Oleh : Alin FM
(Praktisi Multimedia)
Petemuan kedua forum kerjasama internasional One Belt One Road Inititive (OBOR) kedua telah dilaksanakan pada tanggal 25-28 April 2019 bertempat di Beijing, Pertemuan ini dihadiri oleh lebih 37 negara termasuk Indonesia. Sejumlah pebisnis Indonesia menandatangani kesepakatan One Belt One Ring (OBOR) dengan pemerintah Cina untuk pengembangan 23 sektor usaha, Jumat pekan lalu. Penandatanganan kerja sama dengan skema Business to Business (B to B) yang disaksikan Pemerintah Indonesia itu akan difokuskan pada empat koridor yakni Sumatera Utara, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara serta Bali. (www.tirto.id,29/04/2019)
Jika dianalisa proyek OBOR Cina bisa timbulkan jebakan utang baru. Skema perjanjian One Belt One Road atau Belt and Road Inisiative (BRI) dengan pemerintah Cina dinilai bakal menimbulkan tiga kerugian tak langsung bagi negara-negara terkait.
"Pertama, BRI akan menjebak negara-negara mitra dalam jebakan utang ke Cina. Jebakan utang ini sebelumnya telah melilit negara yang menyepakati BRI dengan Cina, seperti Sri Lanka dan beberapa negara lainnya di Afrika. Dengan skema goverment to govenrment atau g to g yang ditawarkan, Cina menjadi pemodal Sri Lanka untuk membangun Pelabuhan Hambantota di pantai selatan. Cina pada 2017 menggelontorkan duit pinjaman senilai US$ 1,5 miliar. Namun perjanjian ini berujung mudarat bagi Sri Lanka lantaran negara itu harus menyerahkan pelabuhannya kepada Pemerintah Cina lantaran tak bisa melunasi utang.
Utang yang tidak terbayarkan itu berjumlah US$ 8 miliar. Nilai utang ini setara dengan lebih dari 90 persen pendapatan domestik bruto rakyat Sri Lanka. Dengan demikian, pemerintah Sri Lanka mesti menyerahkan sekitar 50 persen saham pelabuhan kepada Cina dan harus melayani perusahaan milik Negeri Tirai Bambu itu selama 99 tahun. Meski Indonesia menandatangani perjanjian dalam skema business to business, Yuyun memprediksi bukan tak mungkin pemerintah akan memberikan jaminan terhadap swasta( www.indonesiainside.id, 29/04/2019).
Kedua, dengan adanya perjanjian ini adalah pemerintah menjadi tidak peka terhadap lingkungan hidup dan iklim. Dari 28 Proyek senilai Rp 1,296 triliun yang ditawarkan Pemerintah Indonesia, masih ada proyek-proyek listrik energi kotor batubara. Di antaranya PLTU batubara berkapasitas 1.000 megawatt di Kawasan Industri dan Pelabuhan Internasional Tanah Kuning, Kalimantan Utara. Selain itu, PLTU Celukan berkapasitas 2x350 megawatt dan PLTU Mulut Tambang di Kalimantan Selatan-Tengah 3 dan 4, masing-masing berkapasitas 2x100 megawatt. 42 persen di antaranya merupakan proyek kotor batubara yang tidak ramah lingkungan. Proyek itu, ujar dia, telah bertentangan dengan Kesepakatan Paris yang ditandatangani sejumlah negara tentang perubahan iklim dan pelestarian lingkungan.
Ketiga, proyek-proyek besar yang ditawarkan Indonesia untuk kesepakatan pendanaan BRI berpotensi korupsi. kasus PLTU 1 Riau yang melibatkan Direktur Utama PLN Sofyan Basir tercium praktek korupsi.
Proyek Ambisius China
OBOR merupakan proyek pemerintah China untuk membangun kejayaannya melalui upaya penyambungan urat nadi perdagangan dunia. Sebuah proyek membangun megainfrastruktur dalam rangka memperkuat fasilitas perdagangan, dengan fokus pada penghapusan hambatan dagang (trade barriers), guna mengurangi biaya perdagangan dan investasi.
Dengan memperkuat kerjasama keuangan, memperkuat koneksi jalan atau infrastruktur dengan membentuk jalur transportasi yang kuat dengan negara lain. Mulai dari Cina ke Eropa Barat dan dari Asia Tengah ke Asia Selatan. Demi merealisasikan mimpi tersebut, China secara gencar membangun kerjasama pembangunan infrastruktur di berbagai negara, baik berupa jalur kereta api antar negara, tol darat, tol laut, pelabuhan bahkan juga jaringan pipa minyak antar negara.
Inisiatif OBOR merupakan sebuah konsep pemetaan jalan yang menghubungkan ASIA hingga Eropa. Dalam konsep ini terdapat dua peta utama yaitu 21st Century Maritime Silk Road (jalur sutra maritim abad 21) dan Silk Road Economic Belt (jalur sutra sabuk ekonomi). Saat menandatangani tujuan kebijakan luar negeri China, Presiden Xi Jinping menunjukan ambisinya. Bisa dibayangkan, bahwa masa depan Eurasia (Eropa dan Asia) akan mengarah pada kepemimpinan China.
OBOR merupakan visi geoekonomis paling ambisius di abad ini. Karena akan melibatkan 65 negara dan melingkupi 70% populasi dunia. Konsep ini akan menelan investasi mendekati US$ 4 milyar, termasuk $900 juta yang telah diumumkan China. Sebagai inisiator OBOR, China telah menyiapkan diri untuk menguasai jalur darat dan maritim bagi kepentingan ekonominya. Setidaknya ada 5 tujuan yang ingin diraih China dalam Inisiasi OBOR, yaitu koordinasi kebijakan, konektivitas fasilitas, perdagangan tanpa hambatan, integrasi keuangan, dan ikatan masyarakat (people to people bond).
Dalam merealisasikan inisiasi ini, di jalur darat, China menggagas infrastruktur jalan kereta api dan jalan raya, yang memanjang untuk menghubungkan China hingga menuju Eropa. Sedangkan untuk jalur maritim, China menggagas pembangunan sejumlah pelabuhan internasional dan tol laut sebagai sarana lalu lintas logistik dan zona penyimpanan untuk perusahaan-perusahaan China di kawasan tersebut.
Kini, China telah memiliki 29 dari 39 rute maritim, 60% perdagangan impor dan eskpor, dan 80% impor minyak melalui Selat Malaka. China berharap dapat menghubungkan jalur laut dari China hingga Samudera Hindia melalui Selat Malaka. China mengklaim telah menyempurnakan perjanjian perdagangan dengan 40% partisipan OBOR di akhir 2017. China juga telah menandatangani 130 perjanjian transportasi. China, sebagai sebuah kekuatan ekonomi di Asia membidik penguasaan ekonomi Asia sekaligus melawan kekuatan ekonomi AS dan Eropa di kawasan ini. Dalam rancangan Silk Road Economic Belt and 21 st Century Maritime Silk Road, otoritas China berharap mampu menciptakan pasar yang bersifat langgeng untuk eksportir dunia di Asia Pasifik.Untuk membangun infrastruktur dalam konsep OBOR ini, China telah mendirikan Bank khusus infrastruktur (AIIB). Dengan bank ini diharapkan proyek-proyek infrastruktur menjadi milik mereka, melalui investasi dan pinjaman China ke negeri-negeri yang dilalui jalur ini.(www.law-juctice.co,06/04/2019)
Dengan banyaknya investasi yang ditanamkan China, dalam merealisasikannya, maka bisa disebutkan, bahwa OBOR merupakan jalan bagi China untuk menguasai ekonomi dunia. Melalui koneksi maritim dan daratan dalam konsep OBOR, China menempatkan diri di posisi pusat hubungan ekonomi global. China secara kasat mata telah menunjukan ambisi besar dalam menguasai ekonomi dunia. Bank investasi dan pembangunan yang dibuat oleh China bertujuan untuk memberikan pinjaman dan investasi dalam rangka mewujudkan infrastruktur tersebut.
Harus diakui bagi negara berkembang tawaran dana segar untuk membiayai pembangunan adalah tawaran yang sangat menarik sekaligus sangat berisiko, sebab masa depan perekonomian sebuah negara menjadi taruhannya. Kemampuan ekonomi sebuah negara bisa saja menghadapi kebangkrutan ketika proyek tersebut gagal menghasilkan dampak ekonomi yang positif untuk pemasukan negara, sementara utang telah terlanjut dibuat dan disepakati. Sebagai ganti hutang banyak sumberdaya, infrastruktur strategis dan aset sebuah negara yang jadi bahan tukar guling dengan China, dijadikan sebagai jaminan pelunasan utang.
Lalu, bagaimana jika gagal bayar? Negara-negara tersebut bisa jadi harus melewati skema tukar aset. Dan ini bisa diikatakan kolonialisme utang. Yakni, sistem untuk mengekang dan menjajah negara dengan lilitan utang. Dengan begitu, Tiongkok bisa memiliki aset atau tanah di berbagai negara. Namun, pemerintah Tiongkok tak sependapat. Mereka menilai bahwa label debt colonialism hanya upaya politik untuk memojokkan Tiongkok. Padahal, setiap pinjaman investasi itu disetujui kedua pihak.
Bagaimana dengan Indonesia ?
Indonesia juga ambil bagian dalam perjudian dengan China dalam membangun infrastruktur yang tergabung dalam proyek OBOR secara garis besar. Salah satu proyek ambisius itu adalah pembangunan infrastruktur tol darat dan jalur cepat kereta api. Dua proyek yang kalkulasi ekonominya belum secara jelas menjaminkan keuntungan bagi masyarakat Indonesia. Tol-tol yang gencar dibangun oleh pemerintah saat ini memang secara akomodatif mampu memangkas waktu tempuh dan menyambung beberapa daerah, tapi distribusi logistik dan kegiatan ekonomi belum terlihat bergerak secara nyata di situ. Biaya yang cukup tinggi masih menjadi pertimbangan warga dan para pelaku ekonomi untuk melalui jalan tol yang dinilai pemerintah adalah proyek strategis untuk menumbuhkan perekonomian. Namun melewati tol tersebut akan berpengaruh secara signifikan terhadap ongkos produksi.
Kereta cepat yang menghubungkan Jakarta-Bandung pun banyak mendapat kritik soal perencanaannya. Banyak masalah yang muncul dari pembangunan tersebut, contohnya perkara pembebasan lahan. Banyak warga yang belum menerima pencairan dana dari lahan yang diambil untuk pembangunan kereta cepat tersebut. Kereta cepat Jakarta-Bandung (JKT-BDG) yang berjarak sekitar 142 km dengan nilai proyek sebesar USD 4,5 miliar atau sekitar Rp 68,4 triliun juga dinilai terlalu mahal, dan bila diukur dalam skala prioritas pemerintah sebaiknya mengembangkan rel kereta secara lebih baik pada perbaikan jalur-jalur kereta di pulau Jawa, pembangunan rel ganda di Sumatera dan groundbreaking jalur kereta di pulau Kalimantan.
Dampak ekonomis yang dihasilkan oleh pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung pun belum terlihat secara real, juga dukungan riset yang mempuni bahwa jalur tersebut memastikan keuntungan bagi pemerintah RI. Banyak pengamat menilai masyarakat masih akan menggunakan moda darat lain yang lebih murah, ketimbang menggunakan kereta cepat. Sementara China sendiri yakin Indonesia akan kesusahan bayar (utang). Sehingga penguasaan mayoritas perusahaan nanti akan dilakukan China. Demikian pula tenaga kerja yang dikerahkan semua akan diturunkan dari China. Tenaga kerja Indonesia hanya sedikit yang mendapatkan kesempatan.
Tak pelak lagi, investasi, hutang luar negeri China, dan MoU kerjasama Indonesia-China, merupakan jalan bagi China menguasai ekonomi Indonesia. Pembangunan infrastruktur dengan investasi dan hutang dari China, serta MoU dalam pendirian Bank investasi Infrastruktur AIIB di Indonesia, memiliki bahaya terselubung bagi Indonesia. China akan mendapatkan keuntungan ekonomis dengan menguasai infrastruktur Indonesia. Keuntungan hasil investasi, lapangan pekerjaan bagi warga China, penguasaan properti disekitar infrastruktur yang dibangun, rantai pasok komoditas dari pelosok Indonesia, hingga pasar produk.
Jika Indonesia diam, tidak menyadari bahaya ini, dalam jangka waktu ke depan, Indonesia akan semakin masuk ke dalam jebakan China. Terkurasnya kekayaan alam Indonesia, banjirnya produk China hingga mematikan produk lokal, menyempitnya lahan dan lapangan pekerjaan bagi anak bangsa ini, bukan sesuatu yang mustahil.
Bahaya ini lebih besar dari pengalaman Angola dan Srilanka. Indonesia yang kaya, akan menjadi miskin, penuh pengangguran, dan kehabisan lahan untuk rakyat, akibat penguasaan ekonomi oleh China. Pemerintah RI jelas harus berpikir ulang dan melakukan riset secara lebih hati-hati dalam keikutsetaanya pada proyek OBOR China. Jangan sampai pemerintah terjebak utang karena mengikuti syahwat China dalam membangun kekuatan ekonominya.
Memang pinjaman China melalui China Devolepment Bank sangat mengiurkan untuk pembangunan. Namun pemerintah harus berhati-hati, jangan kebijakan yang diambilnya justru blunder, menggali kuburan sendiri akibat pinjaman hutang yang tidak mampu terbayarkan, juga aset-aset negara yang harus direlakan sebagai jaminan hutang. Proyek obor adalah karpet merah penjajah dalam menguasai sumberdaya, infrastruktur strategis dan aset Indonesia. Sadarkah kita?