Oleh:
Milna Hijriani
Istimewa, itulah yang melekat pada bulan Ramadan bagi setiap umat islam. Bagaimana tidak, di bulan yang diwajibkan berpuasa yang merupakan rukun islam ke-4 ini, semakin istimewa karena merupakan bulan diturunkannya Al-Qur'an. Bulan penuh pengampunan dan keberkahan, bulan terbukanya pintu surga dan tertutupnya pintu neraka. Serta segala amalan akan dilipatgandakan pahalanya. Maka tak heran umat islam makin meningkatkan segala ibadahnya di bulan ini, agar semakin dekat pada ketaatan dan jauh dari kemungkaran hingga meraih tujuan tertinggi berpuasa, yakni ketakwaan. Sebagaimana firman Allah swt.
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah: 183)
Namun, puasa nyatanya bukan hanya menahan diri dari lapar dan dahaga. Puasa ramadan justru mampu meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah seorang muslim. Perkataan, pendengaran, dan penglihatan umat islam terjaga seiring puasa yang dilakukan. Kesadaran mereka semakin tumbuh, kewaspadaan mereka semakin meningkat untuk beramar ma'ruf nahyi munkar. Hal ini juga membuktikan bahwa puasa yang dilakukan umat islam di seluruh dunia ini telah menjadi junnah atau perisai bagi masing-masing individu yang melindungi mereka dari perbuatan maksiat.
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Puasa adalah perisai, jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa janganlah berkata keji dan berteriak-teriak, jika ada orang yang mencercanya atau memeranginya, maka ucapkanlah, ‘Aku sedang berpuasa.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ternyata tidak hanya bagi individunya saja, keseluruhan umat islam akan memiliki perisai ketika setiap individunya telah menuju ketakwaan karena junnah yang telah terpasang dalam dirinya. Kesatuan junnah setiap muslim ini melahirkan junnah yang lebih besar. Junnah yang bukan hanya melindungi seorang muslim saja namun yang melindungi seluruh umat islam, bahkan seluruh dunia.
Akan tetapi penting untuk disadari, bahwa untuk membangun junnah dengan ketakwaan individu, perlu peran negara untuk menghadirkan situasi dan kondisi yang mengantarkan individu menuju ketakwaan. Contohnya menutup aurat, perlu peran negara untuk memastikan setiap wanita muslim menutup auratnya, selain untuk meningkatkan keimanan kaum wanita karena telah melaksanakan kewajibannya, juga menjaga pandangan para lelaki. Akhirnya tak hanya ketakwaan individu, namun kumpulan individu yang telah meraih ketakwaan ini bersatu menjadi keluarga yang takwa, dan kumpulan keluarga yang takwa ini menciptakan masyarakat yang takwa, kesatuan umat yang penuh dengan ketakwaan.
Bisa kita bayangkan jika tidak ada negara yang menerapkan aturan islam. Maka ketakwaan individu menjadi sulit untuk diraih karena warna-warni ideologi liberal dan kapitalis yang menodai pemikiran umat islam, sehingga mampu menjauhkan cara hidup sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah. Gaya hidup berganti menjadi gaya hidup hedonisme yang kian merentangkan jarak individu menuju ketakwaan.
Individu tak segan memakai nama islam dalam identitasnya namun meninggalkan apa yang menjadi kewajibannya. Tak segan pula untuk meniru tindak tanduk kaum kafir yang bertentangan dengan agamanya.
Jika ketakwaan individu tak dapat diraih, bagaimana pula ketakwaan umat akan terjalin?
Maka tidak boleh tidak, negara harus ada untuk memastikan setiap individu dapat menjalankan aturan islam secara kaffah. Negara pula yang akan melindungi setiap individu dari kezaliman karena ada sanksi yang telah ditetapkan bagi setiap aturan islam yang dilanggar. Inilah yang menciptakan ketakwaan individu hingga menjadi ketakwaan umat yang akhirnya menjadi perisai kokoh bagi individu dan umat secara keseluruhan.