Oleh : Muhlisa (Aktivis Remaja Muslimah)
Utang luar negeri (ULN) Indonesia kuartal I 2019 tercatat US$ 387,6 miliar atau sebesar Rp 5.542,6 triliun (kurs Rp 14.300). Angka ini tumbuh 7,9% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Berdasarkan data statistik utang luar negeri Indonesia (SULNI) yang diterbitkan BI kuartal I DSR atau rasio pembayaran utang secara kuartalan tercatat mengalami peningkatan sejak 2010 yakni 17,49%, kemudian pada 2011 sempat turun menjadi 12,48%, memasuki 2012 naik lagi menjadi 17,28%, pada 2013 menjadi 18,43%.
Pada 2014 rasio pembayaran utang menyentuh level 23,95%, kemudian 2015 juga pernah sampai pada level tertinggi yakni 35,35%. Kuartal I 2017 DSR tercatat 25,93%, kemudian kuartal I 2018 tercatat 26,29% dan kuartal I 2019 berada di posisi 27,96%. (detikFinance)
Peneliti INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara menjelaskan memburuknya DSR terjadi karena kinerja pemerintah yang terlalu agresif menerbitkan utang di tengah kondisi global dan domestik yang berisiko. Bima juga mengatakan, utang yang ditarik oleh pemerintah juga terbukti belum mampu menciptakan stimulus untuk perekonomian. saat dihubungi detikFinance, Sabtu (18/5/2019).
Bahkan Sri Mulyani berhitung, dengan jumlah rasio utang Indonesia sebesar 27 persen dari Gross Domestic Product (GDP) sekitar Rp13 ribu triliun, maka setiap masyarakat di Indonesia memiliki utang sebesar US$997 per kepala atau sekitar Rp13 juta. ( CNN Indonesia) sungguh fantastis bahkan jumlahnya jauh lebih tinggi dibandingkan pendapatan perkapita penduduk (GNP) Indonesia dalam setahun.
Itulah gambaran utang yang menjerat negara saat ini. Sumber daya alam melimpah yang dimiliki ternyata tidak otomatis menjamin kesejahteraan rakyatnya. Potensi dan nilai ekonomi yang tinggi dari kekayaan alam dan laut Indonesia tak lantas membuat negara mandiri secara ekonomi.
Padahal kekayaan tambangnya saja termasuk dalam peringkat 6 dunia. Miris di negara yang kaya sumber daya alam tapi lilitan utang semakin menjerat, apa yang dimiliki tak lagi bisa diandalkan karena mayoritas kekayaan alam potensialnya justru dikuasai oleh asing.
Kondisi tersebut tak mengherankan memang, karena sudah lama sistem yang dianut negeri ini adalah sistem ekonomi kapitalis. Dalam praktiknya, sistem ekonomi kapitalis akan mengutamakan perdagangan bebas, ekspansi pasar, privatisasi/penjualan BUMN, regulasi/penghilangan campur tangan pemerintah, dan pengurangan peran negara dalam layanan sosial seperti pendidikan, kesehatan dan sebagainya.
Sehingga adalah wajar jika Indonesia tidak dapat mengelola secara mandiri Sumber Daya Alam (SDA) yang dimiliki oleh negara. Jeratan ekonomi neoliberal-lah yang menyebabkan liberalisasi pengelolaan. Pembangunan dalam sistem ekonomi neoliberal, berbasis riba dan sekaligus sebagai penyangga perekonomian sebuah negara.
Dengan berhutangnya Indonesia ke luar negeri, maka secara tidak langsung akan menjadikan ketidakmandirian ekonomi dalam negaranya. Pengaturan ekonomi dalam negara akan dicampurtangani oleh swasta dan asing.
Indonesia dengan kekayaan Sumber Daya Alamnya seharusnya lebih bisa bersahaja dan lebih bisa mandiri jika Indonesia berpijak dengan kakinya sendiri tanpa harus bergantung kepada negara lain.
Tatkala Indonesia masih bergantung pada utang luar negeri, hakikatnya Indonesia membunuh dirinya sendiri. Kita bisa menyaksikan rakyat justru menjadi korban kebijakan dzalim penguasa melalui pemalakan dari berbagai sektor seperti pajak, BPJS, pencabutan subsidi BBM, kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) dan lain sebagainya.
Sudahlah himpitan dari berbagai aspek dirasakan oleh rakyat, mereka pun bahkan harus menanggung beban utang luar negeri. Hingga bayi yang baru dilahirkan pun sudah terhitung sebagai penanggung beban utang negara.
Jika Indonesia ingin menjadi negara yang kuat dan terlepas dari utang, maka Indonesia harus merombak sistem ekonomi yang diterapkan saat ini, sistem keuangan (moneter), serta sistem politik sebagai salah satu supra sistem yang harus ditata ulang.
Tentunya, perombakan sistem di sini sebagaimana pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan khulafaur Rasyidin yang mencapai puncak kejayaannya kala itu yakni penerapan sistem Islam di seluruh sendi kehidupan termasuk sistem ekonomi dan politiknya.
Berabad-abad lamanya kaum muslimin hidup dalam naungan Islam. Wahai kaum muslimin simaklah "Bahwasannya kita tidak dibangkitkan untuk menjadi penarik pajak, melainkan menjadi pemberi petunjuk".
Sistem ekonomi Islam berpijak pada beberapa asas yaitu:
Pertama, harta (kepemilikan) pada hakikatnya merupakan milik Allah Ta'ala. Sebagaimana firman Allah SWT.
"Dan berikanlah kepada mereka harta dari Allah yang telah diberikan kepada kalian." (QS. An Nur: 33)
Kedua, Pada dasarnya kepemilikan atas segala sesuatu menjadi hak seluruh manusia, bukan menjadi hak negara atau pribadi individu tertentu.
Ketiga, Penelitian atas kemujmalan beberapa dalil syara menjelaskan bahwa jenis kepemilikan dalam Islam ada tiga yaitu: Kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara.
Keempat, Menimbun harta hukumnya haram.
"Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukan kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih." (QS. At Taubah: 39)
Kelima, Peredaran (perputaran) harta itu hukumnya wajib.
"Supaya harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya saja diantara kalian." (QS. Al Hasyr: 7).
Sistem ekonomi Islam didukung oleh penerapan sistem politik Islam dan sebagainya.
Sistem Islam tidak akan memberi jalan untuk terjadinya praktek ribawi. Sebab telah jelas disebutkan dalam firman Allah Ta'ala:
"Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" (QS. Al Baqarah: 275)
Sistem Islam pun memiliki keunggulan sistem keuangannya melalui dinar dan dirham. Bahkan Islam tidak akan menjalin hubungan dengan negara-negara kafir yang jelas-jelas memerangi Islam sebagaimana yang kita lihat saat ini.
Wallahu'alam bishawab