Tercatat sekitar 3.756 KK dari 113 desa menjadi korban banjir di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Mereka tersebar di 35 titik pengungsian banjir. Namun, sejumlah pengungsi di Unaaha dan Kecamatan Wawotobi sudah kembali ke rumah masing-masing dikarenakan air mulai surut. Kepala BPBD Konawe, Ameruddin menjelaskan bahwa data yang masuk di posko utama tanggap darurat bencana, terdapat 39 desa dan 8 kelurahan yang terendam banjir. Ribuan rumah penduduk juga ikut terendam. (sultrakini.com, 11/06/2019)
“Kalau yang rumah warga terendam banjir berdasarkan laporan masuk itu ada seribuan lebih, kalau data pengungsi perhari kemarin itu berjumlah 4.095 jiwa, sementara warga yang belum mau mengungsi tetapi sudah terkena dampak itu masi ada sekitar 5.661 jiwa,” kata Ameruddin di posko utama tanggap darurat bencana, Rabu (12/6/2019). Selain merendam rumah warga, banjir juga merendam dan merusak fasilitas umum seperti tempat ibadah, jembatan, sekolah, dan pasar tradisional yang ada di sejumlah wilayah terdampak. (Sumber: https://zonasultra.com/banjir-konawe-4-095-jiwa-mengungsi-di-35-tempat.html)
Kerugian ekonomi akibat banjir di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara per 10 Juni 2019 mencapai Rp 188.399.477.000. Data terkini Badan Penanggunalan Bencana Daerah (BPBD) Konawe, sejumlah infrastruktur, fasilitas pendidikan, sektor perkebunan, pertanian, perikanan rusak akibat banjir.
BENARKAH KARENA BENCANA SEMATA?
Kepala Balai Wilayah Sungai Sulawesi IV Kendari, Haeruddin C. Maddi menilai, apabila digambarkan di siklus radiologi, kata dia nampak hujan turun terus masuk, mestinya itu terjadi dua proses, ada yang masuk (integrasi) dan mengalir (run off). “Ada sekian ratus kilometer persegi sudah rusak akibat aktivitas manusia yang berlebihan, seperti illegal logging, sehingga lebih dominan run off-nya jika turun hujan, turun berlebihan maka akan menyebabkan banjir,” ucapnya, Senin (10/6/2019). (sultrakini.com, 11/06/2019)
Musibah adalah suatu kejadian yang tidak dikehendaki dan terjadi di luar dugaan manusia dan kejadian tersebut dapat berupa kesusahan atau kesenangan. Adapun banjir yang sekarang ini terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia, termasuk di Konawe, Sulawesi Tenggara, merupakan fenomena alam ketika musim hujan tiba. Namun, sebagai makhluk yang berpikir kita harus berusaha mengatasinya dengan segala daya upaya. Secara ekologis, bencana tersebut bisa diakibatkan ketidakseimbangan dan disorientasi manusia ketika memperlakukan alam sekitar. Hewan, alam, dan manusia merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Seperti ketika kita sakit, sang dokter akan memberikan resep obat yang terbuat dari bahan-bahan yang dihasilkan alam.
Selokan, seharusnya tak dipenuhi sampah yang menggunung, pembangunan gedung atau perumahan mesti menggunakan analisis dampak lingkungan (amdal), dan kawasan yang rawan bencana mestinya dilindungi oleh negara. Pejabat seperti gubernur dan bupati, seharusnya tidak memberikan izin penambangan yang mengakibatkan rusaknya alam penyebab bencana banjir. Hukum sebab akibat ternyata tidak ditanamkan dalam jiwa umat manusia. Ada saluran mampet dengan sampah menumpuk, tentunya akan berakibat pada meluapnya aliran pada saluran air itu.
Namun, hal ini tak membuat jera umat manusia membuang sampah ke sungai, sehingga yang terjadi adalah terulangnya banjir di sejumlah daerah. Banjir juga terjadi karena perilaku tak terpuji dengan merusak keseimbangan ekosistem alam, pengerukan hasil tambang dengan menghancurkan gunung-gunung dan hutan penyangga air. Banjir dalam pendekatan ekologis bukan hanya sekadar dipahami sebagai musibah atau azab dari Tuhan, melainkan juga gejala kesakitan ekologis yang diakibatkan manusia tak mengikuti hukum Tuhan. Ketika manusia merusak keteraturan tersebut, efek samping akan berubah menjadi musibah. Dan, sudah dapat dipastikan apabila musibah tersebut berasal dari ulah manusia yang eksploitatif terhadap alam sekitar, tepat rasanya kalau disebut sebagai azab.
Namun, bagaimana dengan kebijakan pemerintah yang tak bisa menyediakan pengelolaan lingkungan? Yang memberikan izin penambangan dengan alasan demi menambah pendapatan daerah, siapakah yang akan menanggung dosanya? Warga korban banjir ataukah sang pejabat? Inilah efek yang ditimbulkan ketika sistem aturan yang dipakai berdasarkan kepada kepentingan manusia, bukan dari aturan Pencipta manusia. Sistem Kapitalis Sekuler ini membuat manusia semakin berbuat sekehendak hatinya hanya untuk memenuhi nafsu semata, dengan tidak memperhatikan kepentingan yang lain.
BANJIR DALAM KACAMATA ISLAM
Dalam Islam terjadinya kerusakan di darat dan di laut ini dijelaskan dalam surat Ar-Rum: 41
"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)."
Marilah kita membuka mata, hati dan pikiran kita bahwa Islam yang merupakan rahmat untuk seluruh alam mempunyai solusi yang bisa mengatasi banjir dan genangan. Islam dalam naungan negara yaitu Khilafah tentu memiliki kebijakan efektif dan efisien. Kebijakan tersebut mencakup sebelum, ketika, dan pasca banjir sebagaimana di bawah ini:
Pertama, pada kasus banjir, negara akan memilah wilayah mana yang disebabkan karena keterbatasan daya tampung tanah terhadap curahan air, baik akibat hujan, gletsyer, dan lain sebagainya.
Kedua, Negara Islam membuat kebijakan tentang master plan, di mana dalam kebijakan tersebut ditetapkan sebuah kebijakan yaitu pembukaan pemukiman, atau kawasan baru, harus menyertakan variabel-variabel drainase, penyediaan daerah serapan air, penggunaan tanah berdasarkan karakteristik tanah dan topografinya, dengan memperhatikan konsep kepemilikan individu, umum dan swasta.
Ketiga, Khilafah akan membentuk badan khusus yang menangani bencana-bencana alam yang dilengkapi dengan peralatan-peralatan berat, evakuasi, pengobatan, dan alat-alat yang dibutuhkan untuk menanggulangi bencana.
Keempat, Khilafah menetapkan daerah-daerah tertentu sebagai daerah cagar alam yang harus dilindungi. Khilafah juga menetapkan kawasan hutan lindung, dan kawasan buffer yang tidak boleh dimanfaatkan kecuali dengan izin. Khilafah menetapkan sanksi berat bagi siapa saja yang merusak lingkungan hidup tanpa pernah pandang bulu.
Kelima, Khilafah terus menerus mensosialisasikan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan, serta kewajiban memelihara lingkungan dari kerusakan.
Keenam, dalam menangani korban-korban bencana alam, Khilafah akan segera bertindak cepat dengan melibatkan seluruh warga yang dekat dengan daerah bencana. Khilafah menyediakan tenda, makanan, pakaian, dan pengobatan yang layak agar korban bencana alam tidak menderita kesakitan akibat penyakit, kekurangan makanan, atau tempat istirahat yang tidak memadai.
Ketujuh, Khalifah sebagai kepala negara akan mengerahkan para alim ulama untuk memberikan taushiyyah-taushiyyah bagi korban agar mereka mengambil pelajaran dari musibah yang menimpa mereka, sekaligus menguatkan keimanan mereka agar tetap tabah, sabar, dan tawakal sepenuhnya kepada Allah SWT.
Itulah kebijakan negara dalam mengatasi masalah banjir. Kita harus paham selain banjir merupakan qodho (ketetapan dari Allah SWT) tetapi kita harus mengambil pelajaran yang berharga dari bencana yang terjadi.
Pada masa kejayaan Islam, Khilafah mampu menghasilkan insinyur yang mampu menangani masalah banjir, Insinyur Al-Fargani (abad 9 M) telah membangun alat yang disebut milimeter untuk mengukur dan mencatat tinggi air sungai Nil di berbagai tempat. Setelah bertahun-tahun mengukur, Al-Fargani berhasil memprediksi banjir sungai Nil baik jangka waktu pendek atau jangka panjang.
Peradaban Islam memiliki jasa yang tidak ternilai dalam mengendalikan debit air. Abu Raihan al-Biruni ( 973-1048) mengembangkan teknik untuk mengukur beda tinggi antara gunung dan lembah guna merencanakan irigasi. Abu Zaid Abdi Rahman bin Muhammad bin Khaldun Al-Hadrami menuliskan dalam kitab monumental tentang “Muqaddimah” suatu bab khusus tentang berbagai aspek geografi iklim.
Kemampuan peradaban Islam bertahan berabad-abad, bahkan terhadap berbagai bencana alam termasuk kekeringan dan banjir adalah buah sinergi dari keimanan, ketaatan kepada Syaikh, dan ketekunan mereka mempelajari sunnatullah sehingga mampu menggunakan teknologi yang tepat dalam mengelola air dan menghadapi banjir. Wallahua’lam.
Penulis
drg. Endartini Kusumastuti
(Praktisi Kesehatan Kota Kendari)