sumber gambar : google |
Ummu Zhafran
(penulis lepas)
Kejujuran itu seperti cermin. Sekali dia retak, pecah, maka jangan harap dia akan pulih seperti sedia kala. Jangan coba-coba bermain dengan cermin. (Tere Liye, penulis)
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Tenggara (Sultra) Kyai Haji Mursyidin menilai penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 yang dilaksanakan serentak sudah berlangsung transparan, jujur, adil, dan demokratis.
Terkait adanya gerakan penolakan hasil pemilu, Mursyidin mengatakan sebagai orang yang beriman perlu dipercayai adanya takdir.
“Mungkin kali ini Allah belum menakdirkan. Maka kita perlu menerima dengan penuh kesabaran, dan itulah takdir Allah yang patut kita ikuti. Mari kita berlapang dada, semoga apa yang menjadi keputusan, itulah yang terbaik bagi bangsa dan negara,” ujar Mursyidin. (zonasultra, 9/5/2019).
Sungguh pernyataan yang riskan mengingat Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) telah memutuskan Komisi Pemilihan Umum (KPU) bersalah. Atas sejumlah kecurangan yang sebelumnya dilaporkan oleh Badan Pemenangan Nasional atau BPN Prabowo Subianto - Sandiaga Uno. (tribuntimur, 17/5/ 2019).
Antara Takdir dan Ikhtiar yang Bebas Memilih
Realita tersaji perbuatan manusia dalam hidupnya senantiasa berada dalam dua lingkaran,
1. Lingkaran perbuatan yang dikuasai manusia. Artinya ini adalah aktivitas yang berada dalam batas ikhtiar manusia. Di dalamnya terdapat perbuatan – perbuatan yang timbul karna keinginannya sendiri. Seperti berjalan, makan, minum dan bepergian di saat kapan saja dia kehendaki. Di dalam lingkaran ini manusia bebas memilih perbuatan yang disyariatkan atau yang tidak disyariatkan. Dan dia akan dimintai laporan pertanggungjawaban atas perbuatannya tersebut. Karna dia memiliki akal yang dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Allah menjadikan akal sebagai sandaran pembebanan kewajiban syariat. Oleh karna itu Dia memberikan pahala terhadap pelaku perbuatan baik dan memberikan siksa terhadap pelaku perbuatan buruk.
Dalam Alquran Allah berfirman,
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya” (TQS Asy Syams: 8).
2. Lingkaran yang menguasai manusia. Di wilayah ini manusia tidak dapat menguasai dirinya tetapi dirinya terkuasai oleh kekuatan di luar dirinya, sehingga ia tidak dapat menolak. Meliputi segenap sunnatullah dan takdir yang dialami manusia dengan keadaan terpaksa (majbur) dan tak kuasa memilih (musayyar). Inilah yang dinamakan qadha. Sudah tentu tak berlaku hisab di dalamnya.
Curang, Pilihan Berbuah Hisab
Bagai petir di siang bolong, jelas bahwa terdapat banyak perbuatan yang dikuasai manusia sepanjang hidupnya. Bebas memilih antara melakukan atau tidak. Aktivitas makan makanan yang halal, minum, tidur, buang hajat adalah sebagian di antaranya. Juga memilih menang dengan jujur atau curang, adil atau zalim, bermaksiat atau taat termasuk di dalamnya. Wajar bila seluruhnya akan dihitung kelak di pengadilan Allah.
Sebagaimana firman Allah,
“Sungguh, kepada Kami-lah mereka kembali. kemudian sesungguhnya (kewajiban) Kami-lah membuat hisab atas mereka.” (TQS. Al-Ghasyiyah: 25 – 26).
Utamanya curang, secara spesifik Allah tegas memperingatkan dalam satu surah tersendiri. Firman-Nya,
“Celakalah bagi orang-orang yang curang” (TQS Al Muthaffifiin :1). Celaka di akhirat pastinya celaka pula di dunia. Sebab dalam Islam berlaku uqubat (sangsi pidana) bagi pelaku kemaksiatan yang notabene melanggar ketentuan syariat Allah dan Rasul-Nya.
Adapun sanksi yang dijatuhkan berfungsi sebagai zawajir (pencegah) yang efektif mencegah orang-orang yang hendak melakukan perbuatan dosa dan kejahatan. Fungsi tersebut dijelaskan oleh Allah SWT dalam firmannya:
“Dalam qishas (hukum balas bunuh) itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, wahai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (TQS. Al-Baqarah : 179).
Selain itu uqubat juga berperan sebagai jawabir (penebus) atas dosa dan tidak lagi mendapat siksa di akhirat kelak. Rasulullah saw. menjelaskan hal ini saat bersabda,
“Kalian berbai’at kepadaku untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anakmu, tidak membuat-buat dusta yang kalian ada-adakan sendiri dan tidak menolak melakukan perbuatan yang ma’ruf. Siapa saja menepatinya maka Allah akan menyediakan pahala; dan siapa saja yang melanggarnya kemudian dihukum di dunia maka hukuman itu akan menjadi penebus (siksa akhirat) baginya. Dan siapa saja yang melanggarnya kemudian Allah menutupinya (lolos dari hukuman dunia), maka urusan itu diserahkan kepada Allah. Jika Allah berkehendak maka Dia akan menyiksanya; dan jika Dia berkehendak maka akan memaafkannya.” (HR Bukhari).
Akhirul kalam, kehidupan dalam pandangan Islam sejatinya berdimensi dunia dan akhirat. Hidup di dunia adalah ladang bagi akhirat. Siapa saja yang menabur kejahatan hatta kecurangan di dunia niscaya menuai azab pedih di akhirat berupa neraka.
Hanya saja penerapan Islam kaffah satu-satunya yang memungkinkan uqubat di atas terlaksana. Dalam bingkai kehidupan bernegara. Sebagaimana yang diwariskan Rasulullah saw. sejak hijrah di Madinah. Pada janji Allah kita berharap, tak mustahil tegaknya syariat kan terwujud kembali melalui tangan orang-orang yang memperjuangkannya.
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada menyekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (TQS An Nuur :55).
Kembali pilihan terbentang di hadapan kita, berada di barisan pejuang atau memilih jadi pecundang yang membiarkan kemaksiatan merajalela. Wallaahu a’lam.