.
Oleh : Tri Silvia*
.
.
21-22 Mei 2019, rakyat turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasinya. Hal tersebut dilakukan sebagai ekspresi ketidaksukaan mereka atas putusan yang diambil pada pemilu kali ini. Keputusan yang dianggap melangkahi rasa keadilan rakyat, disebabkan oleh banyaknya kecurangan yang terjadi. Hal tersebut menjadi pertanda baik akan bangkitnya kesadaran umat tentang dunia perpolitikan, dan pentingnya kepedulian mengenai tampuk kekuasaan yang berlaku.
.
Jauh sebelum gerakan ini berlangsung, wacana people power memang telah santer dibicarakan di kalangan masyarakat. Pro kontra pun berdatangan, tim kajian opini tokoh pun dibentuk, disusul kriminalisasi beberapa tokoh yang dianggap berpengaruh terkait wacana ini.
.
People Power sebenarnya tak perlu terjadi dalam sistem demokrasi yang katanya Indonesia anut. Pasalnya slogan demokrasi 'Suara Tuhan Suara Rakyat', menjadikan masyarakat sebagai penguasa sentral. Dengan kata lain, apa yang diinginkan oleh masyarakat adalah wajib untuk dilaksanakan oleh Pemerintah.
.
Namun pada faktanya teori ini nol besar, Pemerintah tetap saja berdiri sebagai penguasa yang bebas melakukan apapun untuk mempertahankan kekuasaannya. Mereka melakukan berbagai cara untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Sebagaimana yang sudah disebutkan sebelumnya, bahkan mereka berani untuk mengkriminalisasi tokoh-tokoh yang menyerukan perubahan. Kebijakan ini tentunya telah menandai matinya demokrasi negeri ini.
.
Gerakan 21-22 Mei bukanlah people power yang pertama di dunia, bahkan di Indonesia sendiri. Masyarakat Indonesia tentu masih terngiang peristiwa Reformasi pada Mei 1998. Peristiwa yang menandai lengsernya rezim Soeharto saat itu yang telah 31 tahun berkuasa. Mahasiswa turun ke jalanan, berusaha untuk menyuarakan aspirasinya hingga harus bersitegang dengan aparat. Peristiwa itupun berhasil menarik perhatian banyak pihak, termasuk mereka yang memanfaatkan peristiwa tersebut dengan cara yang tidak baik. Alhasil, kerusuhan terjadi dimana-mana, penculikan, penjarahan, pemerkosaan membuat suasana semakin mencekam. Bahkan efek peristiwa itu tidak hanya terjadi di Ibukota, melainkan menyebar ke berbagai wilayah lain di Indonesia.
.
Kala itu, gedung MPR/DPR berhasil dikuasai. Reformasi pun berhasil dan rezim bisa ditumbangkan. Namun, apakah hasilnya sesuai dengan yang diinginkan para aktivis reformasi saat itu? Sungguh Jauh panggang daripada api. Apa yang diidamkan berupa negara yang adil, sejahtera, transparan, dan anti KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) pun hanya menjadi mimpi di siang bolong belaka. Tak ada yang berubah, bahkan kini Indonesia menjadi lebih tak berarti dibandingkan dulu. Tak hanya Nepotisme yang merajalela, namun penjajahan atas nama negara pun sudah ada di depan mata. Dulu korupsi dan kolusi masih bisa tertutupi dengan rapi, namun kini semua terbuka seakan tak ada sisi yang tersembunyi.
.
Gerakan 21-22 Mei telah mampu diredam oleh para petugas terkait. Berbagai skenario dan kemungkinan pun diteliti untuk dikembangkan. Banyak korban yang berjatuhan, 700 lebih orang menderita luka-luka dan 8 orang lainnya dinyatakan meninggal dunia. Pilu pun kembali menyeruak. Menahan sakit hati yang tak mampu lagi tertahankan. Akankah ada gerakan-gerakan lain setelah ini? Jika iya, bagaimana agar gerakan tersebut tak terkesan hanya sekedar mengulang sejarah masa lalu?
.
Indonesia adalah negeri dengan jumlah muslim terbesar di dunia. Oleh karena itu, ada baiknya kita melihat bagaimana metode Rasulullah SAW dan para sahabat dalam berdakwah merubah kondisi buruk yang merebak di Makkah hingga akhirnya mendirikan Daulah Islamiyah di Madinah atau Yatsrib kala itu.
.
Setidaknya ada empat poin keteladanan yang seharusnya dilakukan agar berbagai gerakan yang ada tak hanya sekedar mengulang sejarah. Pertama, cara yang digunakan adalah cara yang damai dan tanpa kekerasan. Sebab Islam adalah agama yang damai. Tak ada yang dapat diraih dengan kekerasan dan penganiayaan. Lihatlah bagaimana Rasulullah dan para sahabatnya bertahan saat berbagai persekusi terjadi di depan mata.
.
Kedua, para aktivis harus sadar sepenuhnya terkait apa yang sedang mereka sampaikan dan perjuangkan. Iman dan ketakwaan punya pengaruh besar dalam hal ini. Sebab dengannya para aktivis tidak akan mudah terprovokasi untuk berbuat yang melenceng dari tujuan utamanya.
.
Ketiga, harus memiliki tujuan yang jelas dan berdasar pada akar masalah yang sebenarnya. Hal inilah yang menjadi poin paling penting diantara ketiga poin lainnya, sebab tanpa tahu akar masalah sebenarnya, para aktivis akan mudah terjebak dengan perjuangan sia-sia. Sebab yang dilakukan hanya akan sekedar mengulang sejarah. Melihat berbagai permasalahan yang terjadi, nyatanya hal tersebut tidak hanya disebabkan oleh buruknya penguasa ataupun rezim pendukungnya. Melainkan sebab buruknya pengelolaan atas pemerintahan yang berlaku di bawah sistem yang memang sudah buruk sedari awal. Maka dari itu, para aktivis harus tahu betul bahwa tujuan gerakan harus semata-mata untuk menyingkirkan demokrasi kapitalis dan menerapkan aturan Islam secara kaffah.
.
Keempat, adalah meraih sebanyak-banyaknya dukungan para Ahlul Nusroh (tokoh berpengaruh) yang memiliki kedudukan dan mampu untuk menyingkirkan berbagai kesulitan dalam perjuangan yang dilakukan.
.
InsyaAllah dengan semua hal di atas, maka usaha untuk menghilangkan berbagai keburukan akan lebih mudah tercapai. Serta menjadikan berbagai perjuangan yang dilakukan tidak hanya sekedar mengulang sejarah. InsyaAllah.
.
"Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (QS. Al-Maidah : 50)
.
Wallahu A'lam bis Shawab
* (Pemerhati Masyarakat)