Oleh : Nia Faeyza
(Menulis Asyik Cilacap)
Fenomena yang pernah terjadi tahun 1998, akankah terulang kembali?
TEMPO.CO , Jakarta- Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute Karyono Wibowo menilai sebutan people power tidak tepat jika terjadi gerakan massa yang kecewa dengan hasil Pemilihan Umun. "Itu bukan people power. Itu people ngamuk. Emosional," kata Karyono dalam diskusi di Jakarta Pusat, Kamis, 25 April 2019.
Karyono menjelaskan, terjadinya people power harus memenuhi sejumlah prasyarat jika merujuk pada teori sosial, di antaranya ada faktor obyektif dan subyektif. Faktor obyektif yaitu jika terjadi kesenjangan kemiskinan yang begitu lebar, pembungkaman kebebasan berpendapat, pemerintah yang korup, dan otoriter. "Itu pun masih belum cukup. Kadang-kadang ditambah lagi faktor eksternal, adanya kondisi krisis ekonomi," katanya.
Faktor obyektif itu, kata Karyono, akan bertemu faktor subyektif, yaitu adanya aktor-aktor yang dipercaya masyarakat untuk melakukan perubahan. Jika sudah memenuhi prasyarat itu, gerakan massa yang terjadi bisa disebut dengan people power.
Wacana people power sebelumnya dicetuskan politikus Partai Amanat Nasional, Amien Rais. Ia mengatakab akan mengerahkan massa atau people power untuk turun ke jalan jika mereka menemukan kecurangan dalam Pilpres 2019. "Kalau kami memiliki bukti adanya kecurangan sistematis dan masif, saya akan mengerahkan massa untuk turun ke jalan, katakanlah monas, dan menggelar people power," kata Amien.
Amin menuturkan, dia memilih menggerakan people power ketimbang menggugat hasil Pilpres 2019 ke Mahkamah Konstitusi. Bekas Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat ini menyatakan tak percaya dengan MK.
Ia menegaskan gerakan semacam ini selalu berhasil meraih tujuan yang diinginkan. "Tidak ada judulnya rakyat kalah dengan penguasa," kata Amien dalam acara diskusi di Seknas Prabowo-Sandiaga, di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu, 4 Mei 2019.
PADA 21 Mei 1998 tepat 20 tahun lalu, gerakan reformasi lahir di bumi Indonesia menumbangkan Rezim Orde Baru yang berkuasa 32 tahun lamanya.
Dalam sejarahnya banyak pepimpin otoriter tak terkecuali di Indonesia yang pada akhirnya harus mengakhiti kekuasaannya karena gerakan massa atau lazim disebut people power.
Soeharto adalah salah satu penguasa yang tumbang karena digilas people power.
Gerakan reformasi 1998 merupakan titik nadir keruntuhan rezim Orde Baru yang ditandai dengan mundurnya presiden Soeharto, krisis finansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan semakin besarnya ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintahan menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran berbagai elemen mahasiswa di berbagai wilayah.
Pemerintahan Soeharto semakin disorot setelah Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 yang kemudian memicu kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya. Dibawah tekanan besar dari dalam maupun luar negeri, Soeharto akhirnya mengundurkan diri. (news.okezone.com)
Berkenaan dengan rezim yang otoriter memang tidak ada ujungnya. Sejak Indonesia merdeka tahun 1945, ternyata Indonesia tidak benar-benar merdeka. Belanda tidak rela begitu saja melepaskan Indonesia. Disadari atau tidak, negeri kita sebenarnya sedang dijajah. Namun dijajah dengan gaya modern. Misalnya Belanda dengan meninggalkan jejaknya dalam bentuk aturan Undang-Undang, yang sampai sekarang masih digunakan. Belum lagi penjajahan dalam bidang ekonomi, kekayaan alam dikuasai asing.
Penjajahan pemikiran, melalui sekulerisme yaitu memisahkan agama dari kehidupan. Dan masih banyak lagi bentuk-bentuk penjajahan gaya modern yang dikemas cantik.
Negeri dengan sebutan Jamrud Khatulistiwa ini ternyata tidak seelok julukannya.
Karena selama 74 tahun ini rakyat belum pernah merasakan kesejahteraan. Masih saja dengan segudang permasalahan yang tak kunjung kelar. Dari tahun ke tahun, dari rezim ke rezim beban hidup rakyat malah semakin menumpuk. Rakyat masih hidup dibawah angka kemiskinan, kelaparan, dan gizi buruk.
Maka pantas saja jika rezim yang berkuasa di negeri ini menyandang gelar otoriter. Tidak mampu mengelola negara, dan memakmurkan rakyat.
Jika diibaratkan sebuah kendaraan, sistem, rezim, dan rakyat, maka mobil tersebut ibarat sistem, rezim tersebut ibarat sopir, dan rakyat ibarat penumpang.
Ketika mobil dan sopir tersebut rusak, bisa dipastikan tidak akan sampai ke tempat tujuan. Maka yang harus diganti adalah mobinya dan juga sopirnya. Karena jika hanya mobilnya saja yang diganti, sedangkan sopirnya masih rusak maka tidak mungkin bisa selamat sampai tujuan. Oleh karena itu, yang harus diganti adalah keduanya, mobil dan juga sopirnya. Ketika sebuah negeri rusak, maka yang harus dibenahi bukan hanya rezimnya, tapi juga sistemnya. Ganti rezim, ganti sistem.
Sistem demokrasi yang asasnya adalah manfaat, tidak terbukti membawa Indonesia pada perubahan. Malah menambah keterpurukan.
Wajar saja jika muncul sebuah gerakan, seperti people power yang membrontak, menuntut keadilan.
Namun, gerakan-gerakan ini hanya solusi sementara saja, bukan solusi hakiki.
Rosulullah adalah sebaik-baik contoh. Jika umatnya ingin hidup mulia, maka tentunya harus mengikuti langkah jejak beliau. Baik dalam segi hablumminallah, hablumminanas, maupun hablumminafsi.
Islam telah mengatur segalanya. Urusan minum saja diatur, apalagi urusan negara.
Khalifah adalah kepemimpinan tertinggi dalam negara islam, yang akan melindungi dan mengayomi rakyat dengan aturan Allah, yang berpacu pada Al Quran dan Al Hadits.
"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah." (QS. Ali Imron: 110)
Perubahan hakiki hanya akan terwujud ketika aturan Allah (islam) diterapkan. Jadi jalan satu-satunya yang ditempuh untuk menerapkan kembali aturan islam, dibawah naungan khilafah adalah dengan tholabun nushroh. Dengan dakwah idiologis, dakwah yang dicontohkan oleh Rosulullah.
Barat sangat ketakutan jika umat islam bersatu, karena menjadi pertanda alarm kematian bagi peradaban mereka. Sehingga Barat melakukan segala cara untuk mencegahnya. Mereka bisa saja merusak bunga, namun tidak akan mampu mencegah datangnya musim semi.
Wallahu a'lam bish-showab