sumber : google pic |
Wulan Amalia Putri, SST
(Staf Dinas Sosial Kab. Kolaka)
Film karya Garin Nugroho, “Kucumbu Tubuh Indahku” gagal tayang di beberapa bisokop. Film ini di boikot beberapa pihak lantaran diduga mengandung unsur yang melegalkan LGBT. Tayangan ini bercerita tentang unsur seksualitas dan bagaimana seseorang menyintas trauma tubuhnya, yang berkaitan dengan tradisi.
"Film 'Kucumbu Tubuh Indahku' kisahnya berbasis tentang penari lengger di Banyumas yang di dalam dirinya ada maskulin dan feminin. Dan tentang trauma tubuh, semua orang punya trauma," jelas Garin Nugroho pada hot.detik.com, 30 april 2019.
Berbasis tentang Penari Lengger di Banyumas, kisah film ini bercerita tentang kisah hidup (Coming of Age) tokoh bernama Arjuno atau akrab disapa Juni (Muhammad Khan). Dalam fil dijelaskan bahwa nama Lengger berasal dari kata ‘leng’ yang berarti lubang (sebagai simbo feminimitas) dan ‘ngger” dari kata jengger ayam jago (sebagai simbol maskulinitas). Kehidupan pahit Juno membuatnya memiliki trauma tersendiri. Juno merasakan ada ketaksaan seksualitas dalam dirinya, ia merasa jiwa femininnya terjebak dalam tubuh yang maskulin.
Seni Jadi Kontroversi
Adegan-adegan yang mungkin tampak vulgar menjadi kontroversi di tengah publik. Petisi untuk memboikot film ini menyeruak dan menjadi buah bibir. Kontroversi semacam ini bukan Cuma sekali dua kali terjadi di jagat perfilman. Sebut saja film Cinta Tapi Beda karya Hanung Bramantyo, Buruan Cium Gue ataupun film Tanda Tanya yang juga dicekal karena dianggap melanggar norma masyarakat, menyinggung agama terntentu atau karena mengandung konten pornografi.
Perihal pornografi dan pornoaksi sepertinya masih menjadi wilayah abu-abu (grey area) jika disandingkan dengan seni. Bagi sebagian orang, seni identik dengan kreativitas tanpa batas yang tidak berkaitan dengan norma atau nilai apapun. Seni yang identik dengan ekspresi seringkali menuai banyak kontroversi. Tidak heran, ketika RUU Pornografi dibahas di parlemen, sejumlah tokph seni dan industri kreatif yang tergabung dalam Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) menyatakan sikap menolak. Menurut mereka, pengesahan RUU Pornografi akan mengancam kehidupan dan kebhinekaan budaya di Indonesia serta mengekang kebebasan berekspresi dalam seni budaya Indonesia.
"Kami merasa sumber kreativitas kami adalah keragaman budaya Indonesia tapi UU ini mengancam keberagaman budaya itu. Pembahasan RUU ini tidak transparan dan penolakan sudah datang dari banyak daerah. RUU ini dapat menyebabkan perepecahan bangsa," ujar Ketua DKJ Marco Kusumawijaya dalam pernyataan sikap DKJ. (kompas.com, 26/09/08)
Seringkali dikatakan bahwa seni adalah sesuatu yang sulit untuk diukur. Karenanya, perihal baik dan buruk akan diserahkan pada kontrol diri (self-controlling) yang dimiliki tiap orang. Namun, apakah hal ini yang memang terjadi di tengah-tengah masyarakat?
Pada kenyataannya, tidak ada suatu gambar, garis atau bahkan titik yang tidak memiliki makna. Setiap orang bisa memiliki suatu interpretasi tersendiri tentang gambar, garis atau titik tersebut. Persoalannya, dalam kehidupan kapitalis, interpretasi orang bisa menjadi sangat liar. Satu gambar atau kumpulan garis yang berbentuk huruf “V” saja bisa diinterpretasikan sangat vulgar oleh pecandu gambar atau film porno. Bukan rahasia umum lagi bahwa bentuk potongan celana atau merk rokok tertentu yang disimpan di saku belang bisa menjadi kode bagi kaum LGBT.
Menurut KPAI, sejak 2011 sampai 2014, jumlah anak korban pornografi dan kejahatan online telah mencapai 1.022 anak. Dari jumlah tersebut, 28% anak menjadi korban pornograsi secara offline dari materi seperti foto atau gambar. Penelitian lain juga hampir senada dan terus meningkat setiap tahunnya. Jadi, menyerahkan pemaknaan suatu seni, jenis apapun itu, pada interpretasi masing-masing orang akan sangat berkaitan dengan ideologi yang menjadi dasar berkembangnya suatu pemikiran dan interpretasi.
Pengarahan seni pada konten tradisi yang bisa saja membawa efek trauma pada tubuh juga tentunya harus dikaji terlebih dahulu. Meminimalisir terjadinya suatu interpertasi yang berbeda dari apa yang dimaksudkan oleh sang pembuat film. Sangat penting untuk menjaga arah penafsiran masyarakat terhadap suatu seni dengan melahirkan seni yang sehat dan syar’i.
Sarana Penyebaran Islam
Manifestasi seni, bagaimanapun definisinya, tidak keluar dari 3 (tiga) aspek, yakni: Pertama,konsep (al afkaar), yaitu ide-ide mengenai seni. Misalnya, ide-ide dalam buku Concepts of Modern Art : From Fauvism to Modernism, sebuah antologi artikel seni karya Nikos Stangos (sebagai editor), yang membicarakan konsep dan perkembangan seni sejak tahun 1990 hingga saat ini di AS dan Inggris. Atau buku The Legal Concept of Art karya Paul Kearns, yang membicarakan aspek hukum untuk karya seni, seperti hak cipta.
Kedua, aktivitas (al af’aal), yaitu aktivitas atau perbuatan seniman dalam rangka menghasilkan karya seninya. Misalnya, kegiatan seorang perupa yang sedang melukis, atau kegiatan seorang pemain sinetron yang sedang syuting, atau kegiatan seorang pematung yang sedang membuat patung, dan sebagainya.
Ketiga, karya seni (al asy-yaa`), yaitu hasil dari kegiatan seniman berupa materi-materi yang dapat diindera manusia. Misalnya, lukisan, patung, film, video game, CD, busana, asesoris, dan sebagainya. Berbagai karya seni ini lalu dianggap sebagai “harta” (al amwaal) yang kemudian dikomersialkan dalam kegiatan industri dan perdagangan di tengah masyarakat.
Bagi seorang seniman, ketiga aspek seni tersebut akan disikapi dan diperlakukan secara berbeda bergantung pada pandangan hidup (weltanschauung) atau ideologi (mabda`) yang menjadi keyakinannya. Dalam ideologi Islam, seni dan agama tidak boleh dipisahkan. Seniman beriman tidak memilah lagi mana ranah seni dan mana ranah agama.
Mengapa? Karena Aqidah Islam yang diyakininya telah mewajibkan dia untuk tunduk pada Islam dalam segala perbuatannya, tidak peduli lagi perbuatan itu terkategori dalam bidang kehidupan yang mana. Baginya, segala sesuatu urusan hidupnya wajib ditundukkan pada agamanya, baik itu urusan ibadah, urusan politik, maupun urusan lainnya, termasuk urusan seni dan kegiatan berkesenian.
Maka dari itu, seniman yang seperti ini tidak akan melukis objek yang bernyawa, karena aktivitas itu telah diharamkan dalam agama Islam. Lebih-lebih lagi dia tidak akan melukis objek manusia yang telanjang, karena Islam telah mengharamkan melihat aurat orang lain, baik aurat laki-laki maupun aurat perempuan.
Secara ringkas, seniman muslim yang sejati akan menundukkan seni dan kegiatan berkeseniannya pada Syariah Islam, dalam semua aspeknya, baik itu dalam hal konsep (al afkaar), dalam kegiatan berkesenian (al af’aal), maupun dalam perlakuan terhadap karya seni (al asy-yaa`) sebagai harta (al amwaal) yang ditransaksikannya dalam kegiatan bisnis.
Islam memandang seni sebagai sarana dakwah untuk penyebarluasan Islam. Sebagaimana yang terjadi di Indonesia, dakwah juga mengalir dalam syair-syair yang dialntunkan bersama gamelan, gendang ataupun seruling. Islam tidak anti pada seni. Perkembangan seni terjadi pada masa daulah Bani Umayyah, terutama pada seni suara, seni rupa dan seni bangunan (arsitektur).
Pada masa Daulah bani Umayyah, kaum muslimin mencapai kemajuan di berbagai bidang, baik bidang politik, ekonomi, sosial maupun ilmu pengetahuan. Karena itu, kosakata bahasa semakin bertambah dengan kata-kata dan istilah baru yang tidak ada pada zaman sebelumnya. kota Basrah dan Kufah menjadi pusat perkembangan ilmu dan sastra (adab), berkembang pula ilmu tata bahasa (ilmu nahwa dan Sharaf dan ilmu Balaghah serta banyak lahir penyair terkenal. Dalam seni rupa, berkembang pula seni ukir dan seni pahat. Banyak penggunaan khat arab (kaligrafi) sebagai motif ukuran yang muncul paada ragam hias mulai pilar, tembok dan langit-langit.
Pada seni suara, di zaman daula Bani Umayyah muncullah Qira’’atul Qur’an dan Qasidah. Sedangkan pada seni aarsitektur, antara lain bisa dilihat pada banguna di kota Damaskus, Kota Kairuwan dan kota Al-Zahra yang sangat indah. Demkian pula pada benteng-benteng pertahanan di masa itu yang tidak hanya digunakan untuk bertahan tapi juga untuk menikmati keindahan.
Demikianlah seni memiliki ruang dalam islam. Bukan untuk menyebarkan kepornoan atau LGBT tapi menjadi saran melihat keagungan sang Pencipta, Allah SWT. Seni menjadi saran penyebaran dakwah, menjaga ummat dari pornografi dan sejenisnya. Berdasarkan semua penjelasan di atas, jelaslah bahwa bagi seorang muslim pada umumnya, dan seniman muslim pada khususnya, wajib tunduk pada Syariah Islam, karena keimanannya kepada Islam telah mewajibkan dia untuk tunduk pada Syariah Islam, dan karena syariah Islam adalah standar (miqyaas, criterium) yang sahih baginya untuk menilai mana yang baik dan mana yang buruk. Dan islam akan membawa manusia pada kebaikan, bukan keburukan. Wallahu a’lam bishawwab.