Oleh: Aning (Muslimah Peduli Umat)
Berdasarkan data statistik utang luar negeri Indonesia (sulni) sampai dengan akhir Januari 2018, total utang pemerintah sebesar Rp 3,958,66 triliun dan utang luar negeri swasta sebesar Rp 2,351,7 triliun (USS 174,2 miliar dengan kurs Rp 13,500 per dolar AS). Jika dibagi dengan rasio jumlah penduduk, maka hutang perkepala sekitar Rp 13 juta. Tapi dalam perhitungan lembaga INDEF, jika ditambahkan dengan SBN (surat berharga negara) maka total utang negara Indonesia sebesar Rp 7,839 T. Jumlah utang yang ditanggung itu jauh melampaui jumlah pendapatan negara. Total pendapatan APBN 2018 adalah sebesar Rp 1,894,7 T. Tapi mengapa pemerintah bersikap "tenang" dengan utang yang menggunung ini?
Kalau kita telaah lebih mendalam, idiologi demonstrasi dengan kapitalisme sebagai basis kekuatan yang dikembangkan didunia terutama Amerika, Eropah dan negara-negara maju, punya pengaruh yang kuat terhadap utang mi. Karena dalam demokrasi, utang telah menepati peran penting melalui mekanisme ekonomi kapitalis. Dalam konsep kapitalisme yang sudah kita pelajaran dari melalui kita sekolah sampai dengan tingkat praktisi, sudah diarahkan dan dibenamkan pemikiran kita bahwa utang mengambil peranan yang penting mulai dari penempatan modal awal yang akan digunakan untuk melalui suatu usaha sampai dengan ekspansi bisnis yang dilakukan oleh individu maupun perusahaan. Ini sudah menjadi jalan yang shohih dalam kehidupan sekarang ini. Padahal tanpa terasa didalamnya mengandung riba karena adanya perhitungan time volume of money. Kita bisa lihat hal ini dalam skala kecil industri menengah, multinasional, baik usaha biasa maupun di perusahaan dibursa hingga pemerintah.
Islam memiliki aturan yg khas dan jelas dalam pengelolaan ekonomi, fakta tersebut sangat jauh berbeda bila ditinjau dari pengelolaan perekonomian dalam islam. Islam menetapkan bahwa pemerintah wajib bertanggung jawab atas seluruh urusan rakyat. Rosulullah SAW bersabda, "pemimpin (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengusaan mereka" (HR Muslim). Ditinjau dari pemasukan negara dalam sistem pemerintahan islam, sumber-sumber pendapatannya diperoleh dari kepemilikan negara (Makkiyah Ad-Daulah) seperti 'usyur, fai, ghonimah, khoroj, jizyah, dan lain sebagainya. Selain itu dapat juga diperoleh dari pemasukan pemilikikan umum (Makkiyah Ammah). Seperti pengelolaan hasil pertambangan, minyak bumi, gas alam kehutan dan lainnya. Negara bertanggung jawab atas optimalisasi dari harta kepemilikan umum dan negara tersebut tanpa adanya liberalisasi dalam 5 aspek ekonomi, yaitu liberalisasi barang jasa, investasi, modal dan tenaga kerja trampil. Dan juga diperoleh dari zakat mall (ternak, pertanian, perdangangan, emas, dan perak). 3 pos ini mengalirkan harta baitul mall karena bertumpu pada sector produktif. Harga baitul mall itu juga selalu mengalir karena tidak terjerat utang ribawi. Dengan demikian kemandirian dan kedaulatan negara dapat terjaga dan potensi penutup kebutuhan anggaran dari utang luar negeri dapat dihindari. Namun, semua aturan ini akan sulit tercapai dan tidak mampu mengantarkan umat pada ke ridhoan Allah SWT bila masih menggunakan sistem demokrasi-kapitalis. Sungguh, hanya dengan sistem islam yang kaffah pemua permasalahan disini teratasi, baik dalam bidang perekonomian, pendidikan, sosial budaya dan lain sebagainya sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Thaha ayat 124, "siapa saja yang berpaling dari perntahku, sesungguhnya baginya penghidupanyg sempit".wallahua'lam.