Oleh : Eka Aryanti
( Menulis Asyik Cilacap )
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Ketua umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI), Unifah Rasidi, mengatakan tegas menolak impor guru. Ia menyebutkan impor guru ini bisa mengancam nasionalisme dan mengganggu rasa keadilan guru honorer.
"Itu (impor guru) mengancam kesatuan, nasionalisme, dan perbedaan budaya. Lebih baik angkat para guru honorer ini dan melatih profesionalisme mereka serta meningkatkan kesejahteraan mereka," ucap Unifah kepada Republika.co.id. Ahad (12/5). Lagi pula ucap dia saat ini jumlah guru di Indonesia masih sangat banyak, terutama masih banyaknya guru honorer.
Meski begitu ia menyatakan mendukung pertukaran guru antara Indonesia dengan negara lain. "Kalau konsepnya pertukaran guru untuk saling melatih, itu tidak apa-apa," ujar Unifah.
Menurut dia, saling berbagi ilmu mengajar antara guru Indonesia dengan guru di luar negeri, ini sangat baik untuk membuat cara mengajar guru lebih baik lalu menghasilkan murid-murid berkualitas pula. Apalagi, kesempatan guru yang bisa dikirim ke luar negeri jumlahnya cukup banyak.
Sebelumnya, menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) RI, Puan Maharani, mengungkapkan gagasan untuk mengundang guru dari luar negeri untuk mengajar di Indonesia. Pernyataan itu menuai kontroversi karena guru dari luar negeri itu dianggap menggantikan peran guru mengajar di kelas.
https://m.republika.co.id/amp/prelrb349
*Sistem Punya Kendali*
Persoalan kualitas pendidikan bukan hanya terletak pada manusia-manusianya tetapi lebih mendasar pada sistem yang menjadi pijakan lahirnya kurikulum pendidikan. Sudah menjadi rahasia umum jika pendidikan di Indonesia cenderung diprivatisasi, dikapitalisasi dan diswastanisasi.
Muatan privatisasi pendidikan ini terlihat dalam pasal 53 (1) UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat untuk turut serta dalam membiayai pendidikan. Nampak jelas indikasi negara berlepas tangan pada masalah pendidikan.
Alhasil, privatisasi semakin melemahkan peran negara dalam sektor pelayanan publik. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40% dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar termasuk pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga 8%. Miris !
Jika dihubungkan dengan wacana impor guru ini, maka akan tercium aroma pengabaian negara terhadap posisi guru lokal, terutama honorer. Mengingat, secara nasional kondisi Indonesia tidak kekurangan guru.
*Pendidik dalam Islam*
Dalam Islam, setiap orang dituntut untuk menjadi intelektual yang memiliki kecerdasan integral. Kecerdasan tersebut meliputi kecerdasan intelektual, spiritual, emosional dan politik. Seorang intelektual Islam perlu memiliki penguasaan tsaqofah Islam, ilmu kehidupan dan komitmen memegang prinsip dari Islam. Sehingga, orang tersebut dapat menyelesaikan seluruh masalah yang dihadapinya dalam kehidupan.
Negara benar-benar melaksanakan kewajiban syar'i-nya sebagai pengurus umat, termasuk melaksanakan perintah Allah untuk mengelola kekayaan milik umat (termasuk sumber daya alam yang luar biasa itu) semata-mata demi kesejahteraan umat, bukan diprivatisasi, dikapitalisasi atau diswastanisasi.
Sehingga, jika mutu dan kesejahteraan pendidik diperhatikan oleh negara, dengan alasan apa hendak melakukan impor guru ?
Wallahu a'lam bishawab