Oleh : Ilma Kurnia P, S.P
(Pemerhati Generasi)
Beberapa hari bangsa Indonesia dikejutkan oleh kerusuhan yang terjadi di Jakarta yaitu bentrokan antara para perusuh dengan aparat yang menjaga keamanan. Akibat dari kejadian ini banyak korban berjatuhan dan mengalami kerugian material yang lumayan banyak. Kerusuhan ini didorong oleh aksi provokator setelah demonstrasi damai jam 21.00 WIB berahir di Bawaslu. Apakah kerusuhan ini dipicu oleh narasi para elit politik yang sebelumnya telah melontarkan suara people power? Atau akibat ulah segelintir orang yag haus akan kursi kekuasaan. People power itu sendiri merupakan kekuatan rakyat yang bersatu padu untuk mengganti suatu pemerintahan secara paksa. People power biasanya bisa terjadi melalui jalan kekerasan atau secara damai. Hendaknya minimal ada 3 syarat agar terbentuknya suatu people power yaitu adanya kesadaran atau rasa sukarela dari rakyat untuk mencapai tujuan bersama, adanya ketidakadilan atau penindasan secara sewenang-wenang yang dirasakan oleh seluruh rakyat, adanya suatu tekanan hidup atau kesulitan ekonomis yang dirasakan secara bersama-sama. Dan inilah yang akhirnya membuat rakyat menjadi merasakan satu perasaan yang sama hingga akhirnya people power inipun muncul kembali. Ketika masyarakat mulai bergelora semangat untuk melakukan aksi damai people power, pemerintah mulai panik. Hal ini terbaca dari keputusan KPU memajukan hari pengumuman hasil pemenang Pemilu. Yang sebelumnya dijanjikan akan diumumkan pada tanggal 22 Mei tetapi justru dimajukan pada tanggal 21 Mei dini hari. Belum lagi framing negatif terhadap tuntutan keadilan atas kecurangan dilabeli dengan makar/ekstrimis/teroris.
Menurut Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko yang menyatakan, mayoritas masyarakat Indonesia tidak menginginkan adanya people power pada 22 Mei nanti. ”Masyarakat tidak menginginkan gerakan people power yang pada akhirnya merugikan semuanya,” ujar Moeldoko di Posko Rumah Cemara, Jakarta, Jumat (17/5). Mantan Panglima TNI ini menjelaskan, ada upaya sistematis yang akan memanfaatkan situasi jika sampai terjadi pengumpulan massa. Begitu juga Ma’ruf Amin, menyatakan hal yang sama. Ma’ruf juga mengatakan, persatuan Indonesia harus dikedepankan. Karena Pilpres ini hanyalah kepentingan sesaat. Selain itu, Ma’ruf Amin juga mengimbau kepada elite politik tidak membuat gaduh. Apalagi membuat provokasi. Semuanya harus bisa menjaga kedamaian dan persatuan Indonesia. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) nonaktif ini juga berharap ada pihak-pihak yang tidak menerima hasil Pemilu 2019 ini bisa menempuh jalur-jalur sesuai dengan konstitusi. (Jawapos,17/05/2019)
Bukti dari tidak adilnya sangatlah terlihat, dimana rakyatlah yang menjadi korban dari aksi ini, bahkan banyak korban yang harus kehilangan nyawa karena terkena senjata dari aparat yang menjaga keamanan. Padahal kerusuhan terjadi dikarenakan ada beberapa orang yang menjadi oknum provokator sehingga membuat panas situasi yang terjadi. Inilah akibat dari Pesta demokrasi yang berbuah ricuh. Masyarakat yang muak dengan penderitaan mereka akibat aturan keji nan dzolim yang diterapkan pemerintah sekarang, membuat mereka bergerak menuntut perubahan. Sayang sekali mereka masih memanfaatkan demokrasi sebagai tunggangannya. Berharap pemimpin yang baru akan membawa perubahan padahal itu sebatas ilusi. Mirisnya, Pemilihan dalam Sistem demokrasi malah justru melahirkan kekuasaan otoriter saat kepentingannya terganggu/dihalangi. Mereka tidak peduli terhadap sekian banyak laporan kecurangan proses pemilu. Dengan arogannya mereka mengumumkan klaim kemenangan pemilu setelah memanipulasi hasil perhitungan surat suara. Lembaga-lembaga survey, media, KPU, dan lembaga pengadilan pun telah menjadi corong mereka. Demokrasi ternyata hanyalah ilusi. Berprinsip rakyat yang berkuasa, tapi begitu rakyat bergerak menuntut keadilan dengan “People Power” nya, mereka kalang kabut ketakutan. Melempar sejumlah fitnah terhadap perjuangan masyarakat penuntut keadilan. Demokrasi hanya alat untuk melegitimasi kekuasaan yang menganggap rakyat sebagai musuh demi memuaskan kehendak para cukong kapitalis. Rakyat hanya dieksploitasi suaranya, setelah diacuhkan. Habis manis sepah dibuang.
Masihkan kita mau berharap dengan kekuasaan yang mengemban sistem dzolim ini? Yang sudah jelas menyengsarakan rakyat dan justru rakyatlah yang akan menderita. Padahal jika kita telaah mendalam tentang Perubahan atau people power, tentu kita harus melihat bagaimana Islam memandang hal ini. Ini karena Islam sebagai agama yang sempurna, berasal dari Al-Khalik Sang Pencipta, yang paling memahami manusia ciptaannya. Sehingga apapun aturanNya pas sesuai bagi manusia. Jika manusia menaati aturanNya, itupun berbuah pahala karena merupakan pancaran ketaatan hamba pada Rabbnya. Terlihat dari sejarah dimana Rosulullah mampu mengubah masyarakat Arab yang jahiliyah menjadi umat yang terbaik. Dan terbukti Islam mampu berjaya berabad-abad tahun dalam memimpin dunia. Untuk itu sudah saatnya kita kembali dalam Islam sebagai pedoman dan tujuan hidup kita. Karena hanya Islamlah yang akan mampu memberikan kerahmatan dan keberkahan serta kedamaian dalam menjalani kehidupan. Wallahua’lam bishawab....