Oleh: Ariani Percawati
Member Akademi Menulis Kreatif Regional Bandung
Marhaban yaa Ramadhan, Selamat datang ramadhan. Tamu agung kedatangannya selalu dinanti oleh seluruh kaum Muslimin di seluruh dunia. Ramadhan adalah bulan istimewa, bulan penuh berkah dan ampunan, seluruh dosa diampuni, pintu-pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup dan syetan-syetan dibelenggu. Bulan yang di dalamnya terdapai satu malam yang lebih baik dari seribu bulan, yaitu malam Lailatul Qadar. Semakin istimewa karena di bulan ramadan juga diturunkan Al-Quran kepada Rosululloh SAW. Pedoman hidup bagi manusia, yang menjadi sumber kebahagian di dunia dan akhirat.
Dengan berpuasa satu bulan penuh, tentu kita sangat berharap bisa meraih predikat taqwa. Ketaqwaan yang hakiki pada diri kita. Sebagaimana yang Allah kehendaki:
“Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana puasa itu pernah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa (TQS Al Baqarah{2]:183)
Jika umat ini melaksanakan ibadah puasa dengan benar, sesuai tuntunan Al Quran dan As Sunnah dan ikhlas semata-mata hanya mengharap ridho Allah SWT niscaya taqwa sebagai hikmah puasa akan dapat terwujud.
Apa yang dimaksud dengan taqwa? Imam ath-Thabbari menafsirkan antara lain mengutip Al-Hasan yang menyatakan,
“Orang-orang bertaqwa adalah mereka yang takut terhadap perkara apa saja yang telah Allah haramkan atas diri mereka dan melaksanakan perkara apa saja yang telah Allah titahkan atas diri mereka.” ( Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan li Ta’wil Al Quran).
Melaksanakan rukun Islam dan rukun Iman, menginfakkan harta disaat lapang dan sempit, beramar ma’ruf nahi munkar, berdakwah, mudah memaafkan orang lain, segera bertaubat bila melakukan dosa, dan masih banyak lagi ciri-ciri takwa yang dijelaskan dalam Al Quran dan As Sunnah.
Dengan demikian jika takwa adalah buah dari puasa ramadhan yang dilakukan oleh setiap Mukmin, maka sudah seharusnya seusai ramadhan setiap Mukmin senantiasa berupaya menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dengan mengamalkan seluruh syariah-Nya, baik terkait aqidah dan ubudiah ( makanan, minuman, pakaian dan akhlak), muamalah (ekonomi, politik, pendidikan, pemerintahan, sosial, budaya dll), maupun uqubat (sangsi hukum).
Bukan taqwa namanya jika seorang Mukmin terbiasa melakukan shalat, puasa ramadhan, bahkan menunaikan ibadah haji, tetapi Ia masih memakan riba, korupsi, melakukan suap, berkata dusta dan mengabaikan urusan umat. Jika individu taqwa, masyarakat taqwa maka pemimpinpun harus bertaqwa. Pemimpin yang bertaqwa adalah pemimpin yang amanah, yang setiap tindakannya berpegang pada Al Quran dan As Sunah, mencintai rakyat dan berusaha menerapkan syariat Islam kaffah sebagai wujud ketaatannya kepada Allah SWT.
Wallahu a’lam bi ash-Shawwab.