Oleh: Rina Yulistina
Indonesia. Negara yang mansyur akan kesuburan tanahnya, kaya akan kandungan mineralnya dan ramah penduduknya. Tak ada yang menyangkal akan fakta ini. Jauh ketika sebelum merdeka Indonesia diperebutkan oleh para penjajah. Dan setelah merdeka pun kepamoran kekayaan Indonesia tak pernah redup malah semakin mempesona.
Bagaimana tidak mempesona, pernyataan Adi Maryonodi praktisi eksplorasi Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) meneguhkan betapa kayanya negeri ini. "penemuan tambang mineral baru, rasio kesuksesan eksplorasi tambang di Indonesia cukup tinggi sekitar 8%." (kompas.com)
Itu artinya begitu banyak tambang yang berada di perut ibu pertiwi, sungguh nikmat mana yang akan kita dustakan? Begitu kayanya negeri ini, rakyat Indonesia tidur diatas tanah penuh emas, minyak, batu bara dan tambang lainnya. Hingga para investor mengincar tempat tidur itu.
Bukan rahasia umum lagi jika banyak investor dalam negeri maupun asing yang bermain di sektor tambang. Data yang diambil dari m.bisnis.com. Di tahun 2019 total PMDN (penanaman modal dalam negeri) mencapai 328,6 triliun setara 45,6% dari seluruh nilai investasi 2018. Sisanya sebesar 392,7 triliun atau 54,4% modal asing (PMA). Sektor tambang tetap menjadi primadona dikarenakan profit yang menggiurkan. Lantas bagaimana dengan rakyat yang tinggal disekitar pertambangan? Apakah mereka juga hidup nyaman dan nyenyak seperti para investor tersebut? Sayangnya tidak. Iya, hidup mereka jauh dari kata nyaman dan nyenyak.
Sebuah film dokumenter yang di upload mendekati pilpres beberapa hari yang lalu telah ditonton jutaan mata membuka tabir betapa kelamnya dunia pertambangan. Sexy killers mensajikan film dokumenter yang menyesakan dada dan deraian air mata. Betapa pilunya hidup masyarakat disekitar tambang. Tanah mereka di rampas, nyawa mereka pun melayang, lahan pencarian hidup mereka yang awalnya pertanian di rusak oleh para penambang, setelah kandungan materinya diambil lalu ditinggalkan begitu saja. Masalah amdal menjadi polemik nan pelik tanpa berujung. Ketika ditanya pertanggung jawabannya, jawabnya pun ala kadarnya.
Bahkan gubenur Kalimantan Timur Israan Nur, dintanya oleh para wartawan perihal melayangnya nyawa penduduk sekitar penambangan akibat terjebur di bekas tambang beliau menjawab "sudah takdirnya". Ketika debat pilpres pun soal tambang juga ikut di sentuh, namun jawabannya dari kedua kubu pun tak memberikan secerca harapan. Apakah seperti ini pengurusan hajat hidup rakyat dari seorang pemimpin? Bukankah di akherat kelak seorang pemimpin dimintai pertanggungjawaban atas apa yang ia pimpin?
Inilah fakta kondisi ibu pertiwi yang kaya tapi rakyatnya mati diakibatkan manusia berdasi nan rakus. Teringat sebuah ayat di dalam Al Quran "telah nampak kerusakan di langit dan di bumi disebabkan ulah tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagai dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." Ar Rum: 41. Kondisi masyarakat yang jauh dari tambang pun tak jauh beda. Rakyat tetap saja kesusahan untuk menikmati hasil perut ibu pertiwi seperti BBM, gas, listrik dan sebagainya karena harganya yang terus naik dan mahal.
Jeritan masyarakat terus terjadi di setiap sudut negeri ini, namun suara mereka tak terdengar dan tak didengarkan. Kepada siapa lagi rakyat harus bernaung ketika pihak penguasa yaitu pemerintah tak lagi berpihak kepada masyarakat malah berpihak kepada pemilik modal. Kejadian saat ini sama persis dengan perkataan Umar Radiyallahu anhu menjelasakan "Suatu negeri akan hancur meskipun dia makmur.” Mereka berkata,” Bagaimana suatu negeri hancur sedangkan dia makmur?” Ia menjawab ,” Jika orang-orang yang penghianat menjadi petinggi dan harta dikuasai oleh orang-orang yang fasik.”
Lantas menjadi sebuah pertanyaan mengapa para penguasa begitu getolnya melindungi pemilik modal yang nyata-nyata telah menyelengsarakan rakyatnya sendiri? Jawabannya ialah seorang pemilik modal tidak akan hidup makmur tanpa bantuan para penguasa di negeri ini, karena para penguasa memiliki kekuasaan untuk menerapkan aturan. Sedangkan seorang penguasa di negeri ini akan sulit menjabat ketika tidak di dukung oleh pemilik modal. Karena untuk menjadi penguasa butuh uang yang tak sedikit. Inilah wajah buruk demokrasi sesungguhnya. Bukan dari, untuk, dan oleh rakyat. Namun dari pemilik modal, untuk pemilik modal dan oleh pemilik modal.
Tentunya pemilik modal tak ingin rugi, ketika melakukan investasi yang ada di kepalanya hanya keuntungan. Pihak investor ogah mengurusi tetek bengek masalah amdal karena mengurusi masalah amdal sama saja menggelontorkan uang, itu artinya keuntungan mereka akan terpangkas. Rakyat menjadi tumbal kepentingan pemilik modal dan para penguasa negeri ini. Demi keuntungan pribadi mereka rela mengambil hak hidup orang lain, inilah rakusnya sistem kapitalis yang mencengkam negeri ini.
Sedangkan peraturan pemerintah terkait investasi dan amdal sangat longgar. Seperti yang dilansir pada laman bbc.com, Maret tahun 2018, Jokowi membuat peraturan untuk mempermudah investor untuk melakukan investasi dengan sistem perizinan terintegrasi atau single submission bahkan memberikan insentif seperti tax holiday, tax allowance untuk menarik investor. Untuk masalah amdal pun komnas HAM pun mengatakan bahwa perijinan amdal hanya formalitas semata. (mongabay.co.id). Kelonggaran seperti ini rasa-rasanya bukan atas ketidak sengajaan namun atas kesengajaan. Mana mungkin seorang pemimpin yang memiliki title pendidikan dibelakanag namanya tak mengerti soal investasi dan amdal? Sepertinya itu tidak mungkin.
Apakah akan terus menerapkan sistem busuk ini? Tidak kah kita muak dengan sandiwara ini? Keinginan rakyat akan perubahan sangat menggebu-gebu, impian memiliki pemimpin adil pun sangat terasa. Dengan seizin Allah kita akan memiliki pemimpin yang adil, namun yang perlu kita ingat pemimpin adil pun butuh dukungan sistem yang sesuai aturan Allah. Khilafah adalah tutunan Rasulullah, penerapan sistem islam telah terbukti 13 abad lamanya hingga pemerintahan Ustmani.
Permasalahan tambang bukanlah perkara yang sulit untuk diselesaikan oleh khilafah. Karena seorang khalifah atau pemimpin, dia akan tunduk dengan aturan islam. Karena di dalam islam, tambang adalah hak milik masyarakat yang tidak boleh dimilik oleh individu dan hasilnya masuk dalam kas Baitul Mal. Rasulullah bersabda, “Kaum muslim bersekutu dalam tiga hal; air, padang dan api” (HR Abu Dawud).
Sedangkan terkait amdal, tugas seorang khalifah membuktikan bahwa pelestarian alam, tak lagi masuk ranah cabang agama (furu’iyyah), tetapi merupakan prioritas utama dharuriyyat. Menjaga lingkungan, berarti mempertahankan keberlangsungan hidup berikut lima dharuriyyat meliputi agama, jiwa, akal, nasab, dan harta.