solusi untuk penangan agar tidak terjadi banjir.
Ironisnya, kalau diperhatikan justru malah izin mendirikan bangunan itu mudah sekali diberikan kepada penduduk untuk membangun rumah-rumah mereka didaerah yang termasuk daerah resapan air akhirnya mereka akan terkena banjir secara berkala berulang tiap musim hujan mereka akan terendam banjir.
Bagaimana bila banjir sudah terjadi? maka disini kita berbicara mengenai tanggung jawab penuh penguasa karena sebenarnya penguasa itu dalam pandangan Islam mereka adalah penanggung jawab : “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)
Maka dalam konsep baitul mal APBN negara khilafah ada kaidah pembelanjaan baitul mal, salah satunya adalah hak pembelanjaan karena adanya unsur keterpaksaan atau unsur kegentingan misalnya adanya peristiwa bencana alam, angin topan, gempa bumi termasuk banjir. Maka terhadap unsur-unsur yang genting seperti itu menjadi tanggung jawab baitul mal untuk mengeluarkan harta, kalau kemudian hata pada baitul mal belum cekup untuk memberikan bantuan kepada korban banjir salah satunya maka kewajiban tersebut dibebankan kepada kaum muslimin.
Maka kaum muslimin dilibatkan untuk membantu semaksimal mungkin sampai bencana teratasi, tapi kalau kaum muslimin tidak mampu membantu dengan cara yang layak sampai pada taraf tercukupnya semua kebutuhan masyarakat yang terkena dampak banjir, dan apabila dikhawatirkan akan ditunda pembiayaannya pada masyarakat yang terkena banjir akan terjadi penderitaan yang lebih lagi, maka kalaupun negara harus berhutang maka negara harus berhutang, karena pembiayaan terhadap penanggulangan bencana banjir tidak bisa ditunda, karena masyarakat tidak bisa ditunda makan, tidak berpakaian apalagi jika rumahnya terendam dan pakaian yang ada itu hanya pakaian secukupnya atau seadanya sementara biasanya banjirnya bisa sampe seminggu, jadi bisa dilihat sebenarnya dalam Islam itu porsi tanggung jawab itu ada pada penguasa, bukan langsung diserahkan kepada kaum muslimin, tetapi justru pertama yang harus melakukannya adalah penguasa. Termasuk saat penguasa tidak memiliki harta maka kaum muslimin dianjurkan untuk melakukan hal ini, tetapi yang harus melakukannya adalah penguasa dengan menghimbau kepada kaum agniah atau orang kaya untuk mngeluarkan hartanya sampai kemudian apa yang dibutuhkan oleh masyarakat yang terkena dampak itu terpenuhi[]
[Ustazah Wa Ode Lili Rahasia, SP]
========
Gemakan Opini Islam dengan me-Like dan Share postingan Ini
========
Ikuti kami di:
Facebook : fb.com/MuslimahSultra4Islam
Youtube : http://bit.ly/MuslimahSultra4Islam
Instagram: www.instagram.com/muslimahsultra4islam
Twitter: twitter.com/MuslimahSultra
Telegram: t.me/MuslimahSultra4Islam
=======