Oleh : Lailatul Tilawah
Sekitar sebulan berlalu pasca pemilu serentak indonesia pada tanggal 17 April 2019 lalu, meninggalkan duka mendalam bagi masyarakat. Ini disebabkan karena banyaknya panitia penyelenggara pemungutan suara dalam pemilu 2019 yang meninggal. Menurut data yang dimiliki Komnas HAM sebanyak 577 petugas penyelenggara pemilu meninggal dunia. Komnas HAM sendiri telah membentuk tim pemantauan pilpres dan pileg untuk mendalami penyebab meninggalnya para penyelenggara pemilu (kompas.com).
Beberapa waktu lalu viral di media sosial seperti
dilansir tamshnews.com, salah seorang korban yang menjadi anggota KPPS di jawa barat meninggal karena di dalam tubuhnya ditemukan zat kimia C11H26NO2PS. Senyawa tersebut dinyatakan merupakan senyawa golongan organofosfat yang sangat beracun dan berdampak sangat mematikan.
Memang selama ini berita yang tersebar bahwa penyebab kematian karena faktor kelelahan, namun hal itu dibantah oleh salah seorang dokter saraf yang selama 22 tahun praktek tidak pernah menemukan faktor kelelahan menjadi penyebab orang meninggal apalagi jumlah korban yang meninggal bukan satu dua orang tapi ratusan orang.
Apa yang kita saksikan dalam sistem demokrasi yang dieluk-elukan ternyata menjadi monster menakutkan. Bagaimana tidak, korban jiwa yang meninggal tidak main-main bahkan bisa dikatakan korban yang meninggal mengalahkan banyaknya korban bencana alam. Pemilu 2019 akan tercatat dalam sejarah indonesia sebagai pemilu paling kacau bahkan brutal. Bagaimana bisa sebuah pemilu mampu menelan korban jiwa lebih dari 500 orang?
Demokrasi yang kita ketahui bersama menjadi ajang perebutan kekuasaan. ini pun menarik berbagai kalangan untuk berkompetisi meraih kursi masuk parlemen, berlomba-lomba alih profesi menjadi calon legislatif, termasuk dari kalangan artis-artis ibu kota dengan mewakili partai mereka masing-masing. Kehadiran publik figur ternyata lumayan meraup suara karena ketenaran mereka. Apakah orang-orang yang alih profesi ini mampu mengemban amanah sebagai wakil rakyat? karena amanah harus diberikan kepada orang yang memiliki kemampuan di bidang itu.
Begitulah gambaran sistem demokrasi, tidak akan ada orang yang sungguh-sungguh melakukan pekerjaan karena mendapatkan ridho Allah melainkan karena kepentingan tertentu. Semestinya dengan gambaran rusaknya sistem buatan manusia menjadikan kita sadar bahwa hanya dengan sistem islam lah, masyarakat terutama pemimpin akan melakukan sesuatu demi mendapatkan ridho dari Allah SWT. Apalagi saat ini kita berada di bulan ramadhoan, bulan kemuliaan dan keberkahan dari Sang Pencipta. Karena di bulan ramadhan pula Allah memberikan pertolongan berupa tegaknya islam yang menjadi sistem yang mengatur kehidupan umat islam pada saat itu.
Seorang pemimpin di masa Islam, memahami bahwa tanggung jawab itu dunia akhirat. Artinya di dunia dia bertanggung jawab atas nasib rakyat. Dia wajib menjaga agama rakyatnya supaya tetap dalam tauhid dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Dia juga wajib memelihara agar urusan sandang, pangan, dan papan rakyatnya bisa tercukupi. Demikian juga kebutuhan kolektif mereka seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan terjaga. Mereka juga paham bahwa tanggung jawab mengurus urusan rakyat ini akan dimintai pertanggungjawabannya hingga ke akhirat.
Rasulullah Saw. menegaskan dalam sebuah Hadits, “Tidaklah seorang manusia yang diamanahi Allah SWT untuk mengurus urusan rakyat lalu mati dalam keadaan dia menipu rakyatnya melainkan Allah mengharamkan surga bagi dia.”(HR. Bukhari).
Khalifah Umar r.a, pernah berkata : “Aku sangat khawatir akan ditanya Allah SWT kalau seandainya ada keledai terpeleset di jalanan di Irak, karena aku tidak sediakan jalan yang rata”. Ungkapan tersebut menunjukkan kesadaran khalifah Umar bin Khaththab yang sangat tinggi terhadap nasib rakyatnya. Kalau keledai jatuh saja beliau sangat takut, apalagi bila manusia yang jatuh akibat jalan yang tidak rata.
Begitulah, ketika sistem Islam diterapkan secara sempurna sebagai panggilan akidah, kita akan menemukan berbagai kebaikan, kesejahteraan dan keadilan serta kepedulian para pemimpin. Kitapun akan melihat pemimpin-pemimpin yang dicintai dan mencintai rakyatnya yang kemudian bersama-sama mencintai Allah SWT. dan Rasul-Nya, serta saling berwasiat dalam ketaqwaan dan saling menasehati dalam kesabaran.
Jika seorang penguasa bertakwa kepada Allah, takut kepadaNya dan selalu merasa terawasi oleh-Nya dalam keadaan rahasia dan terang-terangan maka semua itu akan mencegahnya bersikap tirani terhadap rakyatnya. Meskipun demikian, takwa tidak menghalanginya bersikap tegas dan disiplin. Karena, dalam penjagaannya terhadap Allah, dia senantiasa berpegang pada perintah dan larangan-Nya.
Allah memerintahkan seorang penguasa untuk bersikap lemah lembut dan tidak menyusahkan rakyatnya. Diriwayatkan dari Aisyah : Aku mendengar Rasulullah saw bersabda : “Ya Allah, barangsiapa memimpin umatku, lalu ia menyusahkan mereka, maka susahkan dia. Barangsiapa memimpin umatku lalu dia bersikapmlemah lembut terhadap mereka, maka bersikaplah lemah lembut terhadapnya.“ (HR Muslim).
Allah pun memerintahkan seorang penguasa agar menjadi pemberi kabar gembira dan agar dia tidak menimbulkan antipati. Diriwayatkan dari Abu Musa, dia berkata: dulu Rasulullah Saw jika mengutus seseorang dalam suatu urusan, beliau bersabda : “Berilah kabar gembira dan jangan menimbulkan antipati. Mudahkanlah dan jangan mempersulit”.
Demikianlah gambaran seorang pemimpin yang diperintahkan oleh Allah sebagaimana dicontohkan Rasulullah Saw dan dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin. Ini semua akan dapat kita saksikan dalam sistem Khilafah yang menerapkan syariah Islam secara kaaffah
Wajib bagi kita memperjuangkan apa yang Rasulullah SAW dan para Khulafaur Rasyidin perjuangkan dimomentum ramadhan untuk meraih kemenangan.
Allahu a’lam bi ash-shawab.