Oleh: Chezo (Aktivis BMI Community Cirebon)
Usai memimpin Rakortas tentang 'Permasalahan Hukum Pascapemilu' di Kantor Kemenko Polhukam, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, pada hari Senin (6/5/2019) Menko Polhukam, Wiranto mengatakan pemerintah akan membentuk Tim Hukum Nasional untuk mengkaji tokoh yang melanggar hukum pasca-pemilu. Menurutnya tim hukum itu akan mengkaji semua ucapan, pemikiran, dan tindakan tokoh yang melanggar hukum. Gejolak politik dalam negeri sebelum dan sesudah Pemilu 2019 menjadi pemicu mengapa tim pemantau ini dibentuk. Tim ini beranggotakan para pakar hukum, akademisi dan aparat pemerintah yang totalnya berjumlah 24 orang.
Staf khusus Kemenko Polhukam, Sri Yunanto pun tak menampik, Tim Hukum Nasional merupakan respons dari keresahan terhadap munculnya potensi ancaman yang ada saat ini, seperti hujatan dan cercaan terhadap pemerintah yang sah, dari tokoh-tokoh yang mempunyai pengaruh di masyarakat pasca-pemilu dan Pilpres 2019.
Sayangnya beberapa pihak merasa keberatan dengan adanya tim tersebut, bahkan merasa pembentukan tim itu berlebihan. Seperti yang diungkapkan oleh Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Yati Andriyani memandang rencana pembentukan tim hukum nasional sebagai tindakan yang berlebihan, tidak proporsional, cenderung subjektif tanpa parameter yang jelas dan akuntabel.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Choirul Anam menyebut tim yang dibentuk oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mirip Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) pada masa Orde Baru.
"Ini kayak Pangkopkamtib zamannya Soeharto," kata Choirul saat jumpa pers Kantor Komnas HAM, Jalan Latuharhari, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat, 10 Mei 2019. (m.liputan6.com/14/04/2019)
Ketua Umum PB Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) MPO, Zuhad Aji Firmantoro pun mengatakan kehadiran Tim Hukum Nasional disebut tidak tepat dan menganggap tim tersebut tidak diperlukan, karena sudah ada mekanisme dan perangkat hukum yang bisa digunakan. Bahkan ini bisa sebagai bentuk ancaman bagi rakyat dalam menyampaikan berpendapat. Bagi para aktivis dan gerakan mahasiswa yang membaca kebijakan ini, sangat dikhawatirkan dengan adanya tim ini adalah sebagai gejala hadirnya kembali otoritarianisme.
"Mengingat Wiranto bagaimanapun juga pernah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari rezim orde baru. Sehingga pola pikirnya mungkin masih terbawa bawa zaman beliau dulu tumbuh besar," ujarnya. (makassar.tribunnews.com/14/04/2019)
Pembentukan Tim Hukum Nasional tersebut oleh beberapa pihak yang kontra dikhawatirkan akan terciptanya pemeritahan yang diktator dan anti kritik. Banyaknya lembaga yang dibentuk dengan adanya irisan fungsi yang sama seperti POLRI dan BPIP justru hanya akan menegaskan bahwa pemerintahan saat ini sesungguhnya telah terpisah dari rakyatnya.
Pemerintah yang seharusnya menjadi garda terdepan membela kepentingan rakyat dan kesejahteraan warganya, justru malah menunjukkan hal-hal yang kontradiktif. Apalagi dengan banyaknya lembaga dan tim yang dibentuk hanya akan membebani keuangan negara. Padahal seharusnya keuangan negara bisa digunakan untuk kemakmuran rakyat.
Pada akhirnya hal seperti tidak akan terjadi jika pemerintah menerapkan sistem Islam secara menyeluruh. Negara dengan sistem Islam akan mengurusi urusan rakyat dengan berlandaskan pada akidah Islam. Akidah Islam yang tertanam dalam diri rakyatnya pun akan menuntun mereka dalam memahami tujuan hidupnya dengan baik.