Pilu Setelah Pemilu

Oleh: R. Raraswati 

Pemilihan umum serentak telah dilaksanakan hampir satu bulan. Perhitungan suara belum usai dihitung. Serba serbi pemilu masih ramai dibicarakan di seluruh penjuru negeri ini. Elit politik, pelajar, pegawai, pengusaha bahkan rakyat biasa banyak membicarakan pemilu dan rentetannya. Hasil perhitungan suara rakyat yang disampaikan media terus berubah dan bertambah. Demikian juga berita petugas KPPS yang sakit bahkan meninggal dunia ikut bertambah. 

Berdasarkan data KPU per Sabtu (4/5) pukul 16.00 WIB, jumlah petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal sebanyak 440 orang. Sementara petugas yang sakit 3.788 orang. Namun jumlah petugas penyelenggara Pemilu 2019 yang meninggal dunia terus bertambah. Data sementara secara keseluruhan petugas yang tewas mencapai 554 orang, baik dari pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) maupun personel Polri. (CNN Indonesia, 07/05/2019). Sebab sakit dan meninggalnya anggota KPPS bermacam-macam. Ada yang karena kelelahan, sakit lama yang pernah diderita kambuh kembali, bahkan ada yang ditemukan gantung diri.

Terus meningkatnya jumlah petugas KPPS menimbulkan berbagai opini dan pendapat dari masyarakat. Satu diantaraya adalah dokter ahli syaraf Ani Hasibuan menduga ada unsur kelalaian dalam proses rekrutmen maupun proses lainnya yang menjadi penyebab ratusan anggota KPPS meninggal dunia. Karena itu, Ani Hasibuan yang sudah lakukan investigasi di Yogyakarta, meminta agar dilakukan pemeriksaan dan bila perlu otopsi terhadap para korban penyelenggara Pemilu 2019 yang tewas itu.

"Saya sejak awal sebagai dokter itu sudah lucu, ini bencana pembantaian atau pemilu, kok banyak amat yang meninggal. Orang pemilu kan happy mau dapat pemimpin baru atau gimana," ujar Ani Hasibuan. (wartakota.tribunnews.com/2019/05/08)

Pilu yang dirasakan keluarga anggota KPPS yang meninggal dunia semakin dirasakan ketika tidak ada respon pemerintah yang serius untuk mengadakan penelitian penyebab kematian misterius ini. Bahkan ketika banyak pihak yang meminta dibentuknya Tim Pencari Fakta kasus tersebut, Moeldoko menganggap hal itu tidak perlu dilakukan.

"Untuk apa pencari fakta itu, nggak perlu. Ini kan tim yang diperlukan adalah tim yang tadi disampaikan Menteri Kesehatan ya untuk mencari faktor-faktor sisi kesehatan yang beban kerjanya, itu yang dicari," ujar Moeldoko, Jakarta, Viva.co.id Selasa (14/05/2019).

Entah apa yang ada dipikiran para pemegang kebijakan, melihat satu demi satu petugas KPPS meninggal dunia tapi tidak ada tindakan yang berarti. Mereka hanya meminta masyarakat tenang, tidak terbawa dengan berita yang dianggap mempropokasi. Ribuan petugas sakit dan ratusan meninggal dunia, dianggap biasa. Tidak ada kaitannya dengan pemilu yang telah menguras tenaga mereka. Masyarakat belum tersadar dan belum terlalu perduli dengan kenapa tahun ini petugas KPPS banyak yang sakit dan meninggal dunia. Berita atau artikel yang mengkaitkan kematian misterius ini dengan pemilu dianggap tidak benar. Segala sesuatu yang dianggap merugikan suatu pihak, maka dianggap hoaks. Bahkan penulis ataupun pihak yang upload berita tersebut dapat dijerat dengan UU hoaks. Mereka diperiksa, kemudian dipenjarakan. Namun, sampai detik ini Masyarakat banyak yang menganggap demokrasi sebagai sarana untuk menyalurkan aspirasi rakyat untuk memilih pemimpin. Padahal, ini justru dapat membungkam pendapat masyarakat. 

Bertambahnya jumlah petugas KPPS yang meninggal menimbulkan kecurigaan masyarakat akan adanya kesengajaan ataupun kecurangan dalam pelaksanaan pemilu. Islam melarang adanya kecurangan, kebohongan dalam segala hal, termasuk dalam memilih pemimpin pada pemilu. Suap, memalsukan dokumen, memanipulasi data dan lain sebagainya, merupakan hal-hal yang dilarang keras oleh islam. Pemimpin ataupun wakil rakyat yang telah dipilih tapi melakukan kecurangan, maka balasannya adalah neraka. Sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Siapa saja pemimpin yang diangkat untuk mengatur urusan rakyat, lalu curang kepada rakyat, maka dia masuk neraka.” (HR. Muslim & Ahmad)

 Sesungguhnya, pergantian pemimpin merupakan hal yang biasa dalam pandangan islam. Setelah Rasulullah wafat, kepemimpinan segera digantikan oleh Abu Bakar ra, kemudian Umar ra, Ustman ra, Ali bin Abu Tholib ra dan seterusnya. Semestinya segala macam kecuragan tidak perlu dilakukan untuk mendapatkan posisi sebagai pemimpin. Karena tanggung jawab seorang pemimpin jauh lebih besar dihadapan Allah.

Jika semua orang tahu besarnya tanggungjawab pemimpin dihadapan Allah, maka tak akan ada kecurangan, kebohongan untuk menggapai kursi kepemimpinan tersebut. Justru calon pemimpin yang diajukan berusaha menjaga kebenaran bahkan menolak amanah yang berat tersebut. Tak akan pernah terjadi pemilu yang membuat pilu masyarakat. Tak ada duka jika pelaksanaan pemilihan pemimpin negeri dilaksanakan dengan mencontoh kepemimpinan Rasul dan para sahabat. Kemudian pemimpin yang terpilih menerapkan aturan Allah dalam memimpin umat. Semoga pelaksanaan pemilu tahun 2019 dapat menjadi pelajaran berharga untuk semua orang dan para pengemban kebijakan pada khususnya. Wallahu' alam bi ash-shawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak