Oleh : Siti Mariani
(Ibu rumah tangga)
Kertabuana adalah sebuah desa yang berada di kecamatan Tenggarong Seberang atau kira-kira berjarak 12 kilometer dari ibu kota kecamatan. Sebelah barat berbatasan dengan kecamatan Tenggarong sementara di selatan berbatasan dengan kota Samarinda.
Dahulu pada tahun 1980 sekitar 250 kepala keluarga asal provinsi Bali berrbondong-bondong mengikuti progam transmigrasi dan bermukim di Kutai Kartanegara, dulu lokasinya bernama L4 dan sekarang diberi nama Kertabuana.
Mereka membuka hutan dan bersusah payah menjadikan hutan menjadi sawah dan ladang yang sangat subur. Pengairan untuk sawah pun ada karna didukung dengan wilayah pegunungan, disana mereka bercocok tanam padi dan palawija, hingga ditahun 1991 Kertabuana digadang- gadang akan menjadi lumbung padi di Samarinda dan Kaltim pada khususnya, karena hasil panen yang sangat memgembirakan dengan sekali panen mencapai 2600 ton.
Tetapi 10 tahun kemudian, sekitar tahun 1990 ketika perusahaan tambang mulai masuk di desa, dan menghancurkan jalur air untuk sawah warga. Secara drastis kehidupan warga pun mulai berubah. Jangankan air untuk mengairi sawah, untuk konsumsi sehari-hari pun sudah susah airnya keruh dan untuk pengairan sawah hanya mengandalkan air hujan dan air tambang yang membawa serta endapan lumpur.
Kemana Harus Mengadu?
Protes dengan keadaan ini bukan tidak pernah dilakukan. Salah satu warga Kertabuana yaitu Nyoman Dirman, pernah melakukan protes dengan menghadang alat berat. Namun kemudian Nyoman ditangkap dan dipenjara 3 bulan dengan alasan mengganggu operasional perusahaan. Setelah Nyoman dibui, perusahaan semakin leluasa beroperasi hingga wajah desa Kertabuana seperti hari ini.
Kini Nyoman bersama putra tertuanya Ketut berkebun menanam timun, Ketut kuliah di fakultas hukum karna dapat beasiswa dan kasus yang menimpa ayahnya adalah alasan pertama ia ingin menjadi sarjana.
Sore itu angin berpihak pada bapak dan anak tetapi tak setiap anak beruntung bisa bermain layang-layang sebagian diantaranya mati muda akibat tenggelam di bekas galian tambang batu bara yang seharusnya direklamasi atau ditimbun kembali.
Cerita lainnya datang dari ibu Rahmawati. Sejak putranya Rehan Saputra meninggal, ibu Rahmawati masih memendam kecewa dengan reaksi Pemerintah dan perusahaan yang menganggap perkara ini sebagai kasus kemalangan biasa. Padahal salah satu lokasi penambangan berdekatan dengan pemukiman warga bahkan persis dibelakang sekolah.
Energi batu bara menuntut pengorbanan dari warga sekitar, November 2018 di Sanga Sanga kabupaten Kutai Kartanegara setidaknya 5 rumah hancur 11 lainnya rusak dan jalan utama amblas akibat aktivitas penambangan yang terlalu dekat pemukiman dan fasilitas umum. 41 jiwa terpaksa mengungsi.
Antara tahun 2011 sampai tahun 2018 tercatat setidaknya ada 32 jiwa melayang akibat tenggelam di lubang bekas galian tambang hanya diprovinsi Kalimantan Timur. Secara Nasional antara tahun 2014 hingga tahun 2018 jumlah yang tewas mencapai 115 jiwa.
Derita yang Takkan Pernah Usai
Saat ini diperkirakan ada 3500 lubang bekas galian tambang yang menurut aturan lubang ini harusnya ditimbun kembali atau direklamasi. Perusahaan bahkan diminta menyetor sejumlah uang jaminan untuk biaya reklamasi. Namun ini bukan semata tentang perusahaan yang melanggar aturan atau korupsi uang jaminan melainkan aturan paska penambangan sendiri yang juga bermasalah
Bahkan hasil rapat dari para pengusaha-pengusaha pemilik tambang pun ketika diminta pertanggung jawabannya terkait lubang bekas galian tambang, mereka hanya memiliki ide/wacana tetapi tidak di realisasikan.
Menurut peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Peraturan Daerah Kutai Kartanegara jarak minimal antara penambangan dan fasilitas umum adalah 500 meter. Namun aturan ini tak selalu berlaku dilapangan.
Semua kisah di Borneo ini adalah harga yang harus dibayar untuk menerangi rumah-rumah dan menggerakkan industri di pulau lain, terutama di Jawa. Mereka yang meninggalkan tanah leluhurnya di Jawa dan Bali untuk mengadu nasib sebagai transmigran di Kalimantan, kini mereka menghadapi kehidupan yang tak pasti.
Apa yang terjadi di Negeri Borneo ini hanya sekelumit cerita yang merupakan bagian dari dampak sistemik diterapkannya sistem Demokrasi Liberalisme. Sistem yang memberikan kebebasan kepemilikan bagi para kapital untuk menguasai aset-aset rakyat. Lantas, masihkah kita tetap berharap pada sistem yang rusak ini?