Oleh : Ummu Zulfa
Saat ini kondisi di Indonesia tidak lepas dari gelaran Pemilu 2019. Yang menorehkan kisah pilu bagi masyarakat Indonesia, dimana petugas yang meninggal akibat melaksanakan tugasnya dalam pesta demokrasi mencapai 583 orang. Belum ditambah begitu banyak kecurangan-kecurangan terjadi didalamnya. Sehingga muncullah wacana people power yang dicetuskan oleh politisi Partai Amanat Nasional Amien Rais. Ia mengatakan akan mengerahkan massa atau people power untuk turun ke jalan jika mereka menemukan kecurangan dalam pilpres 2019 (Tempo.co).
Eggi sudjana dalam pidatonya pada Rabu 17 April 2019 lalu juga menyerukan people power. Yang akhirnya Dia diperiksa oleh penyidik Ditreskrimum Polda Metro Jaya atas dugaan kasus makar dan undang-undang ITE (Tribunnews.com).
People power bermakna kekuatan rakyat ; penggulingan kekuasaan presiden secara paksa melalui aksi demontrasi rakyat. Perubahan dengan menggunakan kekuatan rakyat, bisa digunakan untuk tujuan reformasi atau revolusi, baik untuk mengubah sebagian sistem yang ada maupun mengubah seluruh sistem yang ada.
People power pernah mengisi lembaran sejarah perpolitikan Indonesia, ketika penggulingan rezim Soeharto tahun 1998. Kemudian lahir era baru dan era reformasi. Wacana people power ini terus bergulir. People power yang berhasil menumbangkan rezim orde baru ternyata tidak membawa perubahan yang jelas serta solusi menyeluruh atas permasalahan umat.
Tingkat keberhasilan people power ternyata tidak hanya ditentukan oleh banyaknya kekuatan massa. Dalam banyak kasus, keberhasilannya juga ditentukan oleh sikap militernya. Militer yang mengambil sikap netral sudah cukup untuk menumbangkan seorang penguasa di tengah gelombang people power.
Sebagai seorang Muslim, kita harus menjadikan Rasulullah SAW sebagai suri tauladan terbaik dalam hal apapun.
“ Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan yang banyak mengingat allah.” (QS. al-Ahzab: 21)
People power bukanlah metode shahih untuk meraih kekuasaan. Karena Rasulullah tidak pernah mencontohkan people power sebagai metode menegakkan Islam di Madinah.
Perubahan yang diharapkan dalam Islam adalah perubahan yang hakiki yaitu perubahan sistem kufur menjadi sistem Islam. Rasulullah memberi tauladan kepada kita bagaimana melakukan perubahan untuk membangun pemerintahan Islam dengan metode thalabun nusroh (mencari pertolongan kepada siapa saja yang mempunyai kekuatan dan bisa menolong dakwah Rasulullah). Pelaksanaan thalabun nusroh kepada para pemimpin kabilah untuk menyerahkan kekuasaannya kepada Rasulullah.
Rasulullah pernah mendatangi Bani Tsaqif di Thaif, Bani Hanifah, Bani Amir bin Sha’sha’ah dan kabilah lain, namun ternyata semuanya menolak. Rasulullah berhasil mendapatkan kekuasaan dari para pemimpin kabilah dari Yastrib (Madinah) melalui Baiat Aqobah II.
Dengan demikian, kekuasaan itu hakikatnya hanya bisa diraih jika umat telah rela menyerahkan kekuasaannya kepada kelompok Islam yang bersifat politis. Adapun cara untuk meraih kekuasaan dari tangan umat adalah terlebih dahulu melakukan proses penyadaran, yaitu menanamkan mafahim (pemahaman), maqayis (standar perbuatan) dan qana’at (keyakinan/kepercayaan) Islam di tengah-tengah mereka; sekaligus memutus hubungan masyarakat dengan mafahim, maqayis dan qana’at kufur dan pelaksananya.
Dengan cara ini, umat akan mencabut dukungannya terhadap sistem kufur dan pelaksananya, lalu menyerahkan kekuasaannya kepada kelompok Islam yang memperjuangkan syariah dan khilafah tersebut dengan sukarela. Hanya saja, prosesi seperti ini harus melibatkan ahlun-nusroh, yakni orang-orang yang menjadi representasi kekuasaan dan kekuatan umat.
Dengan kesadaran umum yang terbentuk di tengah-tengah umat serta kebulatan tekad para ahlu quwwah negeri ini untuk menerapkan syariah, niscaya perubahan hakiki menuju kegemilangan peradaban Islam benar-benar akan terjadi.
Wallahu a'lam bi ash-shawab