Seni Perfilman Tanpa Kebablasan

Oleh : Ilma Kurnia P, S.P (Pemerhati Generasi)

Beredar di dunia maya tentang rilisnya atau akan tayangnya sebuah film yang bergenre merusak aqidah dan cenderung mempromosikan akan suatu aktivitas yang cenderung ke ranah LGBT. Dimana dalam film yang tidak seharusnya lulus tayang karena dapat merusak moral generasi bangsa. Meskipun film ini dikabarkan mampu menorehkan sederet prestasi internasional, tapi ternyata tak bisa memuluskan publikasinya di Indonesia. Seperti diberitakan Antara, Wali Kota Depok, Mohammad Idris melalui surat bernomor 460/185-Huk/DPAPMK tertanggal 24 April 2019 menyampaikan keberatan atas penayangan film itu dan melarang penayangan film tersebut di wilayahnya. Hal ini dikarenakan film tersebut dapat meresahkan masyarakat karena bisa memengaruhi cara pandang atau perilaku masyarakat terhadap kelompok LGBT dan dianggap bertentangan dengan nilai moral agama. Idris menegaskan bahwa “Film tersebut diduga memiliki konten negatif yang dapat mempengaruhi generasi muda,”. Film tersebut akhirnya dilarang untuk ditayangkan di Depok, tetapi tidak hanya di Depok tapi juga di Kabupaten Kubu Raya. 

Alasan terbesar mengapa film-film yang menguak sisi kontroversi seperti ini masih sering dibuat? Karena menguntungkan bagi kaum-kaum sekulerisme yang menganus dan mengemban sistem kapitalisme. Karena menarik bagi kaum-kaum yang kelompok LGBT. Liat saja deretan penghargaan yang diraih film ini walaupun belum menguntungkan si produser karena keburu ada sejumlah pencekalan tayangnya. Inilah efek dari konsep hidup kapitalis yang berazas manfaat. Selama ada manfaatnya, halal-haram tidak akan dijadikan sebagai acuan. Kapitalis sekuler menyuburkan kebebasan yang akan merusak generasi dengan melalui perfilman untuk meraih keuntungan materi. Pemikiran sekuler akan yang memisahkan agama dari kehidupan memunculkan gerakan liberal. Dan ironinya ini banyak terjadi pada pemikiran orang-orang yang bergerak di bidang seni.

Seperti yang kita ketahui bahwa ketika sutradara Garin Nugroho saat mengetahui adanya bnyak penolakan muncul dengan penayangan filmnya. Menurutnya, petisi yang dibuat untuk menentang filmnya tersebut, seperti penghakiman sepihak masyarakat tanpa adanya ruang dialog dan komunikasi dua arah. Tutur Garin dalam sebuah tulisan akun Instagram nya "Gejala ini menunjukkan media sosial telah menjadi medium penghakiman massal tanpa proses keadilan, melahirkan anarkisme. Bagi saya, anarkisme massa tanpa proses dialog ini akan mematikan daya pikir terbuka serta kualitas warga bangsa," dikutip Kompas.com, Kamis (25/4/2019). Sepertinya Garin tidak mengingat jika hidup di Indonesia yang mayoritas muslim sehingga kontrol sosial masih terasa. Tema-tema LGBT alias Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender sangatlah menjadi isu yang sensitif di negeri-negeri Islam, termasuk Indonesia karena dalam Islam sangatlah jelas ini gaya hidup yang bertentangan dengan Syariat Islam. Kontrol sosial seperti ini adalah nikmat dan keberuntungan bagi orang-orang yang beriman karena masyarakat masih banyak yang peduli dalam hal penjagaan iman, tapi disisi lain ini bencana bagi orang yang memiliki prinsip liberal sekularis seperti kebanyakan para seniman yang tak mau dikekang dengan norma agama dan lebih suka dengan kebebasan dalam pengakpresiasikan seninya.

Sungguh amatlah keliru jika memandang Islam hanya sebatas agama yang mengatur segi ibadah semata. Islam justru lebih dari itu, sangat istimewa dengan kesempurnaannya karena berasal dari Dzat Yang Maha Sempurna pula, dari Allah SWT sebagai Sang Pencipta manusia dan sebagai yang menetapkan Syariat yang tepat untuk kehidupan hambanya. Dan kita manusia adalah haruslah senantiasa menyadari bahwa kita diciptakanNya di dunia dengan satu misi, yaitu untuk beribadah padaNya dan kelak akan dimintai pertanggungjawaban atas apapun yang dilakukan di dunia. Sehingga kita akan merasa selalu diawasi dan senantiasa menjalani hidup dunia dengan waspada agar apapun yang kita ucapkan, lakukan, senantiasa semata-mata bentuk ibadah. Karena ini sudah konsekuensi kita sebagai seorang mukmin yang beriman padaNya. Dengan demikian sistem Islam memandang keberadaan seni bukan sekedar hiburan, namun alat/sarana dakwah dan pendidikan untuk mencerdaskan umat/generasi dengan Islam. Sehingga seni harus dipastikan tidak melanggar Syariat. Kesenian peninggalan masa lalu, jika tidak sesuai Syariat, tentu tidak akan diberi ruang untuk berkembang lebih jauh lagi. Bahkan akan dilenyapkan sampai ke akar-akarnya karena berpotensi merusak akidah umat. Dengan demikian seni beraliran liberal tidak akan pernah muncul, walau dengan dalih sebagai bentuk kebebsan berekspresi. Wallahua’lam bish shawab...

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak